Tune

Pada saat umurku sepuluh tahun,
Aku hanya pernah melihatnya sekali saja.
Seseorang yang datang dari pinggiran kota,
Seseorang yang mengenakan mahkota berlapis darah.

-

Saat itu malam jumat,
Tempo itu aku tak beranjak dari kasur.
Keluar jendela, aku mencuri pandang,
Dan aku melihatnya kebetulan.

Ia jangkung kurus dan terkurung oleh kegelapan
Kehadirannya membuat anjing menggonggong,
Dari posturnya, ia bersenandung tinggi,
Sebuah lagu menyeramkan yang tak bisa kutolak

Ia mengendap dan melangkah sepanjang jalan,
Bunyi injakan lumpur cair dikakinya.
Jejak cairan merah dibelakangnya.
Korban barunya akan ia temukan.

Ia meraih pisau dan dilengannya,
Ukirannya menjadi sebuah pesona.
Bagaimana ia menjaga tubuhnya berharga,
Yang terlihat tinggi dari ukurannya.

Seorang anak kecil bermain di dekat taman.
Dengan segunung sukacita dan tangisan kebahagiaan.
Kemudian ia berbalik ke anak kecil itu,
Sebuah bayangan kelabu gelap menyeringai

Aku tak melihat apapun di mukanya.
Hanya hawa dingin yang mematikan.
Senyumnya melebar, batinku.
Tapi tak ada persiapan apapun untuk yang sekanjutnya terjadi.

Ia berlari kilat ke anak itu,
Anak itu menjatuhkan mainannya.
Ia berteriak untuk pertolongan, tak seorang pun datang.
Anak itu memanggil,"Ayah! Ibu!" Lalu seuntai nama.

Sebuah nama yang tak pernah kudengar,
Tapi pernah kulihat sekali, atau bahkan sering?
Sebuah nama yang menumbuhkan ketakutan,
Tapi apa yang ia lakukan disini?

Ia hanya sebuah legenda, sebuah cerita seram,
Yang bermandikan darah dan rambut kusut.
Aku menekan wajahku ke jendela,
Melihat seberapa lama bocah itu bertahan.

Tak lama, bahkan terhitung cepat,
Darah anak itu merah dan kental.
Kemudian sosok itu mengangkatnya tinggi tinggi,
Kemudian memeras darahnya hingga kering.

Ia takkan menghentikan lantunan nadanya
Ia jejakkan kakinya, langkahnya terhuyung.
Seakan tadi hanyalah sebuah pertunjukan,
Senyum dinginnya mengembang,
Darah mengalir bak arus sungai deras,
Dinginnya angin malam membuatnya menguap.
Ia banting tubuh itu ketanah,
Anak itu tak bergerak dan tak bersuara.

Anak itu mati, tapi ia belum puas,
Sosok itu tertawa, seakan itu lucu.
Lalu ia mengeluarkan gergaji, mulai memotong,
Semua bagian tak terkecuali kepala.

Tak lama setelah ia menyelesaikan mahakaryanya,
Pria itu mulai tertawa lagi.
Ia mencuri pandang ke sekeliling taman,
Tapi kali ini, kegelapan menghalangiku.

Aku tak bisa melihat apa yang selanjutnya terjadi.
Aku langsung berlari ke meja tulisku.
Suara mengerikannya semakin jelas,
Seakan ia berbisik ditelingaku.

Nada lagunya terlalu tinggi, membuatku merinding,
Tapi aku tak mempersiapkan apapun untuk yang selanjutnya terjadi.
Aku mendengar ketukan di jendela.
Aku menatapnya, dan ia menatap balik.

Mukanya pucat sepucat susu,
Kemudian ia menunjuk kearahku.
Jendela terbuka tanpa suara
Darah anak itu menitik menghias sunyi

Ia sepertinya ingin kisahnya diceritakan,
Dengan kulit pucat dan rambut kusutnya.
Aku duduk disini, diawasi olehnya.
Di bahuku, ia menorehkan tangannya.

Aku sadar ia bisa melihat
Apa yang kuketik di depanku.
Aku harap ia memberi pengampunan
Atas apa yang telah kulakukan.

Jika kau menemukan ini dan membacanya,
Aku harap ia tidak datang untukmu
Ceritanya adalah cara ia mencari korban,
Jejak kaki berdarah di sepatunya.

Dalam cerita dan lagu, kau akan menemukannya,
Tolong persiapkan dirimu.
Kalau kau mendengar kicauan lagunya,
Ia akan mengejarmu.

-

Tangan pucatnya masih dibahuku,
Ruangan ini panas, tapi sekarang dingin.
Aku harus menghentikan cerita tentangnya,
Cerita tentang raja bermahkota darah.

-

Pada saat umurku sepuluh tahun,
Aku hanya pernah melihatnya sekali saja.
Seseorang yang datang dari pinggiran kota,
Seseorang yang... mengenakan... mahkota berlapis... darah.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top