Unlucky Robot

Saat masih kanak-kanak, aku sangat sial dalam urusan pertemanan. Bukan karena alasan pada umumnya – aku tak terlalu berbeda dengan anak-anak lain di lingkunganku, aku juga tak terlalu aneh, setidaknya pada saat itu. Bukan karena hal semacam itu, bukan. Sebenarnya aku cukup normal, hingga saat malam Halloween itu yang benar-benar mengubah peruntunganku.

Aku membuat kostum berupa kotak yang dilapisi kertas timah untuk perayaan malam itu. pada bagian depan, kutempel lampu yang berkedip-kedip dan beberapa kancing sebagai hiasan, pada bagian samping aku membuat dua lubang -untuk tangan- yang kupasangi pipa karet besar dan elastis. Dengan saringan dari logam yang menutupi bagian wajah dan pistol laser mainan, aku benar-benar nampak seperti robot gagah nan garang. 

Ibu memotretku beberapa kali, dan kemudian mengikuti aku yang menyusuri jalan-jalan untuk menjalankan tradisi Haloween pada umumnya. Segalanya berjalan lancar sampai kemudian, saat kami sampai di rumah Tuan Connell.

Seperti kami, Tuan Connell juga pendatang baru di kota. Sosoknya hingga kini masih kuingat sebagai orang yang terlalu tua untuk umurnya -- mengingat dia baru memasuki awal paruh baya. Dia pastilah orang yang kaya, sebab dia menyediakan begitu banyak permen batangan berukuran besar. Kabar segera tersiar: rumahnya menjadi tujuan utama bagi semua anak.

Saat aku sampai dan mengucapkan mantra Halloween, dia mengulurkan permen itu. namun dia nampak tak terlalu gembira akan hal itu. Untuk ukuran orang yang memberikan permen begitu besar, dia terlihat terlalu muram, seolah Halloween hanyalah sumber masalah baginya. Namun, saat aku melepas saringan untuk mengucapkan terima kasih, dia nyaris membelalak padaku. Aku masih ingat saat itu dia terlihat menganga untuk beberapa saat, namun kemudian, wajahnya kembali normal dan bibirnya melengkungkan senyuman lebar.

“Sama-sama,” katanya.

Dia pastilah mematikan lampu teras begitu kami pergi, sebab ibu menyadari bahwa pria itu membuntuti kami. Dia memang menjaga jarak, namun jelas sekali terlihat dia bersembunyi di balik pepohonan, semak, maupun pagar.

Kesabaran ibu akhirnya habis juga. Ibu menyuruhku untuk diam di tempat sementara dia mendatangi Tuan Conell. Aku tak mengerti apa yang ibu katakana, tapi suaranya yang pelan dan marah cukup membuat nyali Tuan Connell ciut. Tuan Connell terus menggelengkan kepala dan memohon maaf, hingga kemudian, kulihat pria itu meraih dompet, membukanya dan menunjukan selembar foto.

Kulihat ibu begitu terkejut dan menutup mulut dengan tangannya. Kemudian, ibu meraih tangan Tuan Connel dan mengangguk. Pria itu kemudian menghampiriku dan berlutut di sebelahku. Aku masih ingat betapa sedih dan perihnya senyum yang menghiasi wajah tuanya itu.

“Kau benar-benar mirip putraku,” katanya.

Dia menjejalkan batang cokelat lainnya ke tanganku dan membisikan sesuatu. Dia memintaku untuk berjanji agar tidak mengatakan hal itu pada ibu.

Aku benar-benar anak yang baik. Kulakukan apa yang ia katakan. Dia mengatakan aku akan menjadi robot yang beruntung jika tetap diam dan memakan habis cokelat spesial itu, sebelum memakan permen-permen lain yang sudah dia berikan padaku sebelumnya. Dan di samping sakit perut yang tidak seberapa, kurasa aku memang beruntung.

Namun, setelah malam itu, dalam pertemanan aku tidak terlalu beruntung.

Sebab, setelah malam itu, tidak banyak anak-anak tersisa di lingkungan yang kutinggali.


Tamat

2 comments:

  1. di permen yang dibagikan tuan connel ke anak", ada racunnya ya, cokelat spesial itu penawar racunnya?

    ReplyDelete

 
Top