I Woke Up In A Stranger's House Today

Hari ini, aku terbangun di atas ranjang yang tidak kukenali. Pandanganku menyapu kertas penghias dinding dan foto-foto orang yang belum pernah kutemui. Semua foto itu berjejer di dinding. Kemudian seorang pria masuk ke kamar; setiap kerutan pada wajah pucatnya seperti punya kisahnya sendiri, kisah mengenai hati yang perih. Pada wajahnya, kulihat pula garis-garis senyuman yang membuatku berkesimpulan bahwa setidaknya, pria ini suka tertawa dulu. Dia menatapku dengan raut wajah kaku, namun matanya masih memperlihatkan kecemerlangan. Seolah-olah, akulah alasan yang membuat sepasang mata itu berbinar. Kemudian, dia meletakkan sebuah baki kayu di depanku.

“Kubuatkan bubur gandum. Aku tahu mungkin kau tak lapar, tapi setidaknya, cobalah cicipi,” katanya nyaris berbisik.

Dia benar. Aku belum lapar. Satu-satunya hal kupinta hanyalah untuk bisa tahu di mana tempatku berada, dan kenapa pria tua ini terus menatapku. Namun begitu, keberadaannya membuatku tenang. Hal itu semakin membuatku bingung. Aku bisa mendengar suara perlombaan golf yang ditayangkan di tv di ruangan sebelah. Apa yang memenuhi telingaku hanyalah suara tepuk tangan yang lirih.

Hal terakhir yang kuingat adalah saat aku sedang mengendarai sepedaku. Warnanya merah terang dengan rumbai-rumbai putih pada masing-masing ujung stangnya. Aku bersepeda, menyusuri jalanan yang kukenali. Dalam kepala, kudengar suara mesin pemotong rumput dan anjing yang menggonggong. Aku bahkan seperti bisa membaui aroma rumput yang baru saja dipotong.

Hingga kemudian, aku kembali pada kenyataan. Pria tua itu duduk di sebelahku dan meraih tanganku. Aku beringsut menjauh cepat-cepat. Dia benar-benar asing bagiku. Sebutir air mata jatuh dari mata kirinya, dan kulihat sorot matanya yang kelam kemudian. Aku tidak merasa bersalah karena menolaknya, namun rasa kasihan seperti menjalar.

Kenapa dia ada di tempat ini?

Aku bangkit dari ranjang dan terjengkang. Pria itu bergegas meraihku.

“Aku mau ke kamar kecil,” kataku. Pria itu kemudian memegang kedua tanganku dan menuntunku ke kamar mandi. Kamar mandi ini bertemakan lautan. Handuk-handuk bergambarkan kerang, lumba-lumba pada dinding, dan cermin yang berhiaskan tanaman rambat. Aku tak mengerti kenapa bisa menjadi begitu lemah. Kemudian aku berbalik menghadap cermin. Di sana, kulihat seraut wajah yang tak kukenali. Dia terlihat tua dan berkeriput. Wajahnya begitu pucat dan rambutnya yang putih, tergelung pada rol rambut di sana-sini. Saat itulah kusadari bahwa wanita itu adalah diriku. Pria tua sebelumnya menatapku dan berkata, “Kau baik-baik saja, Loretta?”

Aku menjawab, “aku baik-baik saja, Herb.” Entah kenapa aku bisa tahu namanya. Kemudian, aku kembali bertanya-tanya: siapa sebenarnya Loretta ini?

Dia memapahku untuk kembali berbaring.

“Aku mencintaimu,” gumamnya.

Aku tak bisa berkata-kata, namun kurasakan perasaan yang sama terhadapnya. Namun kenapa?

Tamat

Creepypasta Indonesia (fb)

0 comments:

Post a Comment

 
Top