Sebagai seorang dokter ahli jiwa, aku terikat dengan kerahasiaan antara dokter—pasien dan tidak diperkenankan memberitahukan pada siapapun mengenai kondisi pasien-pasienku. Namun kali ini, aku merasa perlu untuk menceritakannya. Cerita ini, tanpa perlu kuragukan lagi, adalah pengalaman paling menakutkan yang pernah kualami sepanjang praktekku sebagai psikiater.
Kisah ini terjadi tahun 2009 dan jadwalku saat itu sedang longgar. Aku sedang menghabiskan makan siangku kettika aku mendapat telepon dari kolegaku yang membuka praktek di gedung yang sama denganku. Kadang kala kami memang sering mengirimkan pasien satu sama lain apabila salah satu dari kami sedang sibuk.
“Hei, apa kau sedang sibuk? Aku ingin mengirim seseorang kepadamu.” katanya.
“Tidak kok. Bagaimana detail pasiennya?”
“Gangguan pola makan. Ibunya sangat khawatir, sehingga mengirimnya kepadaku.”
Gangguan pola makan. Hmm ... itu kasus yang tidak terlalu menyenangkan. Sebenarnya aku pernah memiliki pasien penderita bullimia yang muntah di kantorku selama terapi. Aku melirik jadwalku sejenak. Yah, kurasa aku bisa menerimanya.
“Oke, kirim dia!” kataku.
“Thanks. Aku kirim dia sekarang.”
Aku mencoba merapikan mejaku dan menunggunya. Setelah 10 menit menanti, aku mulai tak sabar dan keluar untuk mencarinya. Ketika aku sampai di lorong, kulihat ada kerumunan orang berdiri di depan elevator. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain, seperti mendiskusikan sesuatu.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Lift-nya macet.” jawab salah satu dari mereka.
Sial, pasti dia terjebak di dalamnya.
“Di lantai berapa?”
“Di antara lantai 10 dan 11.”
Yup, pasti ia ada di dalamnya. Kantor rekanku itu berada di lantai 10, sekitar 3 lantai dari sini. Menurut pengalamanku, bisa sejam hingga operator bisa memperbaiki lift ini. Aku harap dia tidak klaustrofobia (ketakutan pada sesuatu yang sempit). Kembali ke kantorku, aku lalu menelepon rekanku.
“Bagaimana?’ jawab kolegaku di dalam telepon.
“Ia terjebak di dalam lift.”
“Benarkah? Gadis yang malang” ia tertawa.
“Siapa namanya?”
“Amelia,” ia mencoba mengingat, “Amelia D-sesuatu ... aku sedikit lupa”
“Oke, thanks. Bagaimana jika kita minum sehabis pulang kerja, lalu kita bisa bertukar opini mengenai kasusnya.”
“Oke, dia itu ...”
“Eits, jangan katakan dulu. Aku ingin membentuk opiniku sendiri tanpa ada pengaruh darimu, oke?” kataku.
“Oke.” Dia menjawab.
Ternyata benar dugaanku, baru sejam kemudian, aku mendengar sorakan dari ujung lorong. Itu tanda lift itu akhirnya bekerja kembali.
Aku harus memastikan ia baik-baik saja. Kemudian aku kembali bergabung dengan kerumunan orang-orang di depan lift.
Ada lebih banyak orang ketimbang tadi sehingga aku tak bisa melihat pintu lift dari balik punggung mereka. Namun aku mendengar suara berdenting yang menandakan lift itu berhenti di lantai kami dan suara bergeser ketika lift itu membuka.
“Holy shit!” seseorang langsung berteriak.
Orang-orang mulai menjauh dari depan lift. Aku mencoba maju mendesak tubuh orang-orang di depanku karena ingin melihat apa yang ada di dalam lift. Begitu aku mendekat, aku mulai mencium bau ini. Baunya seperti membuka kamar apartemen dan seseorang yang belum mandi selama bertahun-tahun keluar. Bau itu mengalir keluar dari dalam lift dan membanjiri sepanjang lorong. Seorang pemuda berpakaian jas langsung menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas apa yang membuat reaksi orang-orang seperti itu.
Wanita di dalam lift itu sama sekali tak seperti yang aku bayangkan. Ia mengalami obesitas yang sangat parah, ia terlihat berbobot sekitar 200 kg. Wajahnya benar-benar tambun hingga matanya hamper-hampir tak terlihat, hanya tampak seperti dua titik hitam di atas pipinya. Ia memiliki rambut cokelat yang keriting.
Mulutnya tertutup oleh sesuatu yang tampak seperti saus barbekyu yang penuh minyak. Bahkan masih ada sisa tulang di sudut mulutnya. Ia menggerakkan tangan gemuknya untuk membersihkan serpihan di bajunya, sisa makanan. Ia terlihat seperti habis dari bufet “apa-yang-kau-makan-sebenarnya”gerutuku dalam hati dengan berbagai menu daging. Terpegang erat di salah satu tangannya adalah sebuah tas plastik hitam besar, seperti sebuah plastik sampah. Ketika ia menggerakkannya, apapun yang ia simpan di dalamnya tampak teraduk-aduk. Bau busuk itu rupanya tak keluar dari badan wanita itu, melainkan dari dalam plastik sampah itu.
Wanita itu berjalan keluar dari lift. Mata dan hidungnya penuh dengan air mata dan lendir yang terus mengalir. Aku justru maju ketika orang-orang lain mundur karena ketakutan.
“Amelia?” aku bertanya kepadanya.
Ia menatapku dengan matanya yang kecil bak manic-manik. Pipinya belepotan dengan noda sampah merah yang bercampur dengan air mata. Ia mulai membuka mulutnya dan aku sempat berpikir bahwa ia akan memuntahkan seluruh barbekyu yang ia lahap ke arahku.
“A ... aku tadi lapar ...” ia berkata dengan aksen Selatan yang tergagap.
Pria berpakaian jas tadi bergidik karena bau napas wanita itu dan segera melangkah pergi.
“Tidak apa-apa,” aku mencoba meraihnya untuk menolongnya, “Apa kau ingin membicarakannya di kantorku?”
Melihatku mencoba meraihnya, ia mengenggam lebih erat tas plastik hitam besar dan memeluknya di depan dadanya. Isinya menimbulkan suara yang membuatku muak. Aku bisa merasakan makan siangku tadi naik ke belakang tenggorokanku.
“Apa itu milikmu?’ tanyaku, “Aku takkan mengambilnya.”
Ia mulai menangis. Suara cukup membuatku ngeri, seperti suara babi mengikik. Jujur, aku tak mau menyentuhnya. Aku ingin kembali ke kantor, mengunci pintuku, dan berpura-pura tak pernah menerima pasien sepertinya. Bau dan tumpahan apapun yang ada di dalam tasnya bisa mengendap di dalam kantorku selama berminggu-minggu. Namun tetap saja, ia adalah manusia dan ia membutuhkan bantuanku. Aku tak bisa begitu saja memalingkan muka.
“Kantorku tak jauh dari sini. Mengapa kau tak ikut denganku ke sana?” aku mulai berjalan. Di benakku, jika saja ia tak mengikutiku, malah bagus. Ia bisa kembali ke apartemennya yang kemungkinan besar penuh dengan kecoa dan feses dan siapa tahu kotoran memuakkan lainnya, dan aku akan mencari pasien lain.
Namun ia mengikutiku, dengan langkah tertatih-tatih. Aku membuka pintu untuknya dan ia masuk dengan lemak pada tubuhnya bergoyang-goyang. Ia masih memegang kantong sampahnya dengan jari belepotan saus barbekyu sambil sesekali bersendawa. Ia kemudian hanya berhenti di tengah ruangan kantorku.
“Lift ... litnya tadi macet ...” ia bergumam.
“Ya, saya tahu. Saya ikut prihatin. Saya harap anda baik-baik saja. Tapi untung saja anda membawa sesuatu untuk dimakan, bukan?”
Ia mulai menangis lagi, sambil meremas kantong sampahnya, yang aku takutkan akan meledak dan menumpahkan seluruh isinya yang entah-hanya-Tuhan-yang–tahu ke atas karpetku. Ia mengangguk ketika wajahnya memerah dan air mata mengalir deras seakan keluar dari tiap pori-pori wajahnya. “Demi Spongebob Squarepants, baunya begitu memuakkan” batinku.
Aku kemudian mengambilkannya tisu dan ia mengambilnya, tetap sambil mengenggam erat tas sampahnya, seakan takut aku akan mencurinya.
“Apa anda ingin saya untuk memeganginya sebentar?” tanyaku sambil berdoa dalam hati agar ia mengatakan tidak.
Ia menggeleng. Syukurlah.
“Apa yang ada di dalam sana?” aku menunjuk ke kantong plastik besar yang dipegangnya.
Ia gusar dan mendengus, mencoba menyedot kembali semua cairan kembali ke dalam wajahnya. Dengan menggunakan satu tisu, ia menyapu seluruh wajahnya, hingga meratakan noda merah di mulutnya ke penjuru wajahnya.
“Sisa ... sisa makanan ...” ia menjawab dengan terbata-bata. Dadanya tampak naik turun dan ia mulai terisak kembali. Wajahnya kini serupa dengan air mancur. Aku mulai merasa kasihan padanya. Ia tampak sangat menderita.
“Lihat,” kataku, “terjebak di dalam lift sungguh adalah sebuah pengalaman traumatis.”
Isakannya mulai terdengar melengking.
“Jadi kenapa kita tidak tunda saja pertemuan kita sampai Anda merasa tenang.”
Ia berusaha menjawab di tengah isakannya, “An ... Anda ingin bertemu saya?”
“Ya, hanya bukan hari ini. Mengapa Anda tidak pulang dulu saja dan mencoba santai. Saya tidak berpikir Anda dalam mood yang tepat untuk membicarakan semua permasalahan Anda. Namun saya sangat ingin menolong Anda. Jadi, mari kita jadwalkan kembali pertemuan kita untuk minggu ini. Bagaimana menurut Anda?”
Aku berjalan kembali ke mejaku dan mengambil kartu nama. Mulutnya masih gemetar dan tampaknya ia sebentar lagi akan menjadi tumpukan lendir yang menjerit gila-gilaan. Namun ia justru tampak lebih tenang dan mengangguk, kemudian mengambil kartu namaku dengan jari-jari yang masih mengenggam tisu yang lengket dan basah.
“Te ... terima kasih ...” ia berkata. Aku hampir tak bisa membaca wajahnya. Seluruh mukanya tampak merah, bengkak, dan basah sehingga ia hampir tanpa ekspresi.
“Apa Anda mau saya menemani Anda hingga ke lobi?” tanyaku, “Untuk berjaga-jaga seandainya lift macet lagi. Namun menurut saya, seharusnya lift-nya baik-baik saja sekarang. Anda tak perlu takut.”
Ia menggeleng, “Itu ... sepertinya bukan ide ... yang bagus ...”
“Oke.”
Dan dengan itu, ia berpaling dan keluar dari kantorku dengan langkah lamban dan malas. Bersamanya, tas hitam dengan isinya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya, membawa pergi segala aroma busuk, jorok, dan tak mengenakkan dari dalamnya. Aku menghela napas dengan lega ketika ia menutup pintu dan menghilang di baliknya.
Ia tak pernah meneleponku kembali.
Seminggu kemudian, aku sedang minum-minum bersama kolegaku di lantai bawah. Kami sedang santai, menikmati beberapa cangkir minuman, dan tiba-tiba aku teringat padanya.
“Oh, ngomong-ngomong terima kasih.” kataku.
“Untuk apa?”
“Amelia.” Kataku lagi.
“Siapa?” dia sedikit bingung.
“Amelia. Gangguan pola makan, ingat? Minggu lalu kau mengirimnya kepadaku.”
“Oh ya, aku ingat. Yang terjebak di dalam lift. Bagaimana keadaannya?” dia menatapku.
“Ia benar-benar seperti kapal menunggu karam. Terisak terus-menerus dan hampir histeris. Aku memintanya menjadwalkan kembali pertemuan kami, namun ia tak pernah menelepon untuk membuat perjanjian.”
“Apa kau sudah berbicara dengan ibunya?” katanya masih heran.
“Tidak. Aku sama sekali tak mendapatkan informasi sedikitpun darinya. Tapi aku memberikannya kartuku.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai dirinya?”
“Ketergantungan pada makanan. Kasus klasik.” jawabku, “Benar2 pemakan lahap. Wajahnya benar2 ...”
“Bukan, bukan ibunya. Maksudku Amelia.”
“Apa?” aku kaget mendengarnya.
“Bagaimana pendapatmu mengenai Amelia?” ulangnya.
“Aku sudah mengatakan padamu apa pendapatku.”
“Amelia, gadis kurus kering berusia 12 tahun itu, kau pikir ia adalah pemakan lahap?” kolegaku mengingatkanku.
“Apa, tidak ... itu ...” aku mencoba mencerna kalimatnya Dan tiba-tiba aku tersadar.
“Apa ibunya bersamanya saat itu?” kataku.
“Ya, aku mengirim mereka berdua kepadamu”
“dan mereka berdua terjebak di dalam lift bersama-sama?” aku melanjutkanya sebelum kolegaku menyelesaikan kalimatnya.
Ia menatapku dan mimik wajahnya langsung berubah.
Tak perlu kukatakan lagi, aku tak pernah lagi bertemu lagi dengannya. Amelia D-sesuatu itu. Atau ibunya, wanita penderita obesitas yang tak bernama yang kutemui di luar lift pada hari itu. Wanita yang beraroma seperti kematian, tertutup oleh yang kupikir saus merah, dan membawa tas sampah berisi sisa-sisa makanan. Oh. Ya ampun. Batinku.