Her Smile


Dia sangat cantik, seperti malaikat. Tidak semua orang setuju denganku, tapi tidak apa-apa. Buatku, dia adalah wanita tercantik. Matanya besar, bibirnya menawan, rambutnya coklat panjang, sosoknya ramping. Yang paling penting, dia juga mencintaiku.

Aku bilang "aku cinta padamu" setiap hari, dan dia biasanya hanya tersenyum. Dia tidak banyak bicara, hanya balas menatapku dan tersenyum lebar. Dia sudah tinggal lama bersamaku, dan dia tidak pernah sekalipun mengatakan hal-hal buruk padaku. Dia sangat setia, dan selalu duduk menantiku pulang setiap malam. Suatu hari, aku melihat sesuatu di matanya yang mengisyaratkan bahwa ia ingin aku melakukan sesuatu yang 'istimewa,' dan aku balas menatapnya, tahu persis apa yang diinginkannya.

Dia mungkin tahu aku merasa gugup, tapi dia sangat anggun. Dia membiarkanku mengangkatnya ke kamar tidur kami di lantai dua. Dia membuatku merasa jantan. Setibanya kami di kamar, aku menatap senyumnya yang sensual, sebelum kami melakukannya. Bagaimana mungkin aku tidak menuruti permintaan yang satu itu?

Dialah satu-satunya yang membuatku merasa bernilai, bukannya direndahkan, seperti yang dilakukan orang-orang lain. Saat kami berbaring di ranjang, aku bisa bicara apa saja dan dia akan mendengarkan, termasuk ketika aku melontarkan lelucon tak lucu. Dia tidak pernah bersikap ketus atau mengkritik berlebihan.

Hari ini adalah hari istimewa kami; peringatan enam bulan sejak pertemuan pertama kami. Aku membuatkannya sarapan; omelet, daging asap, keju dan salsa. Sayangnya, hari ini sepertinya dia tidak terlalu lapar. Dia hanya menatapku dan memberi isyarat "aku harus jaga bentuk tubuhku, kau tahu." Aku agak kecewa, tapi aku putuskan menghabiskan sarapannya. Tapi dia tak marah padaku.

Kami akan pergi ke taman hari ini. Kekasihku tak begitu suka keluar rumah, tapi sesekali aku ingin mengajaknya keluar jalan-jalan. Aku membantunya naik ke mobil, menciumnya, sebelum menyetir mobilku selama dua puluh menit menuju taman hutan lokal. Hari itu dingin, tetapi tidak terlalu dingin. Aku memarkir mobil dan membukakan pintu, lantas aku membawanya berkeliling. Tak ada orang di sana, tapi kami tak peduli.

Kami menyusuri jalanan kecil taman, lantas mengambil jalan pintas menembus rerimbunan pohon dengan batang-batang raksasa yang makin lama makin rapat. Aku berhenti dan menatapnya, dan kulihat matanya terarah ke sebuah pohon yang nampak tumbuh di suatu area terbuka di kejauhan. Dia tersenyum. Aku bilang padanya: "jadi kau masih ingat, ya? Di dekat pohon itulah aku bertemu denganmu enam bulan yang lalu."

Kami lalu duduk di bawah pohon itu, dan aku mencium keningnya lagi.

"Ingatkah kau bagaimana aku bertemu denganmu enam bulan yang lalu? Kau ada di dekat sini, terbaring di dalam kuburan dangkal di tengah area rerumputan itu."

Aku merangkul rusuknya, berusaha agar tidak merusak tendon dan ligamen busuk yang tersisa di kedua tulang tungkainya. Sedikit sisa otak keluar dari lubang matanya.

"Ups, ada kotoran di wajahmu, sayang." Kuseka rongga matanya dengan saputanganku, dan kucium dia. Dan dia masih tersenyum.

0 comments:

Post a Comment

 
Top