The Pastel Man
Anggaplah hal ini sebagai sebuah peringatan. Dalam keadaan paling lemah sekalipun –seperti yang saat itu terjadi padaku- katakan tidak pada Pastel Man. Tak perduli betapa kau mencintainya atas janji manisnya untuk menolongmu, resiko yang akan kau terima sungguh tak sebanding. Aku mengatakan ini dengan harapan agar kalian tidak melakukan kesalahan yang sama sepertiku di malam musim salju nan dingin itu, berlutut di samping tubuh ayahku yang sekarat di atas lantai ruang tamu.
Saat itu tahun 1997, saat dimana aku bertemu untuk pertama kalinya dengan mahluk yang satu ini. Sejak itu, tak ada satu hari pun yang kulalui tanpa dihantui oleh wajahnya dalam bayanganku. Saat itu aku masih remaja, namun sore itu merupakan awal dimana masa kecilku nan indah hancur –remuk dan terteror oleh iblis keji dengan kulit berwarna biru pucat.
Walau terjadi bertahun-tahun lalu, aku masih mengingat kejadian –pertemuan pertama- itu secara jelas. Aku masih ingat baju yang kami kenakan, toping pizza yang sedang kami santap, bahkan skor football yang sedang kami tonton. Saat itu menjelang pertengahan babak ketika kemudian bicara ayah mulai terdengar kacau, yang mana terlihat janggal karena beliau hanya menyesap satu kaleng bir saja sejak kick off. Yang lebih aneh lagi adalah saat mengingat bahwa di masa lalu, beliau masih bisa berkata dengan jelas walaupun telah menyikat habis enam karton bir untuk dirinya sendiri. Sungguh tak bisa dimengerti kenapa hanya dengan satu kaleng bir saja sudah bisa membuat ayah nampak begitu mabuk. Kemudian aku sadar bahwa semua itu bukanlah akibat dari alkohol saat separuh tubuhnya terlihat lemas terkulai dan kemudian, ayah merosot jatuh dari sofa. Dengan panik aku mencoba bertanya apakah beliau baik-baik saja,namun ayah mulai meracau. Aku segera meraih ponsel di meja dan menghubungi 911.
“911. Apa keadaan darurat anda?”
“Kurasa ayahku mengalami serangan stroke.” Hanya pikiran itu yang terlintas sebelum kemudian operator menjawab.
“Ok, kami sudah mencatat alamat anda. Ambulan sudah dalam perjalanan dan akan segera datang. Apakah Ayah anda sadar?”
“Ya! T-tapi aku tak bisa mengerti perkataannya.” Racauan semakin deras muncul dari bibir Ayah. Aku sangat khawatir. Hanya dia yang aku punya. Ibu telah meninggal saat aku masih bayi sehingga tidak ada kesempatan bagiku untuk mengenalnya lebih dekat. Ayahlah yang selalu ada untukku, berperan sekaligus sebagai sosok ibu. Jika aku sampai kehilangan ayah, maka aku akan sebatang kara.
“Serangan stroke bisa diatasi. Kabar baiknya adalah Ayah anda masih sadar – “ Dan kemudian aku tidak mendengar kata-kata selanjutnya karena saat itulah aku menjatuhkan ponsel.
Saat itu aku merasa bahwa semua hal mengabur dan dunia sekitar menjadi senyap. Pertandingan di televisi, suara operator yang memberikan instruksi lewat ponsel, bahkan suara ayah saat dirinya menggeliat penuh penderitaan di atas karpet menjadi gambaran putih – seolah tersedot ke dalam dimensi lain saat kesadaranku akan sekitar menghilang. Perhatianku terfokus pada sebuah hal: sosok menjijikan nan aneh yang berdiri di dapur, menataku dan ayah dengan senyum ganjil yang menghiasi wajah menjijikannya.
Kepalanya nyaris menyundul atap dapur yang setinggi sembilan kaki. Dia mondar-mandir dengan gelisah seperti layaknya seorang bocah SD yang sedang menunggu bel pulang berbunyi sebagai isyarat dimulainya libur musim panas. Warna biru pastel yang menyelubungi seluruh tubuhnya –dari kepala sampai ujung kaki mengerikannya- tampak kusam dan berkeriput seperti selembar daun yang telah terpapar panas matahari selama berhari-hari. Tergantung pada lengannya yang kurus, terdapat sebuah tas dengan rajutan warna hitam. Benda itu dipindahkan dengan enteng dengan menggeser talinya oleh mahluk itu dengan menggunakan jemarinya yang panjang, sementara wajahnya menunjukan ekspresi tidak sabar.
Awalnya kupikir pikiranku kacau, dikarenakan melihat ayah yang mengalami stroke, namun setelah mahluk tersebut semakin mendekat denga merayap, aku mulai sadar bahwa apa yang kulihat bukanlah produk halusinasi. Dia menundukkan kepalanya saat memasuki ruang tamu dan menapakan kakinya yang kurus ke atas sofa. Walau mahluk tersebut bipedal (berdiri dengan dua kaki) namun saat bergerak, dia lebih memilih untuk merangkak. Dia berjalan mendekat dengan sikap layaknya seekor hewan buas yang sedang mengamati mangsanya. Siapa pun pastilah akan merasa ketakutan setengah mati melihatnya, namun senyum memuakan di wajahnya yang sangat mengerikan, jauh lebih membuatku berang daripada takut. Seolah-olah mahluk keparat itu menikmati penderitaan yang dialami ayah. Dia merangkak semakin dekat dan aku menggenggam tanga ayah dengan perasaan putus asa karena tidak bisa melindunginya. Mahluk itu kemudian berhenti hanya beberapa inchi dari diriku sebelum kemudian mengalihkan perhatiannya pada ayah.
“Aku bisa menyelamatkannya jika kau mau.” Aku langsung tertegun. Sebelumnya kusangka dia akan merobek leherku dengan geliginya atau mencabik wajahku dengan kuku hitamnya, dan aku telah bersiap untuk itu. berbicara padaku adalah merupakan hal terakhir yang kubayangkan darinya.
“Dia sekarat, namun aku bisa menyelamatkannya. Jika kau mau tentunya.”
Aku terduduk dengan mulut menganga tak percaya. Kudekap kepala ayah dan menatap pada dua mata besar mahluk di depanku yang berwarna merah muda dimana ukurannya memakan nyaris sepertiga dari keseluruhan wajahnya. Aku masih ingat bahwa sosoknya mengingatkanku pada sosok Kelinci Paskah – sungguh sebuah analogi konyol mengingat situasi yang kuhadapi saat itu. mahluk itu berdiri kembali di atas kedua kakinya dan aku kembali tersadar betapa mengesankannya mahluk itu dari sisi ukuran. Dia mengatakan padaku namanya –yang dimana tak berani kukatakan disini sebab hal tersebut merupakan hal paling mudah untuk membuatnya datang. Demi mudahnya akan kusebut dia disini sebagai si Pastel Man –hanya sebuah nama yang kukarang berdasarkan warna kulit dan bayangan merah muda yang berasal dari matanya. Hal tersebut dalam satu sisi membuatnya terdengar lucu dan konyol, dan sedikit meredakan kengerianku setiap teringat padanya. Walau sejujurnya tidak terlalu banyak membantu.
Akhirnya kewarasanku kembali juga setelah beberapa saat berkubang dalam shock untuk mengatakan beberapa kata yang gagap, “A-apa m-maksudmu dengan menyelamatkannya?”
“Apa yang kulakukan adalah membuat sebuah perjanjian, anak muda.” Suaranya secara mengejutkan terdengar begitu merdu –seperti ribuan paduan suara yang menyanyi serentak dalam sebuah kesatuan. Jika ada seseorang berbincang dengan mahluk tersebut sembari memejamkan mata, aku yakin mereka akan merasa sedang berbincang dengan malaikat bukan dengan sesosok makhluk mengerikan dengan seringai menyeramkan. Namun suaranya yang sungguh luar biasa hanya membuatku semakin tak nyaman. Sungguh sangat ganjil rasanya jika suara seindah itu dimiliki oleh makhluk yang begitu menjijikan. Sang Pastel Man kemudian membuat isyarat dengan menunjuk pada tasnya. “Aku punya kemampuan untuk menyelamatkan nyawa ayahmu, namun kau harus melakukan sebuah perjanjian denganku.”
“Perjanjian macam apa?”
“Semua hal terjadi demi sebuah alasan, bahkan untuk kematian sekalipun.” Senyumnya sedikit melebar seolah mahluk tersebut kemudian akan melayangkan sebuah punchline dari sebuah lelucon. “Aku memang bisa menyelamatkan nyawa ayahmu, namun ada orang lain yang harus menggantikan posisinya. Satu orang harus mati agar yang lain bisa tetap hidup. Itu perjanjiannya.”
Nafasku tercekat seketika, dan dia kembali berkata, “Bukan dirimu. Apa gunanya jika begitu? Tidak, aku memberikan pilihan padamu untuk memilih siapakah yang akan menggantikan ayahmu mala mini.”
Mendengar perkataannya, aku menjadi semakin tertegun. “K-kau … kaukah Sang Maut?”
Pastel man mendongakkan kepala dan mengaum nyaring. Aku sadar di saat-saat setelahnya, bahwa hal itu adalah cara keparat ini tertawa. “Bukan. Aku bukanlah dirinya, walau kau bukanlah orang pertama yang menayakan hal itu. Aku bukanlah iblis, atau pihak yang bekerja untuknya. Gampangnya anggap saja aku adalah seorang pembuat kontrak yang bekerja sendiri.” Dua lubang kecil yang menggantikan letak hidung mengembang, seolah mahluk tersebut merasa begitu puas telah menjelaskan sebuah hal agung kepadaku.
“Aku boleh memilih siapa pun?”
“Well, tidak bisa sembarang orang. Hal tersebut tidak akan mengasyikkan, bukan?” Aku bisa melihat bentuk seperti ujung panah layaknya gigi seekor hiu berderet dalam mulutnya saat mahluk tersebut membuka bibir saat bicara. “Pengganti ayahmu haruslah seseorang yang ada dalam kehidupanmu, setidaknya seseorang yang kau kenal.”
“Aku bukan pembunuh!” Suaraku terdengar lirih. Aku melihat ke arah ayah. Beliau sudah tak sadar dan kulitnya mulai memucat. “Dan rasanya … a-aku tak mampu membunuh seseorang saat ini!”
“Kau tak harus membunuh seseorang, anak muda.” Mahluk licik itu mulai memainkan kartu truff. “Apa yang harus kau lakukan hanyalah menyebutkan namanya, dan aku akan mengurus sisanya. Tentunya ada seseorang yang keberadaannya tidak kau inginkan dalam hidupmu, bukan? Guru, mantan pacar, atau mungkin seorang musuh di sekolahmu?” Memang benar. Aku kerap membayangkannya berkali-kali, namun dalam mimpi terliar sekalipun, aku tak akan pernah berani untuk menjadikannya nyata. Semua orang pasti mempunyai sosok yang merupakan racun bagi hidupnya. Seseorang yang membuat bangun di pagi hari dan memulai rutinitas menjadi begitu sulit, dan aku juga tahu benar akan hal itu. “Walter Flannigan,” gumamku dalam nafas tertahan.
“Siapa?”
“Walter Falnnigan. Dia anak di sekolah yang memberiku ini.” Kuangkat kemejaku dan menunjukan bekas tangan yang membentuk lebam di dada. Semua itu ulah Walter di ruang loker miggu itu. “Dia telah menyeretku dan menhajarku sejak awal aku bersekolah. Pihak sekolah tidak melakukan apa pun karena dia merupakan pemain football paling berbakat di sepanjang sejarah sekolah. Dia merupakan orang utama yang terpilih untuk masuk ke sebuah kampus bergengsi tahun depan. ESPN bahkan meliriknya.”
“Ahhh.” Pastel man mulai terkekh. Matanya semaki melebar dan kemudian merangkak kembali untuk berhadapan muka denganku. “Apa nikmatnya menjadi seorang raja tanpa adanya budak yang bisa diinjak, eh?”
“Aku sudah muak disiksa, jadi silahkan bunuh dia sebelum aku berubah pikiran!”
Pastel man mencengkeramkan jemarinya yang kuat pada wajahku secepat kilat. Seringai yang sebelumnya selalu melengkung di bibirnya kini digantikan dengan kerutan marah. “JANGAN MENGAJARKAN APA YANG HARUS KUPERBUAT, PAHAM?!” aku mengangguk ciut. Cengkeramannya begitu kuat. Aku paham kemudian bahwa jika dia menginginkannya, mahluk tersebut bisa saja meremukan kepalaku dengan mudah layaknya sebutir telur. “Bagus, sebab hal ini tidak sesederhana yang kau pikirkan, anak muda. Ada langkah-langkah yang harus dilakukan.”
“L-langkah-langkah?”
“Ya.” Senyum licik kembali muncul di wajahnya. “Kau harus menyaksikan sendiri kematian Walter Flannigan ini. Kau harus memanggilku, jika tidak aku tidak bisa menyelesaikan tugasku. Pancing dia hingga sendirian dan kemudian ucapkan namaku. Kau harus melihatnya mati sebelum matahari terbit jika tidak, berarti kau telah melanggar perjanjian yang telah kita sepakati. Jadi … apakah kita sepakat?” aku mengangguk lagi dan monster tersebut melepaskan cengkeramannya sebelum kemudian meraih tanganku. Telapak tangannya yang sangat besar menelan tanganku saat kami saling berjabat tangan. “Sempurna. Dengan jabat tangan ini, perjanjian kita telah terikat, anak muda.”
Aku menatap penuh curiga saat Pastel Man mengaduk-aduk tasnya sampai dia menemukan apa yang dicari. Diantara jemarinya, dia memegang seekor serangga aneh seukuran sekitar seperempat jarinya. Serangga itu mendengungkan sayapnya berusaha untuk lolos, namun tak bisa lepas dari jepitan Pastel Man. Dengan tangannya yang lain, dia membuka mulut ayahku.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku, namun dia tidak menjawabnya. Kemudian dia memasukan seranga itu dengan paksa ke dalam mulut ayahku, menjejalkannya sampai masuk ke dalam esophagus dengan jarinya.
Sekali lagi, Pastel Man berdiri. “Keinginanmu telah terkabul. Ayahmu akan segera pulih. Sekarang giliranmu. Ingat, anak itu harus mati sebelum matahari terbit atau perjanjian batal.
Dia berbalik dan mulai menjauhiku.
“Bagaimana jika aku berubah pikiran?” tanyaku.
Mahluk itu berhenti nyaris seketika dan kemudian berbalik. Lagi-lagi senyumnya berganti menjadi kerutan mencemooh mengerikan. Aku merasa lebih terancam dibanding saat dia mencengkeram wajahku sebelumnya. “Keadaan dan kesehatan ayahmu sebelumnya telah berpindah pada orang yang harus menggantikannya. Seseorang harus mati agar yang lain bisa meneruskan hidup. Itu perjanjiannya. Jika kau gagal merampungkan tugasmu, maka orang lain itu haruslah dirimu. Percayalah saat aku mengatakan hal ini, anak muda, aku tak perlu kau panggil kembali saat perjanjian kita batal. Aku berjanji untuk datang sendiri padamu. Dan saat hal itu terjadi, kau akan berharap tidak pernah menghianatiku.” Setelah mengucapkan semua itu, dia kembali pergi menuju dapur dan keluar lewat pintu belakang. Aku mengejarnya, namun saat sampai di luar –di halama belakang- mahluk itu telah menghilang. Saat itulah kemudian aku melihat lampu ambulan yang selanjutnya menepi di seberang jalan rumahku. Kuberikan isyarat pada mereka agar melihatku dan segera mengantarkan ke ayah.
Tidak begitu sulit untuk menemukan Walter. Aku tahu betul kemana dirinya pergi, namun aku hampir saja kehabisan waktu saat menunggu di rumah sakit untuk mendengar kabar dari dokter dari ICU. Aku harus bergegas menuju rumah Eddie Gillen. Orangtuanya sedang ke luar kota dan dia sebelumnya sudah berkoar di sekolah untuk mengadakan pesta. Ada dua hal yang aku tahu dari Walter:
1)Eddie adalah sahabat baiknya
2)Dia tidak akan pernah melewatkan satu pesta pun.
Saat itu sekitar pukul setengah empat pagi saat kutepikan mobilku. Aku parkir sedkit jauh dari jalanan sehingga tidak terlihat. Karena waktuku banyak tersita di rumah sakit, aku khawatir bakal melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Walter. Semua kekhawatiran buyar saat melihat picuk-upnya masih berada di samping jalan. Kekhawatran lain terlintas. Bagaimaa jika Walter ternyata terlalu mabuk dan tertidur atau pingsan? Aku mencoba memikirkan sebuah cara untuk bisa masuk ke rumah Eddie dan mencari kesempatan untuk bisa bertemu cukup lama dengan Walter sendirian, cukup lama bagi Pastel Man untuk melakukan apa yang ia kehendaki. Betapa beruntungnya diriku, tidak lama setelahnya, Walter muncul dari pintu depan rumah Eddie dan bergegas merangkak naik ke dalam mobilnya. Aku bernafas lega karena terhindar dari masalah yang bisa menyusahkanku.
Dia mulai berkendara dan aku membuntutinya, sebisa mungkin menjaga jarak sehingga dia tidak memergoki. Tampak jelas dia mabuk. Walau mengikutinya dari kejauhan, aku bisa melihat truknya beberapa kali keluar dari marka jalan. Perkataan Pastel Man sebelumnya terus terngiang di telinga seperti sebuah rekaman rusak.
“Kau harus menyaksikannya mati sebelum matahari terbit …”
Untuk melihat sosoknya kembali, jujur aku ragu, mengingat melihatnya sekali saja cukup membuatku trauma. Apakah aku mampu untuk melihat wajahnya untuk yang kedua kalinya? Bagaimana dengan Walter? Walau dirinya memang benar-benar anak brengsek, dia tidak layak untuk mati, terutama di tangan mahluk itu.
“Mahluk itu akan membunuhmu jika kau tidak membiarkan mahluk itu membunuh Walter, kau melakukan semua ini demi Ayah.”
Aku tidak yakin apakah suara itu berasal dari malaikat ataukah iblis yang duduk di atas pundakku. Dari jendela mobil di sampingku, kulihat segaris warna merah muncul di cakrawala –isyarat awal akan terbitnya mentari yang muncul di langit malam. Dalam beberapa jam ke depan, pagi akan segera datang dan aku akan terlambat untuk memenuhi perjanjian yang telah disepakati. Bagaimanapun, aku akan berjumpa lagi dengan Pastel Man.
Walter tinggal di kaki bukit di pinggiran kota dimana orang-orang kaya lainnya tinggal. Aku pernah sekali ke sana untuk mengerjakan tugas sekolah –dimana semua tugas itu aku yang mengerjakan dan semua pujian jatuh pada Walter. Kami sampai pada bagian dimana untuk sampai ke rumah Walter, kami harus melalui pepohonan di samping kanan-kiri jalan. Aku tahu di tempat itu tidak ada satu rumah pun, dan kuputuskan untuk bertindak di tempat itu. kutambah kecepatan sampai berada tepat di belakang mobilnya dan mulai menge-dim dan membunyikan klakson keras-keras. Aku bersiap untuk mencegatnya agar Walter berhenti, namun hal itu tak perlu dilakukan. Walter pastilah panik. Truknya mulai tak terkendali dan keluar jalan sebelum kemudian menghantam sebuah pohon sampai berhenti.
Aku menepi di belakanganya, merasa bimbang selang beberapa saat. Bayangan mahluk itu, seringai menjijikannya berkelebat dalam kepala membuatku bergidik. Aku segera keluar dari mobil, namun masih tetap membiarkan mesin tetap menyala.
“Hey, Walter!” teriakku.
Pintu mobil Walter terbuka dan dia melompat keluar dari truknya. “Sean? Sean The Shithead?” Dia bingung, namun jelas merasa kesal. Sean The Shithead adalah julukan yang ia berikan padaku sejak minggu keduaku bersekolah. Dalam satu bulan dia telah membuat seluruh kelas memanggilku dengan julukan itu. “Kau pikir lucu, heh?! Kuhajar kau, bangsat!”
Dia merangsek maju ke arahku dengan kedua tangan terkepal. Kembali, keraguan datang untuk memulai segalanya. Perasaan bersalah mengaliri setiap nadi. Hidup Walter akan segera berakhir, dan hal itu dikarenakan olehku. Ingatan kembali berlompatan di balik batok kepalaku. Semua penyiksaan di sekolah olehnya, senyum licik Pastel Man, wajah ayahku saat menggelepar sekarat di lantai ruang tamu. Akhirnya kata-kata yang terucap dalam nada merdu dari sosok mngerikan itu kembali terngiang.
“Seseorang harus mati agar yang lain tetap hidup.”
Walter semakin mendekat, sekaranglah saatnya atu tidak sama sekali. Aku harus memilih untuk memanggil atau tidak nama Pastel Man sebelum waktu yang ditentukan habis. Kuteriakan nama asli dari Pastel Man dengan emosi menggelegak ke arah Walter, sang bintang football. Walter terhenti sejenak, menatapku dengan bingung kemudian menemukan kembali kemarahan yang membimbingnya untuk kembali merangsek ke arahku – Pastel Man tak muncul. Untuk kedua kalinya di malam itu, aku bimbang dan menyangka telah sinting. Apakah yang terjadi sebelumnya nyata? Apakah ayahku benar-benar sakit? Kembali aku mengulang nama Pastel Man dengan tujuan menghadirkannya, namun kali ini tidak menghentikan Walter barang selangkah pun.
Dengan bengis dia mendorongku pada kap mobil, mencengkeram kerah baju dan memitingku. Walter mengangkat tangannya yang terkepal, bersiap untuk meninju. Aku hanya bisa merunduk dan mengangkat tangan sebagai tameng, namun tinjunya tak pernah menyentuhku. Saat membuka mata, barulah aku tahu diriku tidaklah gila. Wajah Walter begitu pucat. Mulutnya menganga persis seperti diriku saat melihat Pastel Man untuk yang pertama kalinya. Aku menoleh untuk meyakinkan diri bahwa mahluk tersebut memang berada di depan lampu mobilku. Wajahnya masih dihiasi senyum seperti yang kulihat sebelumnya, dan dari balik bibirnya yang tipis, terlihat deretan bak belati yang mampu merobek daging sampai ke tulang. Tidak ada satu pun di antara aku dan Walter yang mengucap. Kurasa aku sama ngerinya dengan Walter. Rasa mual menusuk perut begitu melihat Pastel Man mulai merangkak mendekat. Aku tak menatap wajah Walter. Bagaimana bisa? Walter akan segera mati di tangan monster mengerikan itu dan semua itu adalah kesalahanku. Seharusnya aku tak memanggilnya. Seharusnya aku tak menjabat tangannya!
“Maafkan aku.” Aku benar-benar menyesal saat itu, dan sampai sekarang pun masih merasakan hal yang sama.
Mataku masih lekat pada sosok Pastel Man, namun kurasa jauh lebih berat untuk melihat wajah Walter daripada harus mengatasi rasa takutku sendiri. Walter tak mengucap sepatah kata pun. Lampu mobil tepat menyinari wajah mahluk terkutuk itu sehingga kami berdua bisa melihatnya dengan jelas. Mata Pastel Man yang berwarna merah muda nampak berkilau dan memantulkan nyala lampu mobil.
Walter melepaskanku dan pontang-panting menuju truknya, namun monster terkutuk itu menerkamnya dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan. Jeritan pilunya jatuh pada ketidakpedulian Pastel Man yang telah membenamkan kuku hitamnya ke dalam perut Walter. Aku berusaha untuk memalingkan muka, namun Pastel Man memaksaku untuk mengingat perjanjian yang telah kami buat.
“KAU HARUS MENYAKSIKANNYA, ANAK MUDA! JANGAN LUPA BAHWA KITA PUNYA PERJANJIAN!”
Kupaksa diriku untuk kembali menghadapi pembantaian di depan mata. Senyum liciknya telah berubah menjadi seringai keji berlumur ekstasi. Nampak seolah bahwa mahluk laknat terkutuk itu mengalami orgasme saat menyiksa Walter, sementara jemarinya yang kurus namun kokoh itu semakin dalam terbenam dalam perut walter. Dengan satu sentakan, Pastel Man mengeleuarkan tangannya dari perut Walter. Apa yang kulihat kemudian adalah tangannya penuh dengan usus yang dilemparkan ke tanah saat ia mendekat ke arahku. Dua lubang kecil yang menggantikan letak hidung nampak mengembang sebagai pertanda bahwa mahluk tersebut puas akan hasil karyanya.
“Sudah berakhirkah?” Aku tak yakin apakah kalimat tersebut merupakan pertanyaan atau permohonan. Aku dan Pastel Man berhadapan satu sama lain.
Pastel Man kemudian mendogakkan kepala, mengaum penuh kemenangan. “Selesai? Ini hanya permulaan.” Dia kembali berbalik menuju Walter, yang sedang merangkak menuju truknya sementara isi perutnya tercecer di belakang. Pastel Man mencegat dan membantingnya ke atas aspal. Kemudian dengan mudahnya, dia mengangkat Walter dengan cara mencengkeram kepalanya. Selama beberapa saat, Pastel Man bermain-main sedikit dengan Walter, memaksa Walter untuk menatap wajahnya. DEngan tangan satunya yang erbebas, Pastel Man meraih ke dalam tasnya dan mengeluarkan serangga yang berukuran lebih besar kali ini. Serangga ini berbeda dengan yang ditelan ayahku, baik ukuran maupun bentuk. Jika serangga yang ia berikan pada ayahku hanya seperempat ukuran jemarinya, serangga kali ini berukuran sebesar sebuah bola golf. Bentuknya berlendir –kulit yang membungkus tubuhnya nampak berkilauan tersorot lampu mobilku. Pastel Man mengayun-ayunkan serangga menjijikan itu di depan wajah Walter selama beberapa saat.
“Jadilah anak penurut, nak. Buka mulutmu.”
Walter menjerit, mulutnya terbuka sehingga pastel Man bisa melakukan niatnya. Dia menjejalkan serangga berlendir itu ke dalam mulut Walter, melewati tonsil dengan jemarinya. Aku terus menyaksikan kengerian di depanku saat Walter tersedak, kurasa karena ukuran serangga itu yang terlalu besar saat memasuki tenggorokannya. Tidak berapa lama kemudian, muka Walter membiru. Aku yakin dia mati karena tercekik dan walau aku ingin menyelamatkannya, tidak ada satu hal pun yang bisa kuperbuat. Beberapa menit berlalu dan kemudian Pastel Man menjatuhkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa.
Pastel Man mengamati semua kekacauan yang ia sebabkan selama beberapa saat, ia meresapi semuanya seolah-olah apa yang ada di sekelilingnya adalah sebuah karya tersohor dalam sebuah galeri seni. Kemudian iblis itu berbalik begitu saja, kembali ke dalam baying-bayang, menghilang dalam kegelapan malam tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku hanya bisa berdiri menatap pemandangan yang ada dan rasa mual masih mengaduk perut sebagai efek atas apa yang telah kusaksikan. Aku tak tahu apa yang kuharapkan akan terjadi setelah semua perjanjian ini lunas terbayar. Tidak ada ledakan, tidak ada cahaya terang dimana kemudian aku akan melihat arwah Walter terhisap ke dalam neraka atau terbang ke sorga. Semua itu tidak terjadi, apa yang ada hanyalah mayatnya yang tergeletak begitu saja di atas jalanan beraspal. Seorang remaja yang mati dan pembunuhnya. Pastel Man hanyalah senjata, namun akulah yang menarik pelatuknya. Malam itu, seharusnya ada dua mayat di jalan itu.
Aku sadar kemudian bahwa tak ada waktu untuk meratap. Selang beberapa saat lagi, sebuah mobil bisa saja melintas dan mendapatiku sedang berada di tengah lokasi pembantaian. Aku segera berlari menuju mobilku dan memacunya menuju kota.
Pihak koroner menyatakan bahwa Walter tewas karena kecelakaan saat mabuk, walau saat itu jelas terdapat begitu banyak keraguan yang muncul mengingat betapa banyaknya keganjilan di balik kematiannya. Dari hasil otopsi sendiri tidak ditemukan serangga berlendir yang dijejalkan Pastel Man sebelumnya. Penduduk kota diliputi kabut duka nan tebal. Aku masih ingat lilin-lilin dinyalakan untuknya sebagai tanda duka yang dalam. Beberapa berita besar menjamur di media seiring berita kematiannya, mengingat Walter merupakan figur berbakat dalam bidang football. Ayahku pulih sepenuhnya hanya beberapa hari setelah serangan stroke menimpa. Beliau segera pulang. Beberapa saat kemudian aku lulus dari SMU dan bertemu dengan belahan jiwaku pada semester pertama perkuliahan. Namanya Diaa, dan dia merupakan gadis tercantik yang kulihat. Kami menikah tidak lama setelah kelulusan dan mendapatkan Mathew sebagai buah perkawinan kami. Namun aku tak bisa melupakan bahwa tanganku ikut berlumuran darah Walter. Beban dosa itu tetap kupikul sejak peristiwa malam itu. Tak perduli betapa keras aku mencoba melupakannya, kenangan kelam itu terus menghantui. Pastel Man tak mengijinkanku untuk melupakan dosa itu.
Dia pasti telah melihatku sebagai sebuah sasaran empuk karena iblis laknat itu selalu datang kembali saat salah seorang yang kucintai berada dalam ambang maut. Dia datang dengan tawaran yang sama saat aku menerimanya di malam memalukan itu. Walau mahluk itu telah begitu keras berusaha demi memuaskan dahaganya akan darah, gambaran kematian Walter yang begitu mengerikan tidak pernah lepas dari ingatan dan memberiku kekuatan untuk menolak tawarannya. Bahkan beberapa tahu kemudian, pada malam meninggalnya ayah, aku berhasil menolak tawarannya saat Pastel Man mengunjungi kami di kamar rumah sakit.
Aku telah dikutuk untuk selalu diuji oleh Pastel Man sampai mati. Ujian yang selama bertahun-tahun telah mampu aku hadapi hingga sampai pada suatu sore, saat diriku kembali terpuruk dan sekali lagi iblis terkutuk itu mengambil keuntungan dari titik terrendah dalam kehidupanku.
Diana dan Mathew sedang dalam perjalanan pulang dari airport setelah mengunjungi mertuaku. Aku sedang bekerja lembur demi merampungkan proyek yang sudah diburu tenggat waktu sehingga isteriku memilih untuk naik taksi daripada memintaku menjemput mereka.
Saat itu menjelang tengah malam dan aku sendirian di kantor saat telepon dari kantor polisi kuterima. Mereka mengatakan bahwa seorang pengendara mabuk menabrak taksi yang ditumpangi anak-isteriku. Diana dan sopir taksi meninggal seketika sedangkan puteraku dalam kondisi kritis. Aku duduk di belakang meja tanpa bisa berpikir jernih. Saat itulah kemudian kusadari bahwa diriku tak sendirian di dalam kantor. Dengan bertengger di atas meja bossku, Pastel Man memamerkan senyum licik dan menjijikan di wajahnya yang berkerut. Dia tak perlu menawariku perjanjian, apa pun itu dia jelas telah mengetahuinya.
“Bisakah kau selamatkan mereka?” tanyaku
“Ya dan tidak.”
“Apa maksudmu? Katakan, cepat!”
Seringai Pastel Man lenyap dan aku tahu dia tidak merasa senang dengan nada bicaraku. Ingatan saat dirinya mencengkeram wajahku saat terakhir kalinya aku meminta sesuatu darinya, membanjir kembali dalam arus kesadaran. Mungkin dia sadar bahwa aku bukanlah sebuah ancaman bagi perjanjian sebab alih-alih membentakku seperti yang ia lakukan pada masa lalu, dia memutuskan untuk menjelaskan maksudnya.
“Aku tak bisa mengembalikan seseorang dari kematian, hanya bisa menyelamatkan mereka sebelum menjadi pemilik Sang Maut. Isterimu telah mati. Kau harus merelakannya. Berbeda dengan puteramu, dia bisa diselamatkan. Dengan harga yang musti dibayar, tentunya.”
Kugali ingatan di balik batok kepalaku. Aku tak bisa menemukan satu orang pun dalam hidupku yang pantas mati di tangan monster biru muda terkutuk itu. Bahkan seseorang sebrengsek Walter pun tidak layak untuk menerima takdir mengerikan di malam itu karena keputusan tolol yang kubuat. Namun hanya puterakulah satu-satuya yang kupunyai sekarang, dan dia juga tak pantas mati. Mathew tak pantas mati karena seseorang telah membuat keputusan buruk malam itu dengan berada di belakang kemudi dalam keadaan sangat mabuk.
Suara merdu Pastel Man memenuhi ruangan kembali. Suaranya terdengar dari seluruh penjuru.
“Pengemudi mabuk yang menghantam taksi keluargamu masih hidup. Dan dia ada di rumah sakit sama dimana puteramu berada. Kenapa tidak dia saja?”
Untuk pertama kalinya, malam itu aku menatap langsung ke dalam mata merah muda Pastel Man. “Kau berkata bahwa korbannya haruslah orang yang aku kenal?”
“Semantik. Korban haruslah seseorang yang memiliki pengaruh langsung dalam hidupmu. Saat dia menabrakan mobilnya ke arah isteri dan anakmu, status kandidat telah tersemat padanya.” Pastel Man mengembangkan dua lubang kecil di wajahnya seperti biasa saat dia merasa puas akan dirinya.
“Baik. Kita lakukan sekarang juga,” kataku. Kujabat tangannya sebagai tanda resminya perjanjian yang dibuat di antara kami. Selanjutnya Pastel Man member instruksi agar perjanjian kami bisa berjalan.
Saat bertemu dengan dokter di rumah sakit, mereka memberikan berita perkembangan putraku. “Kami telah berusaha semaksimal mungkin, namun dia benar-benar seorang pejuang kuat.” Mereka menunjukan sikap optimis, namun dari sorot matanya aku tahu bahwa mereka yakin bahwa Mathew tidak akan berhasil melewati malam ini.
Mereka mengantarku ke kamarnya dan memberi waktu bagiku untuk bersamanya. Pastel Man sudah berada di kamar saat aku masuk, tersenyum ke arah Mathew di bawahnya. Denga cepat kututup pintu dan mengangguk ke arah sang monster. Dia memasukan tangannya yang kurus ke dalam tas dan mengeluarkan serangga aneh yang sama dengan yang ia berika kepada ayah. Aku membuka mulut Mathew dan dengan dua jemarinya, Pastel Man menjejalkan serangga itu ke dalam rongga mulut Mathew.
“Dia akan pulih sepenuhnya. Sekarang giliranmu.” Pastel Man menghilang di balik jendela kamar rumah sakit. Aku tak perlu mengecek apakah dia benar-benar pergi atau tidak. Jika dia muncul kembali, hal itu hanya terjadi jika aku memanggil namanya.
Saat menyetujui perjanjian di kantor, Pastel Man memberitahukan padaku kamar mana pengemudi mabuk itu berada. Lukanya tak separah Mathew jadi dia pastilah ada di sayap berbeda dari rumah sakit. Aku bisa merasakan degup jantungku yang seakan hendak menjebol rongga dada saat berjalan menuju kamarnya. Setiap langkah kaki yang kubuat, degup jantung terrasa semakin kencang. Akhirnya perasaan bersalah yang sama saat menatap mayat Walter kembali menyelimutiku. Aku akan mengambil nyawa orang. Siapakah diriku hingga berhak untuk menentukan hidup-matinya seseorang? Aku merasa sama menjijikannya seperti tampang Pastel Man. Mungkin aku tak punya gigi tajam yang menonjol atau berkulit biru yang berkeriput, namun jika tahu konsekuensi dari perjanjian yang kami buat dan aku masih memenuhinya, maka aku tak ada bedanya dengan monster terkutuk itu.
Aku melangkah memasuki pintu dengan sebisa mungkin tanpa menghasilkan suara, berharap tak seorang pun memergokiku menyelinap masuk. Saat menatap wajah pengemudi yang tak sadar di depanku, perasaan mual yang akrab kembali terrasa segera. Dia masih remaja, tidak lebih tua dari umur Walter saat aku dan Pastel Man secara tak adil merampas hidupnya sebelum sempat bersinar. Walter bisa saja menjadi seseorang yang berbeda saat dewasa, seseorang yang mampu melakukan hal baik dalam dunia ini, namun dia tak pernah diberi kesempatan. Pengemudi ini hanyalah remaja bodoh yang melakukan kesalahan. Sebuah kesalahan dimana dirinya tak pernah diberi kesempata untuk menebusnya. Aku melihat wajah Walter dalam wajahnya dan rasa mual kian menghebat merajam perut. Aku mencoba mengucapkan nama Pastel Man, namun tak mampu. Mungkin malaikat di pundakku tak mengijinkan hal itu terjadi. Aku tak boleh bertanggung jawab atas kematian seorang remaja lagi. Tidak kali ini. Aku menolak untuk menarik pemicu itu.
Aku keluar dari kamarnya tanpa pernah menoleh. Kuluagkan sisa malam itu dengan duduk di samping puteraku. Sinar mentari pertama menerangi kamar Mathew dan menyita perhatianku. Aku melongok keluar dari balik tirai dan menyaksikan matahari terbit untuk pertama kalinya sejak kematian Walter.
Sungguh menakjubkan.
Segaris warna merah muda yang melintang di cakrawala, tumpah memenuhi langit membentuk lembaran warna ungu nan mempesona. Aku menyaksikan pertunjukan cahaya mentari nan agung yang terbit pada akhirnya, dan hal itu sungguh sangat spektakuler tak terlukiskan kata.
Kubatalkan perjanjianku dengan Pastel Man sehingga kini nasibku berada di tangannya. Tanga yang nampaknya sebentar lagi akan menusuk perutku. Di sisi lain, Mathew akan pulih, sehat sepenuhnya. Akan berat baginya tumbuh tanpa adanya orangtua, namun dia sebelumnya telah begitu dekat dengan bibinya. Saudari isteriku merupakan sosok wanita luar biasa dengan kelaurga yang sangat penyayang. Dia merupakan wali legal dari Mathew dan telah berjanji pada kami sejak Mathew lahir untuk selalu menjaganya. Suaminya merupakan pria terhormat dan mereka tak pernah bermasalah dengan keuangan. Asuransi yang telah Diana dan aku ambil, bersama dengan uang tabungan yang telah kami persiapkan untuk Mathew menjelang kuliah akan menjamin bahwa takkan ada masalah keuangan saat Mathew ada dalam asuhan mereka.
Hanya masalah waktu sebelum Pastel Man datang kepadaku. Aku sadar bahwa ajal kian mendekat, namun aku tak takut. Justru aku akan menyongsongnya. Seolah-olah bahwa sosok bocah yang mati bersamaku pada malam mengerikan itu telah mendapatkan kesempatan baru. Saat aku pergi, semua rasa bersalah dan kebencian terhadap diri sendiri akan lebur bersamaku – sirna, sehingga jiwaku dapat terlahir kembali dalam keadaan suci. Seperti saat sebelum aku bertemu dengan monster itu.
Seperti kata Pastel Man:
"Seseorang harus mati agar yang lain dapat terus hidup."
Tamat
Keren...!! Asli ilustrasi dan cara penulis menggambarkan situasi keren bgd... walau endingnya ketebak... but i enjoyed the whold story
ReplyDelete