Man On Door

Aku tengah melototi layar kotak besi yang berbicara tentang berita. Kuhirup milkshake latteku, dan melanjutkan dudukku dimarkasku dikasur. Aku baru saja memesan pizza medium size, ah, mungkin 10 menit atau lebih petugasnya sudah sampai. Presenter berita bertampang intelijen itu menyusun kertas kertasnya.

"Kepolisian bagian Winsland melaporkan kepada para warga di bagian utara Winsland. Seorang pembunuh berantai dikabarkan kabur dari pengamanan polisi malam jam 21:43, dan diperkirakan bersembunyi di daerah utara Winsland. Diharap untuk para warga menutup semua pintu agar buron tidak bisa masuk. Pembunuh berantai ini sering berpura pura sebagai orang yang menawarkan makanan. Lalu ia akan menggorok orang yang membuka--"

Kuistirahatkan televisi tuaku. Aku menghirup latte ku lagi.

"Sekarang polisi memang tidak becus ya, menangkap penjahat saja tidak bisa." Cibirku asal seraya mengelus jam tanganku yang menunjukkan angka 23:54.

Apa aku memang harus mengunci pintuku demi keselamatan? Lokasi rumahku tak jauh dari tempat yang disebutkan presenter itu. Terlena menatap kolong langit rumahku yang setinggi 2,5 meter, rendah dan... eksotis--begitu banyak laba laba dan rumahnya.

Kriett... krieett....

Lamunanku pecah seketika. Aku menoleh dan segera membuka pintu kamarku, was was. Dari tadi suara itu mengusikku. Suara decitan kayu lantai. Aku mengernyit, aku sudah hidup sendiri--selama 2 tahun. Apa mungkin hanya kucing gemuk Mr. Lardo yang membuat bunyi itu?

Kemudian tak lama berselang seseorang mengetuk pintu depan. Ia mengentak pintu dan hanya memanggil, "pak, buka pintunya.
Makanan tiba."

Tahu tahu, otakku dengan spontan mengulang isi berita tadi. Aku membeku di ruang tamu, tidak tahu harus berbuat apa. Kunyalakan lampu dapur yang cukup silau, tidak ada si kucing gemuk. Mungkin angin yang membuat decitan halus tadi. Kuambil sebilah besi pipih. Kupandang pisau tajam itu, pantulan cahayanya terbias sempurna. Berjaga jaga.

Aku melangkah, ralat--mengendap ke depan pintu. Kuintip sedikit lewat gorden jendela. Seorang pria bertopi, jam 12 malam? Ia memakai topi itu terlalu kebawah, aku tak bisa melirik raut wajahnya. Kemudian, entah karena kesal aku tak membuka pintu atau apa, ia mulai menghantam pintu lebih keras.

Blam... blamm...

Aku mulai panik. Tanganku yang menggenggam pisau kian bergetar tak terhenti, akhirnya aku menjatuhkannya. Aku berjongkok ketakutan, kulihat ponselku itu, aku tidak bisa menelpon siapapun. Wilayah ini masih terbilang teritori hutan, tentu tidak ada jaringan. Buronan itu berusaha masuk.

"Pak! Tolong buka pintunya! Makanan anda sudah sampai!"

Pembunuh itu benar benar menggunakan modus yang dibilang berita tadi. Sadar aku hanya punya dua pilihan. Melawan atau kabur. Aku memutuskan untuk mendorong meja dan kursi kearah pintu itu. Piano, lemari, apapun. Aku menutup semua jendela dan pintu dengan barang berat. Kalaupun ia bisa menghancurkan kunci pintu, ia akan terhalang dengan ini. 

Aku menunggu dengan ketakutan. Detik detik itu terasa bagaikan neraka yang berjalan sangat lambat. Aku menahan barang barang di depan pintu sekuatnya bersamaan dengan permohonannya untuk membukakan pintu.

Tapi kemudian, sekelebat bayangan melewati ujung pelipis mataku. Aku terpaku dalam ketakutan, jantungku melompat naik turun dengan liar, sembari bulu romaku menegang. Otakku terasa lumpah seketika. Tak kusadari, ia berbisik ditelingaku. Aura dingin seketika merasuk sampai ketulangku.

"Ah, kasihan sekali. Bukankah kau sebaiknya membukakan pintu untuk si pengantar pizza?"

Ia menempelkan pisau dimataku.

"Sekarang polisi memang tidak becus ya, menangkap penjahat saja tidak bisa."


Tamat

2 comments:

 
Top