I Fall For Darkness


Kabut hitam itu menggelayar diatas kepala. Aku memejam sekian detik--merasakan aura embun yang dingin. Setitik demi titik tiara dari langit kian menggerus tubuhku. Kutaruh tongkat yang kini membantuku bangkit melangkah. Aku tertatih antara ilalang yang tinggi dan rasa sedih.

Aku melangkah kedalam rimba yang sangat--sangat lebat itu. Gelap. Tapakan yang terasa lembek dan sejuk akibat hujan. Mencari sesuatu yang lama kutinggalkan. 

Ingatanku masih terlukis mantap, walau itu, 24 tahun yang lalu. Sungguh waktu yang tak bisa dibilang singkat, ditempat ini. Aku masih ingat segala detail dimalam itu walau tak pernah terbersit untuk mengingat hari itu.

Lantunan pelan piano, dengung dengung aneh dari hutan. Terpaan angin yang membuat daun menari malas. 24 tahun lalu.

Kupandang kedua telapakku. Garis garis nonsimetris mengukirnya. Dan kualihkan penglihatanku, aku tersedu tanpa suara ketika ingatan itu kembali merajam diriku, menelanjangiku atas kesalahan terbesarku.

Masalalu memang kadang sangat disesali. Kadang kita menyesal dan berucap,"Oh, kalau tau seperti ini, aku tak akan melakukannya.","Seandainya aku tidak begitu...". Sebagian mungkin berakhir di tali gantung atau obat tidur saking besar rasa bersalah itu.

Aku semakin liar mengobrak abrik dedaunan, akar akaran atau ranting yang menghalangi jalanku. Tanganku bergetar entah rasa salah atau takut yang menggerakkannya. Aku berlari ke suatu aliran sungai jernih dihutan. Melompati batu dengan lamban. Aku sudah tua, tapi belum terlambat. Untuk semua ini.

Ya, daerah ini semakin familiar. Aku akan menebus semuanya--setelah tempo yang sempat membuatku terpisah darinya. Aku tersengal diantara usahaku menemukan tempat itu. Satu satunya yang ku ingat adalah piano besar hitam itu. Akankah masih sama dengan dulu?

"Haah... haah..." Engahku. Memutar mata kesekeliling. Aku semakin tak berpetunjuk. Semua tumbuhan dan pohon tampak sama, seolah difotocopy lalu ditaruh secara acak. Apa aku tersesat?

Tring... tring tring.... tring....

Aku membisu tapi jantungku melompat sangat keras. Senandung piano yang sedih. Berpadu dengan suara hujan yang ritmis. Aku berlari menuju arah sumber lagu itu bagai sebuah pelita dalam hutan. Nada nada itu semakin dekat dan dekat.

Apa aku menemukannya? Kumalingkan mukaku, dan, tidak mungkin! Aku melihatnya. Perasaan dalam relungku bergetar. Seorang anak laki laki berambut merah tengah duduk disitu, didepan alat musik itu yang kakinya sudah dililit tumbuhan aneh. Jari lentiknya berhenti ketika menatapku bingung. Sesuatu yang kusadari, matanya hitam pekat. Tetapi ia punya sepasang sayap putih yang terlipat tak terawat.

Aku membatu, tapi bukan takut.

"Apakah kau ..." Aku tercekat.

Ia menghela nafas, menggeleng dengan ekapresi 'lama sekali kau?'. Untuk sejenak, hanya suara burung gagak yang menghiasi jeda keheningan panjang. Ia berdiri dengan tegak, menuju kearahku.

"Kenapa baru sekarang?" Ujarnya dengan raut yang tak bisa ditebak. Senang atau marah. Tapi sorot matanya mengandung kesedihan yang tak bisa dijelajahi. "Ia sudah menunggumu, disitu. Selama ini." Anak kisaran 14 tahun itu menunjuk sebuah pohon besar--benar benar besar yang didepan piano.

Aku melangkah gontai kearah pohon yang lebat dan rimbun itu. Nafasku berhenti dengan spontan. Benar saja. Disitu ada seorang wanita berbalut pakaian serba hitam. Sepasang tanduk putih mencuat dari kepalanya itu. Sayap hitamnya tersembunyi dengan rapi. Rambut menjuntai dan paras eloknya itu masih sama, paras yang mengalahkan logikaku. Ia mengelus ngelus kerak kayu itu dengan pelan, tak menyadari keadaanku.

"Eldriea?" Sahutku parau. Aku harap ia tidak marah setelah semua ini.

Eldriea berbalik dan menatapku. Tatapan matanya yang lentik dan bibirnya yang sempurna... oh Eros... setelah berpuluh tahun ia masih sama. Ia terkejut melihatku, tetapi tidak lama.

"Kemana saja kau selama ini?" Itu adalah kalimat pertamanya setelah sekian 24 tahun ini. Aku yakin ia sangat kecewa--wanita manapun pasti iya.

"M-maaf. Aku terlalu pengecut. Tapi lupakan semua itu, El. Aku bersedia hidup denganmu sampai akhir hidupku. Sampai salah satu dari kaummu menjemput jiwaku."

Ia lanjut mengelus permukaan pohon raksasa itu. "Jadi? Bagaimana setelah kau mati? Kau meninggalkanku begitu saja? Kenapa kau tidak bergabung saja... ke sisi gelap. Mereka prajurit cahaya itu bahkan sudah membuangmu ke bumi, akibatnya kau kehilangan keabadianmu, ketika malam itu terjadi."

Ia melangkah kedepanku. "Dan, inilah Hazellio yang sekarang. Menua." Ia menyentuh pipiku yang melorot. "Anak itu, kau bertemu dengannya kan?" Ia tersenyum tipis.

Aku berkeringat dingin. Wanita langsing bersayap itu masih tersenyum. "I-iya. Bocah yang aneh." Ceplosku.

"Sebenarnya, dia adalah anakmu. Setelah kejadian malam itu. Itu sebabnya ia punya sayap putih, peninggalan ayahnya yang bekas malaikat. Aku mencoba memotongnya, tapi selalu tumbuh dengan warna putih."

Darahku berdesir. Aku tidak tahu pasti, saat terjadi peperangan dengan Lucifer dan anteknya, para tentara Tuhan turun tangan. Aku hendak membasmi seorang 'fallen angel' yang masuk kehutan. Alunan piano menuntunku pada perempuan ini. Tapi klise, malah berakhir dengan fantasi fantasi indah dengannya pada malam itu. Lalu aku dibuang, dicopot statusnya dan dicampakkan--kebumi. Aku mulai berkeriput, seperti manusia biasa. Kehilangan semua kemampuan itu.

"Jadi? Kau akan ikut kegelapan... atau tetap menua sampai kau menjadi bangkai tak berguna. Seperti para manusia idiot yang selalu berbuat dosa. Keputusan ditanganmu, dear." 

Aku menggenggam tanganku erat erat. Dadaku terasa panas. Lelehan airmataku mulai berjatuhan. Seharusnya aku tahu dari awal dan sadar konsekuensinya. Tapi aku sudah bermain terlalu jauh--sudah terlambat untuk me-restart. Aku akhirnya membulatkan tekadku.

"Ya, aku ikut dengan dengan Fallen Angels." Tegasku.

Maafkan aku, Tuhan, meninggalkanMu.

Eldriea menjentikkan tangannya.

Seketika sayap hitam keperakan membentang gagah dari punggungku.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top