Lift

Aku baru saja pulang dari kantor ku. Aku adalah seorang manager di salah satu perusahaan telekomunikasi paling tergengsi di kota ini. Namaku Audrey, dan aku biasa disapa 'si ratu pirang'.

Hari ini sangat melelahkan. Aku keluar dari mobilku, aku memarkirkan nya di tempat parkir apartement tempat ku tinggal. Yup, aku tinggal di apartement 502, lantai 12.

Perlu lift untuk mencapai itu. Dan hari ini sudah jam 12 malam kurang. Dengan fisik dan psikis yg sangat lelah, aku buru-buru naik lift. Menekan angka 12 pada tombol disamping pintu lift nya.

Lift mulai berjalan. Dan hanya aku yg ada di lift. Memang keadaan nya sudah sangat sepi. Di lantai dasar saja, hanya ada satpam, resepsionis, dan beberapa orang.

Aku menguap kecil. Angka-angka merah yg tertampil di atas pintu lift menunjukan perubahannya. 5, 7, 9...

Entah kenapa aku teringat akan cerita teman sepekerjaan ku, Mitha, tentang kisah yg sudah tersebar dari mulut ke mulut.

Menurut ceritanya,gedung apartement tempatku tinggal dulunya tempat bekas pembantaian berpuluh-puluh orang. Dan 'katanya', roh-roh korban pembantaian itu bersemayam di lantai 14, satu lantai dibawah lantai apartement ku.

Aku baru mendengar cerita ini saat makan siang di kantor. Mitha dengan penuh semangat menceritakan ini. Dan dia memperingatkan ku.

"Ingat, Drey" dia memulai pembicaraan. Tak menghiraukan spaghetti yg masih dikunyahnya.

"Apapun yg terjadi, saat kau naik lift dijam 10 lebih dan sendirian, seusaha mungkin jangan membiarkan pintu lift terbuka di lantai 14 dan kau sendirian!."

"Memangnya kenapa?" Aku bertanya dengan sedikit penasaran.

"Ceritaku, yg tadi" dia melahap spaghetti nya. "Pokoknya, jangan! Ingat ya, pirang".

Aku sedikit melamun untuk memutar memori tentang itu. Sialan, kalau tahu begitu, seharusnya aku tidak lembur. 

Tapi. Ah sudahlah, untuk apa percaya? Kuyakin itu hanya mitos.

Lantai 12. Seseorang naik, lelaki dewasa yg tak kukenal. Pintu tertutup, lift kembali jalan. Lantai 13, dia menekan tombol 'buka'. Dia keluar, tanpa ada interaksi untuk membuktikan pikiran gilaku. Dia manusia atau bukan.

Ah Audrey. Lagi-lagi kau ikut-ikutan mempercayai hal konyol macam itu.

Pintu lift tertutup. Entah kenapa jantung ku berdegup kencang. Aku tak mengerti, ada apa ini?.

Lantai 14.

Mataku melotot. Pintu lift itu terbuka. Padahal, tak ada siapapun di lantai ini. Gelap dan sepi, aku mengakui itu.

Aku berusaha sewajar mungkin. Dengan sedikit tenang aku berusaha menekan tombol 'tutup'.

Syukurlah, pintu sedikit-sedikit tertutup.

Aku hendak bernafas lega.

Tapi aku tercekat.

Alarm pertanda lift penuh berbunyi.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top