Floors

Aku terbangun, sejenak aku tetap berbaring dikeempukan kasur. Kulirik malas bilangan diponselku, ah--kemarin malam aku terlalu banyak minum Guiness, aku kehilangan kesadaran terlampau cepat. 05:42? Apa?

Refleks aku terlonjak dari kasur. Semua beban kantukku menguap. Aku terlambat! Bos tua itu akan memarahiku "Slow Stupid Stanley", lagi. Segera kusambar handukku, berbusana cleanning service, ya, itu karirku yang 'menakjubkan.' Aku segera menuju dapur, meraih roti tawar dan melaju ke bus coklat palem yang menghantarku ke rumah sakit.

"Ah! Sial sekali!" Dengusku, tak menggubriskan apa apa lagi, aku segera berlari marathon ke dalam lorong rumah sakit bercat putih biru mint itu. Rumah sakit tempat aku mengais uang adalah tempat kumuh, langit langit retak dan markas sarang laba laba. Beberapa lampu di koridor bahkan sangat gelap laksana film horror.

Baru saja aku melewati pintu depannya, aku menyadari tak ada seorang pun manusia. Ku urungkan niatku berlari. Diaula tempat bangku pembayaran, tak ada tanda kehidupan. Bukannya aku terlambat? Seharusnya ada si Nico, Harley si satpam, atau Sir Davy. Tapi tidak--satu satunya kehadiran disini hanyalah aku. Namun kalau tak ada orang, mengapa pintu rumah sakit terbuka lebar? Apa mereka tak takut pencurian yang sedang tren belakangan ini?

Kipas angin yang bergoyang sendiri, tv tua yang berpasang tetapi mati, lampu yang temaram namun tidak terlalu gelap juga. Tiada suara kebisingan. Aku semakin tergenjot. Kulangkahkan kakiku kian jauh kedalam, didepan sebuah tangga kusam dan lift menungguku, seolah menyuruhku naik. Bagai tersihir, atau memang tak punya pilihan, aku memilih lift. Kutekan tombol tombol itu secara keras--lembut takkan bereaksi. Suara retakan atau gesekan besi diatas lift mulai berseliweran.

Lantai 18. Lantai teratas, disitu markas para petinggi rumah sakit atau pengurusnya berkumpul. Serta karyawan seperti aku. Ya, aku akan mengeceknya, sekedar memastikan.

Tring. Lantai 18. Pintu baja itu terbuka, membuka pemandangan lorong lain yang lebih luas, dengan pigura pigura kuno tokoh besar dunia. Vasco Da Gama, Alfa Edison, Margaret Thatcher, Marco Polo--aku takkan menjadi salah satunya. Aroma dingin AC itu sudah menyeruak ketika aku keluar.

Aku melangkah kelorong bercat putih itu, dengan kebingungan. Namun nihil, tak ada satu manusiapun yang kutemui. Aku berhenti menatap kiri, sebuah pintu berbahan rosewood eksotis. Kugulung knop pintu itu keatas perlahan.

Pintu itu terbuka.

Dan bingo, tebak. Tidak ada orang.

Tidak ada orang di ruangan meeting! Kemana si Hanna, si Gerard. Ah, sial saja. Aku mengingat ngingat ulang tahunku, sekadar mengantisipasi rencana jahat dihari ini. Namun tidak, hari ini bukan ulang tahun. Mereka tidak akan bersembunyi untuk memberiku ' kejutan ulang tahun'. Tapi mereka seharusnya takkan menghilang begitu saja bukan?

Entah ada apa, sesuatu membuat seluruh penghuni rumah sakit ini raib, entah aksiden atau apalah itu. Bahkan pasien atau penjenguk juga tak ada.

Aku menepuk dahiku, lalu menutup pintu dengan pelan. Tapi kemudian sesuatu kemudian mengagetkanku.

Drap.

Ah! Aku mematung, lampu diruangan itu mati mendadak. Apakah pemadaman listrik? Tetapi lampu lorong tidak ma--ahh! Lampunya mati juga. Aku mulai bergetar dalam keanehan.

Lorong itu panjang, sekitar 2 - 3 lampu. Lampu paling dekat dengan ruangan meeting telah padam. Aku terdiam, keheningan yang mencekam. Baru kusadari betapa ganjilnya atmosfer rumah sakit hari ini. Aku perlahan mundur ke area yang terang.

Tiba tiba ketiga tiganya berkedip kedip tak berhenti. Tetapi ketiganya adalah lampu baru, tak akan rusak atau habis secepat itu. Seolah sengaja dinyala-matikan dengan cepat. Tapi itu mustahil. Karena aku menatap saklar itu di kegelapan dengan mata kepalaku sendiri! Tak ada yang menekannya!

Aku mulai merasa hawa AC memuakkan dan membuatku merinding dengan perasaan paranoid yang kuat.

Diluar logikaku, aku semakin mundur dan melangkah tak karuan. Kedipan kedipan lampu itu semakin cepat. Kemudian BLAMM! Lampu itu mati. Kegelapan total. Kesenyapan total. Aku tak bernyali bergerak seinchi pun. 

Yaampun, demi namaku sendiri, aku melihatnya! Aku melihat sesuatu itu! Ya, aku benar benar serius. Sebuah bayangan hitam yang tak jelas, aku tadi tidak terlalu memperhatikan saklarnya, terlalu fokus pada permainan lampu itu. Bayangan hitam pekat yang berbentuk seperti pria, dari kegelapan ia tampak menyeringai lebar. A-aku merasakan sekujur tubuhku bergetar dengan hebat. Darahku membeku tiba tiba. Ia sedari tadi menekan saklar, tapi aku tak sadar akan hal itu.

Ia mematung. Jantungku naik turun serasa ingin kabur dari tempatnya, ketakutanku tak bisa kukiaskan dengan kata kata--tak ada yang sebanding dengan perasaanku saat ini. Aku berlari dengan rasa ngeri teramat sangat kedalam lift. Kutekan angka angka itu dengan tangan pucat pasi--yaampun, apa yang baru saja kulihat tadi Tuhan?

Aah, sial pintu lift ini tak mau menutup! 

Shit shit shit! Umpatku. Aku menarik lembaran baja itu sekuatnya. Kumohon, tutuplah, ujarku melawan ketakutanku. Makhluk tak jelas itu memandangku. Ia mendekat dan mendekat. Kearah lift. Langkahnya pelan dan lamban, justru membuatku semakin tegang.

Aku semakin panik, aku tak tahu dalam menit ini, sudah berapa ratus kali aku menekan tombol lift itu. Tapi makhluk itu... ia berbelok... kearah tangga sebelah kanan lift. Tanpa mempedulikanku yang sedang berjuang menutup pintu bodoh sialan ini.

Takut, ngeri, lemas, bingung, horror, paranoid dan entah perasaan bodoh lainnya bercampur padu dalam otakku. 

Kemudian pintu lift itu kembali menutup. Aku terduduk lemas dalam lift. Aku akan segera berlari keluar, aku tak ingin tahu ada apa dengan kolegaku, masa bodoh. Aku harus cepat cepat lari dari sesuatu itu dan melupakan semua mimpi buruk ini.

Lantai 1.

Tring. Aku sudah tiba. Aku berdiri dengan masih gemetar. Tapi pintu sialan yang membuatkanku masalah ini sekarang tak mau membuka.

Sayup sayup ada suara langkah kaki yang semakin mendekat. Langkah yang pelan, tetapi terdengar seperti gemaan kematian. Ia pasti turun dari tangga untuk mendapatkanku. Aku tahu, itu pasti dia! Aku kembali menekan angka lantai 2. Tapi tonbol tombol tak merespon.

Lift tua itu tak juga bergerak, namun tak juga membuka. Sedangkan langkah kaki itu tak terhindarkan, semakin mempersempit jaraknya. Dari suaranya, kurasa hanya sekitar 9 - 11 meter sebelum ia sampai kedepan liftku.

Sadar liftnya takkan menuju lantai 2, aku meringkuk putus asa. Setiap tapakannya, setiap bunyi tap itu terdengar, jantungku melompat dengan tak terkendali.

Ia mendekat, dan memelan ketika gemaan langkah kaki itu sampai tepat didepan lift. Sontak hawa dingin yang mencekam memenuhi kotak baja ini. Tak ada pergerakan lagi. Aku tak berani bersuara. Tak berani bergerak.

Tak berani bernafas cepat.

2 menit, 3 menit, 4 menit.

Detik detik itu bagaikan berabad abad didalam neraka. Aku membekap mulutku sendiri dengan air mata dipelipisku, takut kalau aku tak melakukannya--aku pasti akan menjerit. Kemudian aku menangkap suara itu, langkah yang lagi lagi menjauh, sepertinya sesuatu itu malas menungguku keluar. Sayup sayup tapakan kaki itu terdengar semakin atas dan atas. Sampai akhirnya tertelan oleh kesunyian.

Aku berhenti membekap mulutku, ini kesempatanku! Makhluk itu sedang keatas. Aku berdiri dengan timpang--masih bergetar liar. Kuharap lift ini bisa membuka sekarang. Kutekan lagi. Aku mengembangkan senyum. Berhasil.

Tring.

Baja itu membuka.

Tapi aku menahan nafas.

Ia telah menemukanku.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top