Ashatikane
Aku adalah seorang Turis yang kebetulan berkunjung ke Jepang saat musim panas, aku pikir, Jepang adalah Negara yang indah dengan beragam kebudayaan Lokal yang menarik, namun sepertinya aku harus merubah presepsi itu setidaknya setelah aku mengenal sebuah permainan Lokal, permainan yang tak kan pernah ku lupakan sepanjang hidupku.
Mereka menyebutnya dengan Ashatikane—atau entahlah, logat mereka sangat sulit di tiru, namun, dari beberapa sumber kenalanku yang mengetahui ceritaku, itu adalah permainan kuno, nama asli permainan itu adalah “Perjalanan kematian” ada garis harafiah yang tidak bisa di jelaskan kenalanku tentang makna sebenarnya permainan ini.
Dia menjelaskan lebih jauh, sebenarnya ini bukanlah jenis permainan melainkan sebuah tradisi untuk bertemu dengan seseorang yang sudah meninggal, aku tidak akan menjelaskan ini lebih jauh namun inti dari tradisi ini adalah untuk bertemu siapapun yang ingin kau temui namun dia yang ingin kau tamui adalah orang yang sudah mati. Karena dalam ajaran Sinto, orang yang mati, tidak akan langsung ke alam lain, melainkan dia akan mengikuti siapapun yang dia sukai semenjak di dunia. Aku tidak ingin membicarakan ini lebih jauh jadi aku langsung saja bagaimana aku mengalami semua ini.
Suatu Sore, aku berkunjung di sebuah kuil di utara Tokyo, dan aku bertemu dengan segerombolan para gadis remaja, mereka sedang tampak membicarakan sesuatu dengan nada bercanda. Aku juga adalah remaja, dan ku pikir, ikut bergabung bersama mereka adalah cara yang tepat untuk saling mengenal budaya jepang lebih jauh.
Seperti kebanyakan orang jepang, mereka akan memandangmu sinis, agak canggung awalnya, namun perlahan—lahan mereka mulai mencoba akrab. Kami banyak menghabiskan waktu untuk berbicara dan mereka tampak menyenangkan, termasuk mengajakku untuk makan di sebuah kedai, kau bisa menemui kedai di sepanjang jalan atau bawah jembatan dengan mudah. Mereka menjelaskan kedai-kedai ini adalah budaya yang sudah ada sejak jaman dulu,
Waktu semakin larut, dan ku pikir, aku harus kembali ke Hotelku, jadi aku segera berpamitan, namun seorang gadis menghentikanku, dia mengatakan “bukankah anda ingin mengenal budaya jepang?”
“ya—“ aku menjawab antusias.
“kalau bagitu, kamu harus tahu. Tidak sopan meninggalkan para gadis di kedai, dan cara berpamitan yang benar bukan seperti yang kamu lakukan.”
Untuk beberapa saat, aku menangkap sirat pandangan para gadis , entah kenapa pandangan mata mereka seperti ingin mengerjaiku, namun aku adalah orang asing, dan bila mereka mengatakan aku tidak sopan maka sepertinya itu memang tidak sopan. Jadi aku bertanya pada mereka apa yang harus ku lakukan.
Mereka menjelaskan cara berpamitan yang benar adalah dengan melakukan permainan “Ashatikane—“ aku mengangkat alis, dan mereka seolah tahu maksudku dengan langsung mengatakan, “ini hanya sebentar kok, palingan Cuma 5 menit.”
Ku pikir 5 menit bukanlah waktu yang panjang jadi aku setuju dengan cara bermain mereka.
Mereka membawaku pada sebuah jalanan yang sepi, yang mengarah pada perempatan—(sisi dimana pertemuan dari 4 persimpangan), salah satu gadis mengambil sebuah dasi dari tasnya dan berniat mengikatnya di mataku, namun dia menjelaskan lebih dulu tentang apa yang harus aku lakukan, gadis lain memberikanku sepasang sumpit di tanganku.
“kami biasa memainkan permainan ini untuk melihat setulus apakah perkenalan kita” ucap gadis berambut panjang yang cukup manis, “jadi—bila kamu menang dalam permainan ini, mungkin kita memang di takdirkan untuk menjadi sahabat atau lebih jauh, kita berjodoh”
Aku tidak bisa menyembunyikan wajahku yang memerah.
“kau hanya perlu berjalan lurus dengan mata tertutup menuju tepat di tengah jalan itu, saat berjalan kau harus membuat sumpit ini berdenting dengan menepukkanya satu sama lain—setelah itu, tetap focus dan berjalan lurus, bila kau berhasil maka kita akan tahu jawabanya.”
Setelah mendengarnya, aku berpikir, itu adalah hal yang mudah, jadi aku segera melakukanya setelah mereka menutup mataku, untuk sejenak, aku mendengar mereka mengatakan sesuatu, aku memang tidak terlalu menguasai bahasa jepang, namun aku cukup mengerti bahasa sehari-hari mereka, dan apa yang mereka katakan, itu seperti sebuah Mantra.
Pandanganku sepenuhnya gelap, aku sudah tidak mendengar suara-suara mereka, sangat hening—lebih dari keheningan, tanganku gemetar, aku mencoba melepaskan penutup mataku, namun tiba-tiba suara pemecah yang membuatku tersentak terdengar, seperti wanita yang menjerit sangat keras—aku sampai ketakutan.
Aku mulai berjalan, angin berhembus sangat kencang—suasana dingin terasa sampai menusuk tulangku, dan perlahan suara-suara itu muncul. Aku bisa mendengar suara tawa cekikikkan seolah aku adalah bahan lelucon, namun bukan suara para gadis, melainkan suara melengking yang tak bisa ku jelaskan, perlahan suara-suara itu menjadi tangisan dan jeritan, sangat memekikkan dan menyakitkan, kakiku gemetar dan aku mulai kehilangan keberanian. Apapun yang terjadi padaku, aku seperti berjalan di tengah –tengah keramaian.
Aku berjalan tertatih—tatih, namun suara yang bercampur aduk seperti membuat otakku tak karuan, penderitaan dan kesenangan terdengar memekikkan, sampai aku merasakan sesuatu mencengkram lenganku, menghempaskanku, dan berusaha mencekikku sangat kuat. Sesuatu yang lunak membasahi pipiku, seperti jilatan lidah, aku mencoba melawan, namun apapun itu berteriak sangat keras.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, hingga aku berfikir untuk melepas penutup mataku, bila aku tewas disini setidaknya aku tahu, siapa yang mencoba membunuhku.
Ku tarik penutup mataku dengan tangan kiriku, dia mencoba mencegahnya namun aku berhasil membukanya, ketika aku membuka mataku, aku tidak melihat siapapun di depanku, bahkan tidak ada apapun disini, hanya aku—dan para gadis , mereka lenyap.
Aku segera berlari dan menyelamatkan diri, aku tidak lagi menceritakan ini pada siapapun, akibat trauma yang membayangiku, bahkan terkadang aku masih mendengar suara-suara itu. Hingga aku akhirnya berani menulis ini dan menceritakanya pada kenalanku.
Kenalanku mengatakan aku adalah orang yang beruntung bisa selamat dari tempat itu, karena bila kau berhasil melihatnya—dia tidak akan melepaskanmu. Para gadis itu melakukan itu, hanya untuk bermain-main, namun kemungkinan para gadis itu adalah salah satu hamba dari mereka.
Aku hanya ingin mengingatkan kalian, dan ini dari kenalanku—bila kalian pergi ke jepang, dan berkunjung ke kuil yang ada dimanapun, jangan pernah mendekati gadis yang sedang bergerombol. Karena Umumnya, para gadis jepang tidak suka bergerombol terutama di Kuil-kuil.
Tamat
0 comments:
Post a Comment