The Cage

“Jangan khawatir,” katanya sambil menyunggingkan senyum yang membuatku tak nyaman. “Ini takkan lama.”

Dentuman pintu dari tempat yang kuanggap penjara semakin meningkatkan rasa takut. Sendirian, terikat pada kursi: aku benar-benar tak berdaya. Merasa panik, aku mulai berteriak.

Air mata membanjiri wajahku, dan bercampur keringat tak lama kemudian. 

Kandang sekaligus kerangkeng mungil ini sudah begitu tua, aus, dan diletakkan di bawah terik matahari. Logam-logamnya memanas demikian cepat. Tak berapa lama kemudian, aku terengah, tenggelam dalam ketakutan.

“Kembali!” jeritku. “Tolong!”

Aku meronta, menggeliat, namun ikatan itu mengekangku. Aku menggapai-gapai, menyakar, memukul-mukul. Namun tak ada hasil apa pun.

Air mata, keringat, air liur, terus saja membanjiri wajahku. Darah ikut bercampur dengan semua cairan begitu hasil rontaanku hanya menghasilkan luka di sekujur tubuh. Aku terus menjerit sampai tenggorokanku kering dan pedih. Aku mengompol karena merasakan teror yang begitu hebat, dan air seni di pahaku itu, semakin menambah rasa panas dan gerah di dalam kerangkeng ini.

Berapa lama waktu berlalu, aku sudah tak tahu lagi, namun akhirnya, keringat berhenti mengalir, dan aku mulai mengalami dehidrasi. Kemudian rasa sakit pada kepala. Sengatan matahari sungguhlah ganas. 

Perlahan tapi pasti, usaha sia-siaku untuk membebaskan diri berubah menjadi semakin lemah. Lender menetes dari lubang hidung, dan lenganku terkulai, segenggam penuh rambut tergenggam di tangan sebagai hasil usahaku untuk mengenyahkan rasa sakit di kepala yang begitu menyiksa.

Kepalaku terkulai ke depan, dan aku muntah. Satu usaha terakhir dari tubuhku untuk terus bertahan.

Mataku terasa berat … warna-warna memudar … dan kemudian segalanya menjadi gelap yang hitam ….

**
Linda tersenyum puas saat berjalan keluar dari pusat perbelanjaan dengan tangan menenteng belanjaan. Dia benar-benar betah di dalam sana.

Dia melirik arloji dan matanya melebar. Waktu terasa jauh lebih singkat saat seseorang melakukan hal yang disukainya.

Dengan berlari tergopoh, dia menuju mobil Toyota tuanya. Kemudian, dia membuka pintu belakang.

“Oh, Danny! Maaf sekali, Ibu lupa waktu. Danny?!”

Linda menjatuhkan belanjaannya dan menjerit.


Tamat

1 comments:

 
Top