Bugaloo


Untuk kesekian kalinya, aku masih mendengar tangisan yang terus menerus menyayat hatiku, namun aku tidak ingin melirik atau melihat apa yang terjadi, suara berdebam serta pukulan tipis terdengar berulang-ulang. Aku masih berusaha untuk focus melihat chanel statis dari tv kabelku. Berusaha untuk tetap mengabaikanya.

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, aku sudah menonton Tv lebih dari 6 jam untuk malam ini. Tau-tau aku melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 12 malam. “sangat cepat” batinku, aku beranjak dari kursiku dan berjalan menuju kamarku, lalu aku berhenti sejenak tepat di pintu gudangku yang langsung menuju ke basement.

Aku tahu ini ide buruk namun akhirnya aku mencoba untuk melihatnya, hanya sekedar untuk memastikan saja. Aku menuruni anak tangga dengan pelan, berbekal senter yang ku bawa aku mulai melihat ke sekeliling, pandanganku berhenti pada sebentuk kain putih berlumuran darah yang terbentuk menonjol dengan gerakan gemetar. Aku mulai mendekatinya, ku tarik kain itu dan melihat gadis kecil menangis dengan luka—di sekujur tubuhnya yang terbungkus baju usang dan kotor, gadis itu menatapku dengan tatapan ketakutan. Tangan dan tubuhnya gemetar, bibirnya yang merah muda di hiasi luka biru di pipinya membuatku iba, aku menatapnya untuk jeda yang lama, sebelum aku mengulurkan tanganku, mengusap lembut pipinya dia gemetar semakin hebat. “sst!!” desisku, “kau aman sekarang. Aku akan membawamu pergi dari sini. “ kataku dengan nada lembut.

Aku mulai melepas ikatan di tubuh dan kakinya, tanganya kecil dan rapuh namun harus menerima pukulan keras karena ini. Sebenarnya aku adalah salah satu dari mereka namun untuk gadis ini, aku tidak bisa melakukanya seperti biasa, aku tahu pekerjaan ini beresiko dan mengerikan, menculik dan menghajar gadis ini hanya untuk beberapa juta dollar sepertinya tidak sebanding dengan ingatan yang akan selalu membusuk dalam otakku.
Ketika si gadis kecil sudah terlepas, aku bergegas menggendongnya. Sebuah teriakan tiba-tiba mengejutkanku. “Drey. Kau kah itu?” sontak aku berbalik dan langsung mengangkat tubuh kecil itu, berlari sekuat yang aku bisa.

Aku berlari menyusuri hutan yang gelap, hitam dan pekat. Aroma lumpur tercium disana-sini, rimbunan pepohonan yang basah, kegelapan di sepanjang jalan membuatku harus terus berlari, mungkin aku terlambat atau sudah kelewat jauh, namun setidaknya gadis ini , aku akan menolongnya. Aku adalah seorang pria dan aku tidak bisa memikirkan pria malang yang mungkin cemas atau sudah menangis karena kehilangan putrinya. 

Aku terus berlari—seolah-olah ada yang mengejarku tepat di belakangku, aku tidak mau menoleh tidak untuk melihat wajah komplotanku yang akan menatapku kecewa. Ku sadari, aku hanya berlari dan terus berlari, sementara gadis itu gemetar dengan isak tangis yang lembut namun cukup memberiku sentakan semangat untuk menolongnya.

Ku rasakan dadaku mulai sesak saat aku masih terus berlari, hingga aku mulai sadar, aku sudah tidak tahu kemana aku pergi. Sampai aku merasakan sesuatu yang dingin, menyentak namun tidak pernah ku rasakan sebelumnya. Sesuatu yang dingin mengawasi, namun tidak terlihat di depanku.

“ Öh tuhan!! “ kata gadis itu tiba-tiba. Membuatku menghentikan langkah sejenak melihat dan merasakan apa yang terjadi disini.

“ada apa??” kataku “kau melihat sesuatu nak??” 

“Buggaloba!!” katanya. 
“Bugga apa ?” aku bingung ketika mendengarnya.

“Dia di pohon?? Bersembunyi.. menunggumu lengah?? Dia akan menangkapku” kata gadis itu yang kemudian menangis sangat keras di atas punggungku. “siapa? Apa komplotanku..”

“Lari…. Lari….”gadis itu berteriak ke wajahku, aku bisa melihat mata penuh ngeri. Mata itu lebih menggambarkan seperti terror bukan lagi ketakutan. Aku mulai berlari dan sesekali melihat sekeliling, aku tidak tau apa yang terjadi namun saat gadis itu mengatakan sesuatu di pohon aku yakin aku juga melihatnya, sesuatu mengintip namun sangat cepat dalam bergerak.

Aku berlari semakin cepat. Lebih cepat dari yang tak pernah ku kira, namun pohon-pohon ini, pohon di sepanjang perjalanan seperti sebuah mata yang mengawasi, sebuah ancaman tak bernama. “dia masih disini!!” kata gadis itu.

“Siapa!!” nadaku terdengar gemetar.

“Bagalooo”

Gadis itu terus mengatakan Babaloo dan aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia bicarakan, sampai langkahku tiba-tiba berhenti saat menatapnya muncul dari balik pohon di hapanku, dia berjalan mendekat, sangat lembut dengan langkah kaki yang anggun. Sesuatu hitam di belakangnya mengelepar kesana kemari layaknya tangan yang mengayun—ayun. Kakinya panjang membuatnya terlihat sangat tinggi, mungkin sekitar 2 meter, aku terjatuh saat dia menyentuh wajahku—aku seperti manekin tak bernyawa saat makhluk itu mengambil gadis itu, mengangkatnya lalu membawanya pergi.

“Jangan ambil dia—“kataku dengan nada ketus. 

Makhluk itu berhenti untuk sejenak, berbalik menatapku dengan wajah polosnya, untuk pertama kalinya dia berbicara suaranya feminism namun terdengar statis, “dia aman denganku”

Setelah dia mengatakan itu aku seperti tidak bisa mengatakan apa pun lagi, dan yang membuatku lebih tidak mengerti adalah wajah gadis itu terlihat ceria, dia memandangku dan berucap dengan nada manis. “Terima kasih”

Lalu aku tidak pernah melihatnya lagi. Bugalooo adalah Slanderman. Ku kira itu hanya cerita rakyat.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top