NikuShiba
Versi 1
Aku adalah seseorang yang bekerja sebagai Analis makanan, aku sudah datang ke banyak tempat di negara-negara yang terkenal dengan sajian kulinernya.
Biasanya, aku datang berkunjung ke Negara tertentu setelah mendapat rekomendasi dari seseorang. Suatu, hari. Saat aku berada di Eropa, ada seseorang yang merekomendasikan sebuah tempat yang harus aku kunjungi. Dia menjelaskan tempat ini sangat jarang terekspose, karena sajian kulinernya yang sudah sangat-sangat terkenal, namun hanya orang-orang tertentu yang bisa mencicipinya.
Mendengar itu, aku menjadi sangat tertarik untuk mengunjunginya.
Pria itu menjelaskan kepadaku. “Pergilah ke Negara Jepang, dan singgahlah di Parawisata menuju Gunung Fuji, turunlah ketika kau sudah sampai di pemberhentian tepat di jalanan sebelum keluar dari area Hutan lindung, kau akan menemukan sebuah jalan setapak untuk mendaki.
Masuklah, dan kemudian telusuri jalan itu. Bila beruntung, kau akan bertemu dengan seseorang. Siapapun yang kau temui itu, dia tidak akan datang bertanya kepadamu, jadi, kau yang harus datang kepadanya. Katakan kepadanya “NikuShiba” kepadanya, dan dia akan mengerti. Kemudian dia akan membawamu menuju sebuah restoran yang menyajikan sajian kuliner budaya yang sudah di jaga turun temurun oleh mereka yang mengelolanya”
Musim panas, aku akhirnya memutuskan pergi ke Negara jepang seperti apa yang di katakan oleh kenalanku. Aku melakukan semua prosedur yang dia ceritakan.
Tanpa ku sadari, aku sudah berada di jalan setapak menuju Gunung Fuji, setidaknya aku sudah berjalan lebih dari 40 menit, namun aku belum menemukan tanda apapun disini. Tempat ini sangat sunyi, tidak ada yang bisa ku lihat selain, Pohon-pohon besar tua dengan sulur dimana-mana.
Aku mulai mempertanyakan apa yang kenalanku katakan. Apakah dia sedang mengerjaiku. Karena bila itu benar, maka ini adalah lelucon terburuk yang pernah di katakan oleh seseorang.
Aku meneguk air putih, saat. Suara dari gerobak terdengar olehku. Aku melihat seorang pria tua mendorong gerobak di tengah hutan. Melihat itu, aku menghampirinya.
Aku berusaha menyapanya, dan berbicara kepadanya. Namun pria itu sama sekali tidak mendengarkanku. Dia masih sibuk mendorong gerobaknya di tengah-tengah hutan.
Aku teringat dengan pesan temanku, kemudian ku ucapkan kepadanya. “NikuShiba”.
Pria itu berhenti untuk beberapa saat. Kemudian tersenyum dan membungkuk kepadaku, seperti kebanyakan orang jepang saat menyapa seseorang.
Pria itu kembali mendorong gerobaknya, dan aku mulai mengikutinya.
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, aku terkejut melihat sebuah Paviliun tua, yang masih sangat terawat. Tempatnya besar, dan masih sangat terjaga dengan tradisi. Aku tidak menemukan listrik dimanapun, sepertinya. Kabar tentang orang jepang yang sangat menghormati tradisi nenek moyang mereka itu bukanlah hisapan jempol. Pria itu merentangkan tanganya, memintaku untuk mengikutinya.
Dia memintaku untuk duduk di bantal kecil, kemudian meninggalkanku. Aku masih memikirkan apakah ini adalah tempat yang kenalanku maksud sebelumnya.
Tidak beberapa lama kemudian, banyak wanita masuk dan menyajikan berbagai olahan masakan di atas mejaku. Aku sangat terkejut, mereka melayaniku dengan sangat baik, layaknya aku adalah tamu kehormatan yang penting.
Aku mencoba bertanya beberapa hal, namun tidak ada satupun dari mereka yang menjawab atau melihatku. Mungkin mereka tidak bisa menggunakan bahasa inggris, aku mencoba mengerti. Setelah para wanita itu pergi, pria yang ku temui berjalan masuk. Dia membungkuk, dan duduk di depanku. Kemudian mengatakan “NikuShiba”.
Mataku memandang olahan makanan di depanku, semuanya terlihat menggiurkan, aku bisa melihat sushi berbagai bentuk, kemudian daging, dan sake, banyak makanan yang ingin aku cicipi. Aku mulai melahap makanan di depanku, ketika aku menggigitnya, rasanya seolah lumer di mulutku. Seperti mencelos masuk dengan lembut melewati kerongkonganku, setiap gigitanya terasa kenyal namun sangat nikmat. Aromanya yang harum, kemudian rasanya yang sangat tidak masuk akal, membuatku geleng-geleng. Ini adalah makanan terlezat yang pernah ku rasakan sebelumnya.
Aku tidak bisa berhenti memuji setiap, makanan itu masuk ke dalam perutku.
Setelah jamuan itu selesai, aku bertanya pada pria di depanku.
“apakah anda mengerti dengan ucapanku?”
Dia hanya diam dan tersenyum menatapku. Aku pikir dia memang tidak mengerti. Namun, aku adalah seorang Anlis maknan, dunia harus tahu tempat ini. Setelah aku pulang, aku akan menulisnya dan membuat semua orang datang kesini.
Aku mencoba berinteraksi dengan pria tua itu kembali. Aku menunjuk makanan itu dan memintanya memberitahu resepnya, bagaimana sushi ini di olah, bagaimana daging ini di sajikan, bagaimana makanan ini di buat. Aku menjelaskanya secara detail menggunakan bahasa isyarat, dan sepertinya dia mengerti. Dia seolah memintaku beristirahat dan nanti, dia akan menunjukkanya.
Setelah aku puas beristirahat, pria itu mengajakku. Dia kembali mendorong gerobaknya di tengah sore—hari kian gelap. Dan aku mencoba bertanya kenapa tidak pergi, saat pagi hari saja. Namun dia hanya diam.
Dia membawa lampu pijar di atas gerobaknya. Mendorong menyusuri hutan yang gelap.
Saat kami berjalan cukup jauh, dia berbicara kepadaku “apakah anda tuan—berjanji akan tetap menjaga rahasia tradisi kami?”
Aku terlihat bingung,
“ini adalah tradisi kami, turun temurun sejak buyutnya buyutku menjalankanya. Restoran kami sudah berdiri lebih dari satu abad. Dan kami akan selalu menerima tamu dari manapun yang ingin merasakan makanan para Dewa.”
Aku cukup terkejut dia bisa berbicara dengan bahasa inggris. “jadi tuan” katanya “ kau akan berjanji menjaga rahasia tradisi kami ini?”
Aku mengangguk dan mengatakan untuk berjanji menjaga tradisinya.
Dia tersenyum, kemudian berhenti di bawah Pohon yang besar. Aku menatap ke sekeliling, namun tidak ada apapun disini.
“Daging olahan yang anda makan berasal dari sana?” pria tua itu menunjuk ke atas pohon.
Aku mematung, mengangah melihat apa yang ada di atas. “banyak mayat tergantung di atas kami, mungkin ada tujuh sampai sepuluh mayat”
“jadi—tadi, saya memakan-makanan dari daging--ini?” aku menelan ludah,
“Iya tuan. Itu adalah cara kami untuk menjaga tradisi disini. Orang-orang yang bunuh diri, mereka tidak akan di terima di sisi dewa, namun dengan memakan tubuh mereka. Kita telah membantunya untuk menuntun mereka saat kita nanti meninggal. Begitulah tradisi ini agar tetap terjaga. Apakah ada yang salah?” kata pria itu menatapku.
Aku terdiam untuk beberapa saat. Kemudian tersenyum kepadanya “Tentu saja, tidak!! Pantas saja. Daging yang aku makan tadi, rasanya aku pernah mencobanya saat ada di Afrika”
Versi 2
Aku berkunjung ke Jepang, ketika Musim panas.
Aku mendapatkan kabar, bahwa ada Restoran di tengah hutan yang sangat menjaga adat tradisi budaya asli dari Negara yang terkenal dengan bunga sakuranya ini, termasuk olahanya tentang kuliner yang kabarnya sudah melegenda.
Namun, ketika pertama kali aku menginjakkan kaki disini, aku mencoba bertanya pada penduduk local yang ku temui, aku mengatakan kepada mereka tentang “Nikushiba”. Namun tidak ada satupun orang yang mengerti, awalnya aku pikir, mereka tidak tahu karena terkendala oleh bahasaku, akan tetapi meskipun aku bertanya pada seseorang yang memandu wisata kami dimana dia menjelaskan tentang Sejarah Gunung Fuji. Dia juga mengatakan tidak pernah mendengarkanya sebelumnya. Satu-satunya yang mereka katakan, adalah tidak ada Restoran di tengah hutan.
Hutan di bawah gunung Fuji sangat terkenal karena menyimpan sebuah kengerian yang tidak wajar. Banyak orang-orang mati gantung diri disini, mereka memilih bunuh diri di hutan lantaran kabarnya, disini adalah tempat yang tenang untuk bersemayam. Umumnya mereka yang bunuh diri adalah mereka yang tidak sanggup menahan malu karena perbuatan mereka, atau mungkin kesalahan yang mereka buat, namun tetap saja, meskipun pemerintah melakukan pencegahan besar-besaran, masih banyak tercatat kasus bunuh diri disini.
Aku memutuskan untuk turun dari bus, saat berada di zona Hutan Lindung. Disana, ada sebuah jalan yang mengarah pada puncak gunung Fuji. Informasi yang ku dapat, aku harus berjalan masuk dan menelusurinya.
Aku sudah mempersiapkanya jauh-jauh hari.
Aku mulai berjalan sendirian menelusuri hutan yang kelam. Tidak ada yang bisa ku lihat, bahkan tidak ada suara burung berkicau layaknya hutan-hutan yang pernah ku singgahi.
Aku terus berjalan, sampai akhirnya aku terjatuh akibat kelelahan. Aku bersandar pada Pohon besar, dan meneguk air yang tersisa di tasku. Ketika aku sedang menikmati keindahan panorama alam disini, aku melihat seseorang sedang mendorong gerobak, sontak aku berdiri, dan membantunya untuk mendorong.
Pria tua itu hanya diam saja dan terus mendorong tanpa memperdulikanku. Aku begitu penasaran, apa yang di lakukan pria tua dengan gerobak di dalam hutan. Aku juga begitu penasaran apa yang ada di dalam gerobak ini, aku mencoba berkomunikasi dengan pria itu, namun dia hanya menatapku datar. Kemudian, entah apa yang ku pikirkan sebelumnya, tiba-tiba aku mengatakan, “Nikushiba”.
Pria itu tiba-tiba berhenti, dan mengatakan “ikuti saya tuan—“ aku cukup terkejut dia bisa berbicara dan mengerti ucapanku.
Aku mencoba membuka obrolan, “jadi tuan—apa itu Nikushiba?”
Pria itu hanya diam, tak menjawab pertanyaanku. Mungkin dia tidak ingin membicarakanya, aku kembali mencoba membuka percakapan “ngomong-ngomong apa yang anda lakukan di tengah hutan seperti ini dengan gerobak? Anda pedagang. Dan apa ini adalah dagangan anda”
Pria itu masih tidak mau menjawabnya.
Aku terpaksa mengikutinya dengan perasaan tidak enak, tidak ada percakapan selama perjalanan, sampai aku melihat sebuah Paviliun di tengah-tengah hutan. Sangat besar, dan terjaga.
Ketika aku melangkah masuk, aku melihat banyak orang sepertiku. Mereka turis yang sedang menikmati sajian lezat di depan mereka dengan lahap, wajah mereka tampak senang dengan bergurau bersama-sama. Ketika aku akan berjalan menuju mereka, pria tua itu, menarik lenganku. “Kamar anda di sebelah sini Tuan?”
Aku masuk ke dalam kamar, dengan pemandangan yang langsung mengarah pada megahnya Gunung Fuji. Beberapa saat kemudian, banyak pelayan masuk dan menyajikan makanan olahan daging yang berlimpah di depanku, mereka menuangkan sake, kemudian memberitahu bagaimana cara menikmati makanan tradisional ini.
Aku mulai mencobanya. Daging merah dengan bumbu cabai pedas, ketika aku merasakanya. Kelembutan yang tak pernah ku rasakan seketika memanjakanku. Ini sangat nikmat, sangat luar biasa. Pelayan wanita mulai menuangkan sake mereka kepadaku. Aku seperti tidak berada di duniaku lagi. Ini lebih dari hal yang tidak bisa ku jelaskan lebih jauh.
Tanpa ku sadari, perutku sudah penuh, dan aku tidak bisa memasukkan apapun lagi ke dalam perutku. Beberapa saat kemudian, pria tua itu berjalan masuk dan duduk di depanku, seketika aku berdiri, dan dia bertanya apakah aku cukup puas.
Aku bersemangat dengan mengatakan “tentu saja—ini sangat nikmat”
“ngomong-ngomong. Bagaimana anda bisa mengelola restoran di dalam hutan?? Maksudku, restoran anda akan sangat terkenal bila tempatnya mudah di temukan”
Pria tua itu mengatakan “kami tidak membutuhkan uang, kami tidak membutuhkan nama. Kami disini untuk menjaga sebuah tradisi, Nikushiba adalah tradisi kami”
“apa itu Nikushiba? “ aku kembali mengajukan pertanyaan itu.
“kau benar-benar ingin mengetahuinya??” ucapnya dingin.
“ya” jawabku.
“ikutlah denganku” pria itu berdiri dan membawaku menelusuri lorong, aku tidak pernah menyangka, Paviliun ini sangatlah luas. Lebih luas dari perkiraanku sebelumnya.
“Nikushiba adalah tradisi turun temurun yang di jalankan oleh keluarga kami, ini berujuan agar para Dewa yang ada di gunung Fuji tidak murka terhadap negri kami. Jadi, ini adalah Tradisi. Sebuah budaya yang kami jaga”
Aku masih mendengarkan dia berbicara, ketika kami sampai di ujung lorong, aku melihat banyak pintu khas Negara Jepang kebanyakan, pintu geser, “apakah anda tahu, resep dari makanan olahan kami?”
“tidak” aku menggeleng kepadanya. Dia tersenyum dan kemudian menggeser pintu.
“ini adalah Resep Daging yang kami olah, masih segar, dan tentu saja.. masih Fresh” ucapnya.
Aku mematung, dan mengangah di depan pintu, saat melihat seorang pria tanpa busana, di gantung dengan jeroanya di potong oleh wanita-wanita pelayan, mereka menguliti tubuh pria itu dengan sangat terampil seperti menguliti Rusa.
Mereka juga mengalirkan darahnya pada baskom layaknya binatang.
Dan kau tahu, apa yang lebih buruk dari semua ini. “Pria yang mereka kuliti, adalah salah satu Turis yang aku lihat tadi, yang sedang menikmati makananya” saat, aku menatap pria tua itu lagi. “Sesuatu menghantam keras kepalaku”
0 comments:
Post a Comment