Meek duduk di depan komputer sambil menjilat bibir. Jemari gemuk, berkuku panjang dan kotor mengetik tuts keyboard dengan sangat cepat. Dari suaranya, orang mungkin mengira ada penari tap yang sedang berlatih, mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai. Akan tetapi, tak akan ada penari yang bisa berlatih di apartemen berantakan yang penuh sesak itu.
Apartemennya berbau macam-macam: makanan basi, pakaian kotor, keringat, air seni. Barang-barang lama milik pria super gemuk di depan komputer itu tersebar di sana-sini, di tempat-tempat yang belum tertutup sampah.
Di antara gunungan sampah dan barang bekas itu, ada jalur-jalur sempit yang mengarah ke titik-titik "penting": kamar mandi yang jarang digunakan kecuali toiletnya, pintu depan, dapur, serta kamar tidur. Di luar itu, tumpukan sampah dan barang menggunung sampai hampir mencapai bagian atas pintu.
Tumpukan barang di apartemen itu adalah bukti betapa tahun-tahun terakhir hidupnya hanya berisi kemalasan dan pengabaian. Bagian terbawah dari tumpukan sampah itu adalah robekan-robekan koran yang disebarnya untuk menyerap muntahan dan tumpahan bir. Saat dia asyik mengetik, matanya melirik sudut kotak kemasan pembalut wanita yang menonjol di antara tumpukan sampah dekat mejanya, dan dia seketika teringat Marie.
Istrinya, Marie, telah meninggalkannya setahun yang lalu, tapi Meek tidak terlalu ingat. Marie membawa bayi perempuan mereka (Chrissy? Crissy? Crista? Dia sudah lupa), ketika istrinya itu menyadari bahwa Meek tidak mau melakukan apa-apa lagi kecuali bermain game online.
Meek mendadak menendang tumpukan kotak pizza di bawah mejanya, marah ketika karakter game-nya kalah dan jatuh ke sungai lahar. Dia yakin grupnya pasti akan menendang karakternya keluar. Meek menendang kotak pizza lagi, sampai jempolnya yang panjang dan kuning melubangi kotak itu, tembus sampai ke tembok di belakangnya.
Meek mulanya tidak menyadari rasa sakit, terutama karena tepat pada saat itu, dia menyadari bahwa koneksi internetnya terputus. Dengan kesal, dia menghentakkan kaki ke lantai, di atas gumpalan coklat gelap berbau. Dia sendiri sudah kebal terhadap bau tak sedap di ruangan itu.
Meek memandangi kuku jempol kakinya yang patah dan berdarah, memegangi kakinya dengan ekspresi kesakitan, dan dengan susah payah bangkit dari kursi sambil mengutuki layar komputernya. "Brengsek! Sialan!" Dia berteriak ke arah layar komputernya, sambil mengacungkan jari tengah berkali-kali. Dudukan kursinya yang kotor itu terasa lengket di pantatnya; kursinya terangkat sejenak bersama tubuhnya, sebelum terlepas dengan suara keras. Berpikir bagaimana caranya agar koneksi internetnya hidup kembali, Meek menyeret tubuh besarnya ke arah telepon.
Meek agak kaget menyadari tubuhnya berkeringat sangat banyak. Apakah AC-nya mati juga? Diam-diam dia bersyukur ibunya yang sudah mati beberapa tahun lalu meninggalkan dana perwalian yang cukup banyak untuknya, sehingga bisa mendukung gaya hidupnya yang sekarang. Dia akan menghubungi perusahaan telekomunikasi, lalu induk semangnya.
Saat Meek menyeret tubuh gemuknya ke dapur, dia menjadi pusing, dan langsung muntah ke kotak sereal kosong yang dipungutnya dari lantai. Dia kemudian menyambar sekaleng bir yang terbuka di atas meja dapur, dan meneguk sampai rasa asam muntahan hilang dari mulutnya. Tangannya kemudian menyingkirkan tumpukan tisu kertas dan kemasan burger yang menutupi telepon dinding di dapur (beberapa kecoa kabur dari baliknya), tapi telepon itu sudah tak ada di sana. Samar-samar, Meek teringat bahwa dulu Marie mengeluh deringan telepon itu mengganggu tidur putri mereka. Karena masing-masing memiliki ponsel, telepon dinding itu dilepas karena tidak pernah dipakai.
"Sialan!" Teriak Meek lagi, susah payah membungkuk untuk menggaruk selapis daki di belakang lututnya. Jempolnya berdarah semakin banyak, dan terlihat lebih parah di bawah cahaya lampu dapur. Kukunya retak secara vertikal dari atas sampai bawah, kulit di bawahnya terluka, dan jempolnya bengkak parah serta nampak berwarna ungu. Meek akhirnya memutuskan mencari telepon di kamar tidur, didorong keinginan agar koneksi internetnya cepat tersambung, jempolnya diobati, dan dia bisa kembali ke game-nya. Tersaruk-saruk, Meek berjalan melewati kamar mandi, karpetnya berbunyi basah menjijikkan saat kakinya menapak di atasnya. Sejenak, Meek melirik ke arah kamar mandi yang terbuka, bak dan pancurannya tak pernah digunakan. Lubang klosetnya penuh gundukan coklat dan kehijauan berbau busuk yang dikerumuni lalat. Lantainya tertutup gumpalan tisu toilet kotor serta botol-botol bir, dan dindingnya dipenuhi bekas telapak tangan berwarna coklat.
Ada foto berbingkai digantung di pintu kamar mandi; Meek dan Marie berpose di depan taman bermain Epcot Center. Ada bayi perempuan yang tertidur dalam gendongan Meek, nampak damai ketika dicium keningnya oleh sang ayah. Samar-samar, Meek ingat berperahu dengan mereka, dan Marie mengecupnya dengan lembut saat perahu itu melintasi terowongan.
Meek tersaruk-saruk berjalan menuju kamar tidur, meninggalkan jejak-jejak merah di belakangnya. Menembus gunungan sampah yang menutupi jalan ke kamarnya ternyata jauh lebih sulit dari dugaannya. Ada kardus-kardus besar yang berat tersembunyi di bawah gundukan sampah. Dia tak ingat lagi apa isinya. Kardus-kardus itu menumpuk tinggi dan berantakan sampai hampir melewati bingkai pintu bagian atas. Setelah menyingkirkan kardus berat terakhir, Meek memutar kenop pintu. Tak berhasil, namun setelah mencoba mendobraknya berkali-kali, daun pintu akhirnya terbuka lebar.
Kamar tidurnya gelap, dingin, tapi ternyata bersih. Cahaya yang membanjiri kamar menunjukkan tumpukan debu di lantai yang kosong, dan karpetnya masih berwarna coklat, seperti saat mereka pindah ke sana dulu. Lukisan cerah yang digantung Marie di dinding masih ada di sana; menurutnya, karena kamar ini tak berjendela, mereka harus menggantung sesuatu yang cerah. Tempat tidurnya juga masih rapi; warna penutup ranjang yang berwarna coklat tua samar-samar membuat Meek teringat gundukan jorok di klosetnya.
Ternyata memang ada telepon di kamar; sebuah telepon tanpa kabel yang ditaruh di meja kecil. Dengan perasaan lega, Meek berjalan tersaruk-saruk dan duduk di tempat tidur, mengangkat telepon dan memencet nomor dengan terburu-buru sementara matanya melirik sesuatu berbentuk persegi yang diletakkan di kamar. Meek lupa menyalakan lampu, dan kardus-kardus yang tadi disingkirkannya kini menumpuk menutupi cahaya dari luar, sehingga dia tak tahu benda apa itu.
Meek menggosok jempolnya, dan kemudian menyadari sesuatu yang membuatnya merasa dingin. Tak ada nada sambung.
Marie mungkin sudah membatalkan layanan telepon saat dia pergi, atau mungkin, Meek sendiri yang lupa membayar telepon. Dia tak ingat. Dengan marah, Meek membanting telepon itu sampai membentur benda persegi di pojok ruangan. Dia merasa pusing sekarang, dan keringat semakin membanjiri tubuhnya. Meek akhirnya berdiri dan berjalan terpincang-pincang ke arah benda persegi di pojok ruangan. Saat itulah dia menyadari benda apa itu, dan apa yang ada di dalamnya.
Itu sebuah boks bayi. Di dalamnya, ada mayat membusuk sesosok bayi. Kulitnya berwarna ungu dengan pola-pola aneh di atasnya. Wajahnya yang mengerut dan rusak terhenti dalam pose seolah dia menjerit sebelum mati. Benda mengerikan ini pasti kesepian -- Meek membatin saat matanya terpaku pada mayat putrinya.
Dia kemudian menyadari sosok lain yang tergeletak di sebelah boks bayi. Wajah Marie yang kosong menghadap ke langit-langit dengan ekspresi seolah dia menangis sebelum mati, walau bola matanya sudah tidak ada. Satu tangannya mencengkeram jeruji boks bayi, dan tangan lainnya memegang ujung kerah bajunya yang terbuka, menampakkan dadanya. Dia pasti mencoba menyusui bayinya untuk terakhir kalinya (Kristina! Itu dia namanya!).
Meek mengumpat khawatir, dan memutuskan untuk keluar. Akan tetapi, ketika hendak keluar dari pintu, dia baru menyadari masalahnya. Tumpukan kardus dan sampah yang tadi dia singkirkan dengan susah payah kini runtuh dan berantakan menutupi jalan, membentuk tembok sampah yang tebal. Dia bisa melihat sekilas sebagian layar komputernya di ruang tengah, menyala biru dan jingga dari game-nya yang terputus.
Kepalanya berdenyut dan jantungnya berdebar kencang, Meek akhirnya jatuh berlutut dan berusaha mengais gunungan sampah. Kardus pertama di bagian bawah gunungan yang menutupi pintu itu bisa ditariknya, tapi yang berikutnya mustahil, karena posisi mereka yang sedemikian rupa. Meek akhirnya jatuh bersandar pada gunungan itu, terperangkap. Samar-samar, dia merasakan gelitikan kaki-kaki seekor kecoa yang tertimpa tubuhnya.
"Cuma istirahat sebentar..." gumamnya lelah. "Dapur ada di sana...dekat sekali."
Koneksi internetku pasti akan kembali, pikirnya. Asal aku bisa menelepon.
Dengan pandangan rindu, ditatapnya kilasan cahaya layar komputernya dari sela-sela gundukan yang memerangkapnya, sebelum jantungnya akhirnya menyerah.