Spacewalk

Keheningan ini menimbulkan kegilaan. Hari demi hari, minggu berganti minggu, dan bulan demi bulan, aku duduk di sana ditemani keheningan tanpa ujung. Aku tak bisa menerimanya lagi. 

Ketika kami meninggalkan Bumi, ada 20 orang pria di atas kapal. Sekarang hanya tersisa dua—aku dan Burnsey.

Kami berada dalam tahap terakhir dalam misi tiga-tahun menjelajahi angkasa ruang. Setiap hari, Burnsey hanya duduk di sana, membaca buku-bukunya. Setiap kali aku mencoba untuk mengajaknya bicara, dia hanya mengabaikanku. Bahkan tidak melirik sekalipun. Sejak kecelakaan itu, Burnsey hanya bicara kepadaku ketika hal itu benar-benar mendesak.

“Itu bukan salahku,” kataku. “Kecelakaan itu tidak disengaja. Itu yang sebenarnya terjadi. Kau harus percaya padaku, Burnsey.”

Laki-laki itu membolak-balik halaman bukunya, seolah-olah tidak ada siapa-siapa.

“Itu adalah perhitungan yang meleset,” aku memprotes. “Konsentrasi yang tak stabil. Ini bisa terjadi pada siapapun.”

Burnsey tak menjawab.

Enam bulan sudah berlalu sejak kecelakaan itu. Salah satu mesin dalam keadaan terlalu panas. Dan itu harus diperbaiki. Delapanbelas pekerja melakukan prosedur spacewalk untuk memperbaikinya dari luar. Burnsey dan aku tetap berada di dek.

Pekerjaan kami adalah untuk memastikan bahwa semua proses telah bekerja dengan baik. Burnsey melakukan pengecekan pada daftarnya, menyebutkan satu persatu, sedangkan aku bertugas menekan tuas.

Sesuatu tidak berjalan dengan benar. Aku tidak mengerti bagaimana segalanya sampai terjadi, tapi aku menyentuh tuas yang keliru. Mesin utama meraung dengan kencang.

Beberapa pekerja yang berada di luar segera terpanggang. Paling tidak, kuharap hanya itu yang terjadi. Sementara yang lain, terlempar menuju ruang hampa. Tubuh mereka mungkin masih berada di luar sana, mengapung-apung tanpa arah. Kurang dari sejam, persediaan oksigen dalam tanki mereka akan habis. Mereka tewas dengan cara yang mengerikan dan sekarang jasad mereka akan terkatung-katung selamanya, di suatu tempat di kekosongan ruang angkasa.

“Aku tidak bermaksud membunuh mereka,” kubilang. “itu semua kecelakaan.”

Burnsey berbalik dan memelototiku. “Ini adalah pembunuhan,” geramnya. “Sederhananya saja, jika bukan karena kau, 18 orang itu pasti masih hidup. Aku yakin kau juga akan membunuhku jika kau punya kesempatan. Enam bulan lagi, ketika kita sampai di Bumi, kau akan menjalani proses pengadilan. Aku akan memberatkanmu dan aku akan menjelaskan segalanya hingga mereka tahu apa yang kau lakukan. Mereka akan memutuskan bahwa kau bersalah dan kau akan membusuk dalam penjara selama sisa hidupmu yang menakutkan.”

Aku melenguh dan memperhatikan jam. “Ini sudah waktunya untuk melakukan pengecekan.”

Setiap hari, kami harus melakukan perjalanan angkasa untuk memeriksa integritas lambung kapal bagian terluar dan meyakinkan bahwa tidak ada kerusakan oleh benturan meteor. Hari ini adalah giliranku. Setiap hari selalu giliranku. Sejak kejadian itu, Burnsey tidak pernah memberiku kepercayaan. 

Begitupula, aku tidak sepenuhnya mempercayainya. Ketika aku berada di luar, dia tetap berada di dek. Jika dia mau, dia bisa saja mengurungku di luar. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi, maka ketika dia tidak melihat, aku mengambil kunci lubang geladak jadi aku bisa membukanya dari luar jika diperlukan.

Aku mengenakan pakaian angkasaku dan sepatu magnetik dan melangkah manuju kompartemen pengendali tekanan. Mengunci pintu di belakang, aku memanjat tangga dan membuka lubang geladak. Kemudian, aku keluar di dinding lambung kapal.

Aku memandangi kegelapan semesta yang hitam pekat, dengan titik-titik kecil yang gemerlapan. Keadaan ini benar-benar hening. Aku berjalan menyebrangi sisi kapal, sepatu magnetik berdebum-debum di dinding lambung. Setelah memeriksa bagian luar, aku tak menemukan masalah apapun. Lalu aku mendapat ide.

Aku menekan tombol pada komunikatorku dan berteriak, “Burnsey! Salah satu piringan rusak parah. Ia harus diperbaiki segera!”

“OK,” jawab Burnsey . “Aku akan mengambil alat-alat.”

Setelah beberapa menit, Burnsey muncul dari lubang geladak, lengkap dengan pakaian angkasanya. Dia menenteng kotak perlengkapan di lengannya. Laki-laki itu berjalan mendekatiku, sepatu magnetiknya melangkah perlahan di sepanjang lambung.

“Dimana?”

Aku tak menjawab. Aku hanya menunjuk di bagian belakang kapal kami. Burnsey mulai berjalan. Sesaat setelah ia memunggungiku, aku berbalik menuju lubang geladak dan mmbukanya.

Aku mengunci pintu dan keluar dari kompartemen yang menghubungkan antara bagian dalam kapal dan dinding lambung. Di balik alat komunikator, aku bisa mendengar Burnsey berteriak-teriak dan mencoba mengancamku. Aku melepas helm untuk menghindari suaranya yang menggangu.

Aku bisa mendengar sepatunya bergerak-gerak di sepanjang dinding. Dia mungkin berusaha membuka paksa lubang geladak, putus asa mencoba kembali ke dalam kapal sebelum kehabisan suplai oksigen. Tapi itu percuma. Tak lama lagi dia akan tewas.

Tiba-tiba, Burnsey muncul di depan jendela ruang terminal. Wajahnya panik dan kedua matanya seolah mencuat keluar dari rongganya. Dia tercekik pelan-pelan.

Aku menyaksikan ketika wajahnya berubah memerah, kemudian ungu. Laki-laki itu mencakar-cakar helmnya saat dia berupaya menarik udara ke dalam paru-parunya. Darah mulai mengalir dari kedua kelopak matanya. Aku tidak bisa melihatnya lagi, itu membuatku sakit.

Dengan kematian Burnsey, tidak ada yang bisa berbicara apa-apa tentang kecelakaan itu setelah aku sampai di Bumi. Tubuhnya akan terbakar ketika memasuki atmosfer. Aku akan mengarang-ngarang cerita tentang peristiwa yang menyebabkan seluruh kru celaka dan mereka tak akan punya petunjuk apapun.

Hari berganti, kapal terus bergerak lamban dalam proses kembali ke Bumi. Tiap kali aku melirik ke jendela ruang terminal, Burnsey tetap berdiri di sana, terlempar ke depan dan belakang, seakan-akan menatapku. Sepatu magnetiknya membuatnya tetap berada di tempat. Bola matanya yang kosong menggantung dari rongga. Aku mencoba untuk tak melihat, tapi aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.

Aku tak tahan lagi dengan pemandangan ini.

Aku mengenakan pakaian angkasaku dan sepatu magnetik dan bergegas menuju bagian airlock. Aku yakin telah membawa kunci. Aku tak mau terkurung di luar.

Aku membuka lubang geladak dan melangkah menuju dinding terluar. Pintu tertutup di belakangku. Aku melangkah-langkah menyebrangi sisi kapal menuju jasad Burnsey. Aku tak bisa tahan dengan wajahnya.

Aku mencopot sepatu magnetiknya, berupaya melepaskannya dari lambung kapal. Satu kakinya telah lepas dan aku beralih ke satunya. Aku menggoyang-goyang dengan keras dan tubuh lemasnya mulai mengapung menjauh.

“Selamat jalan, Burnsey!” kataku, “sampai jumpa di neraka.”

Aku berbalik dan kembali menuju lubang geladak. Kemudian berhenti dan menoleh. Aku melihat jasad Burnsey saat dia terkatung-katung di kehampaan angkasa. Matanya yang melotot, dan tidak bernyawa balik menatapku. Mulutnya yang berbentuk ganjil seolah menyeringai. Sebelah tangannya bergerak pelan, seperti sedang melambai-lambai padaku.

Lalu, saat dia menjauh, aku melihat sekilas sesuatu dari balik sarung tangannya.

“Tidak!” aku berteriak, “tidak! Tidak! Tidak!”

Lengannya menggenggam kunci lubang geladak.

Tidak ada apapun di sekitarku kecuali keheningan angkasa. Selama hampir satu jam, aku berdiri di sana, berjalan bolak-balik di dinding kapal, mendengarkan kesunyian. Aku melihat melewati jendela ruang terminal dan menunggu.

Aku menunggu hingga suplai oksigen di tangkiku terkuras.

Menunggu hingga aku mencakar-cakar helmku untuk mencari udara.

Menunggu hingga darah mengalir ke mataku dan tahu bahwa semua ini akan berakhir.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top