Mrs. Twiller Takes a Trip
"Boleh saya coba yang itu?" Tanyanya, "yang warnanya coklat cantik itu?"
"Ya, tentu saja," kata si pramuniaga sambil balas tersenyum. "Jam ini cantik dan murah." Dia menaruh jam itu di pergelangan tangan Nyonya Twiller.
Nyonya Twiller mengangkat lengannya, mengagumi arloji itu dari segala sudut. "Berapa, Nona?" Tanyanya dengan suara bergetar.
"Harganya hanya 9,98 Dolar. Harga khusus, hanya untuk minggu ini. Mau saya bungkus?"
"Oh, tidak," ujar Nyonya Twiller. "9 Dolar?" Dia meraba-raba arloji itu untuk membukanya.
"Tapi ini sangat murah," ujar si pramuniaga. "Jamnya sangat indah untuk harga segitu."
Nyonya Twiller mendongak dengan riang. "Oh, ya, ini indah. Tapi semua barang sekarang mahal harganya; saya tak mungkin menghabiskan segitu untuk jam. Tetapi, terima kasih, Nona."
Si gadis tersenyum dan membantu Nyonya Twiller melepas kaitan tali arloji itu. "Baiklah, maafkan saya, bu."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa," Nyonya Twiller menepuk-nepuk lengan si gadis. Dia memandangi arloji di tangannya, dan ketika si gadis bergegas menyambut pelanggan yang baru datang, Nyonya Twiller cepat-cepat menjatuhkan jam itu ke kantong belanjaan besar di dekat kakinya.
Nah, pikirnya. Cukup sudah. Dengan radio transistor dan pencukur listrik yang sudah diambil dan dimasukkannya ke tas itu, dia akan bisa mendapat uang untuk memberi makan pasukan kucingnya selama beberapa hari. Sudah waktunya untuk pergi, tapi Nyonya Twiller masih ingin mengunjungi toko di lantai bawah tanah untuk membeli beberapa mangkok tempat makan kucing yang baru.
Saat menuruni eskalator, Nyonya Twiller memeriksa dompetnya. Dia masih punya sedikit uang. Tentu saja dia tak akan mencuri mangkok-mangkok tempat makan itu; tidak etis. Dia sudah mendapat cukup uang sesuai yang diniatkannya. Dia sudah tak bisa lagi mengandalkan sedikit uang yang dikirimkan anak lelakinya tiap minggu untuk memberi makan pasukan kucing tersesatnya, apalagi si anak belakangan ini semakin pelit ketika mengiriminya uang. Malah, pikir si nyonya tua, harusnya toserba ini bangga karena mereka secara tidak langsung membantu "proyek amal," pikirnya sambil tersenyum sendiri.
Mendadak Nyonya Twiller menyadari bahwa dia sudah berdiri lama di eskalator itu. Seharusnya dia sudah di lantai bawah tanah sekarang. Apakah eskalatornya rusak? Tidak, masih bergerak. Lalu mengapa begitu lama? Dan mengapa gelap sekali? Nyonya Twiller terperanjat, tapi kemudian merasa lega ketika melihat cahaya di ujung...gumpalan kabut? Mengapa ada kabut di lantai bawah tanah toserba?
Cahaya itu nampak lebih terang ketika si nyonya turun semakin jauh, dan kabutnya semakin terlihat lebih mirip asap. Kemudian, si nyonya melihat pintu gerbang besar, dengan huruf-huruf menyala bertuliskan: NERAKA.
"Astaga!" Gumam si nyonya keras-keras. "Jadi di sini toh tempatnya? Di bawah toko peralatan?"
Nyonya Twiller tidak punya banyak waktu untuk terheran-heran, karena dia segera dijemput oleh seorang pria yang nampak seolah dia menderita luka bakar di sekujur tubuhnya.
"Ikuti saya," ujar pria itu tanpa memperkenalkan dirinya, yang menurut Nyonya Twiller sangat tidak sopan. Tapi apa yang bisa diharapkannya dari Neraka? Dia memutuskan sebaiknya mengikuti pria itu saja, daripada mencoba kabur ke area tertutup asap tebal di kanan-kiri gerbang, yang nampak berbahaya.
Pria itu membawanya masuk ke sebuah gedung dengan dinding bekas terbakar, dan tahu-tahu, Nyonya Twiller sudah berada di dalam ruangan yang didekorasi melimpah dan penuh warna cerah -- merah menyala, merah darah, merah kecoklatan. Ada seseorang yang tampak ganas duduk di belakang meja di ruangan itu, yang bagi Nyonya Twiller kelihatannya adalah meja resepsionis.
"Duduk," ujar si pria, sebelum menghilang di balik pintu merah darah. Nyonya Twiller memilih duduk di sebuah sofa berwarna merah ceri, yang ternyata sangat keras sampai-sampai tulang-tulang tuanya serasa berkelotakan. Sofa itu keras seperti batu, dan setelah si nyonya mengamati dari dekat, sofa itu ternyata terbuat dari batu lava. Dia mencoba duduk senyaman mungkin dan mengarahkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Ampun, pikirnya, tempat ini cantik, tapi aku tak mau tinggal di sini. Bukannya ruangan itu jelek, terutama dengan warna-warnanya dan pajangan benda-benda seninya yang menakjubkan. Tetapi, menurut Nyonya Twiller, dekorasi ruangan ini terlalu vulgar, seakan pemiliknya mencoba mengesankan semua tamunya dengan memamerkan barang-barang yang dimilikinya. Ada patung kecil berbentuk setan dari batu mirah di sisi sofa. Ada juga vas kecil bertabur berlian dan patung Gunung Vesuvius dari emas putih, serta patung kambing dari batu zamrud.
"Nyonya Twiller."
Si nyonya berbalik ke pintu dan melihat seorang pria berambut hitam dengan jubah hitam berkilau, plus rompi dan dasi merah tembaga. Dia berjanggut runcing dan nampak elegan sekalipun sekujur tubuhnya berwarna merah menyala.
Nyonya Twiller menelan ludah. "Bagaimana Anda tahu nama saya?"
"Saya harus mengetahui nama-nama orang seperti Anda," ujar pria itu sambil tersenyum.
Nyonya Twiller memeluk tas belanjanya. "Maksud Anda apa?"
Pria itu mengangkat bahu. "Saya tak suka memanggil nyonya yang cantik begini dengan sebutan 'pencuri.' Terlalu kasar. Kita sebut saja Anda 'pengutil.'"
"Saya tak mengerti," Nyonya Twiller berbisik dengan suara yang dibuat bergetar, dan tangan ditaruh di depan dada, gerakan yang biasanya dia lakukan untuk menimbulkan kesan orang tua yang malang.
"Saya mohon, nyonya yang baik. Tidak usah mengobral tipu muslihat seperti itu. Saya tahu semua tentang Anda, termasuk...ehm, 'proyek amal' Anda."
Mendengar hal itu disebut-sebut memberi Nyonya Twiller keberanian. "Siapa yang akan memberi kucing-kucing malang itu makan kalau bukan saya? Saya hanya mencoba melakukan sedikit kebaikan di dunia dengan cara yang saya tahu." Nyonya Twiller mengerjapkan matanya, berusaha keras mengeluarkan satu-dua tetes air mata.
Pria merah itu berjalan ke jendela dan menyibak jendela, memperlihatkan panorama berlapis asap tebal. "Anda rupanya lupa dimana Anda berada. Kami tidak peduli dengan kebaikan yang Anda lakukan. Justru sebaliknya! Saya membawa Anda turun ke sini, nyonya, hanya untuk memberi peringatan. Perbaiki jalan Anda, atau Anda akan berakhir di sini untuk selamanya."
"Kali ini? Maksudnya, saya berada di sini bukan untuk tinggal?"
Pria merah itu tertawa kecil. "Saya berharap bisa cukup menakuti Anda supaya Anda sadar dan tak akan berakhir di sini. Apa yang akan terjadi kalau kami mulai menerima nyonya-nyonya tua kecil seperti Anda di tempat ini? Nanti tahu-tahu tempat ini akan penuh dengan gorden lipit-lipit, renda-renda, rumbai-rumbai, bunga-bunga di pot. Yang benar saja!" Dia berbalik. "Ini peringatan terakhir. Tidak ada lagi pengutilan di toserba atau Anda akan berakhir di sini."
Keberanian si nyonya tumbuh kembali. "Oh, saya tidak tahu. Kelihatannya di bawah sini tak begitu buruk."
"Anda sudah melihat koleksi saya," ujar si pria merah dengan nada penuh kebanggaan. Saya bisa sungguh-sungguh berkata bahwa saya memiliki koleksi benda seni terindah yang pernah ada. Tak ada tantangan untuk mendapatkannya. Saya hanya menghendakinya dan barang-barang menjadi milik saya."
"Oh, sayang sekali," ujar Nyonya Twiller dengan nada simpatik. "Tak ada asyiknya kalau tidak mengakali orang lain."
Pria itu nampak jengkel, dan Nyonya Twiller menepuk-nepuk lengannya penuh simpati, membuat pria merah mengibaskan tangannya.
"Jangan berbuat begitu!" Serunya. "Anda paham maksud saya? Bawa nyonya tua kecil yang manis ke sini, dan dalam waktu sepuluh menit, membuat saya lemas. Saya tak suka itu, tahu?"
"Oh, ya ampun, ya," Nyonya Twiller mundur tergopoh.
Pria itu mendadak nampak menyala-nyala. "Bersumpahlah Anda tak akan mengutil lagi di atas sana."
"Saya bersumpah, oh ya."
"Kalau begitu, pergilah!" Pria merah itu mendadak bersuara menggelegar. "Dan usahakan Anda tak punya alasan untuk kembali ke sini!"
Nyonya Twiller berbalik dan berjalan ke luar secepat-cepatnya sambil memeluk tas belanjanya. Sejenak dia panik, waktu menyadari eskalator di depannya hanya mengarah ke bawah. Akan tetapi, dia menemukan tangga kecil yang tak digunakan, yang dengan cepat dia panjat, sampai akhirnya dia tahu-tahu sudah tiba di toserba itu, tepat di lantai sebelum dia turun lewat eskalator. Nyonya Twiller terengah-engah; dia lupa membeli mangkok makanan kucing, tapi dia tak mau turun lagi. Dia bisa membelinya di tempat lain.
Sementara Nyonya Twiller bergegas ke pintu keluar, dia melihat pajangan kecil-kecil dari perak murni di atas meja pajang toko yang terbuka. Sesaat, dia tergoda menyelipkan beberapa ke kantong belanjanya, tapi setelah ragu sesaat, si nyonya berjalan melewatinya. Bagaimanapun, janji adalah janji, walau dia akan merindukan perjalanan "belanja" ini. Ada sesuatu yang memabukkan bila melihat apa yang bisa dia curi tanpa ditangkap.
Tepat setelah keluar dari pintu putar, Nyonya Twiller berhenti untuk mengintip ke dalam kantong belanjanya. Di dalamnya, ada patung kecil berbentuk setan dari batu mirah. Ada juga vas kecil bertabur berlian dan patung Gunung Vesuvius dari emas putih, serta patung berbentuk kambing dari batu zamrud. Seandainya nilainya ditaksir, semua kucingnya akan hidup dengan baik, sekalipun mereka punya sembilan nyawa.
Tamat
nenek greget. Setan aja dirampok
ReplyDelete