Mr. Billingmyer's Seventy-Fifth Halloween


by: Ryan Sheffield

Bel pintu berdering sore itu pukul enam lewat setengah, dan keriangan yang dirasakan Thomas Jacob Bilingmyer membawanya seolah-olah kembali ke masa sekolahan. Ini harusnya adalah perayaan Halloween ke-75 bagi dia, tetapi dengan antusias menggebu-gebu yang menyebabkan radang sendinya kambuh, orang mungkin saja akan menduga ini kali pertamanya. Benar, dia adalah orang yang sudah sangat tua, tapi di dalam hatinya, dia masihlah kanak-kanak. Dan Thomas memang sangat menyayangi anak-anak!

“Permen atau kami jahili!”—adalah nyanyian yang mereka senandungkan, dan Mr. Billingmyer lebih menyukai iramanya dibanding kidung-kidung Yuletide manapun. Kostum di jalanan semakin asing baginya seiring berjalannya waktu—anak-anak sekarang lebih menggemari karakter kartun televisi daripada tokoh Halloween klasik yang Mr. Billingmyer ketahui—tetapi dia tetap menyukai kedua-duanya. Untuk satu momen di malam yang menyenangkan itu, paling tidak, anak-anak terbebas dari kekakuan yang diterapkan di sekolah dan larangan-larangan orangtua mereka. Orang dewasa menaati semua peraturan dan keteraturan, mereka tumbuh dewasa dan membuang imajinasi mereka dan meninggalkannya seperti ular berganti kulit—yang sebenarnya merupakan kekurangan mereka, menurut Thomas Jacob Billingmyer. Malam ini, dia bisa menjadi apa saja dan tidak ada peraturan.

“Selamat Halloween buat kalian semua!” kata Thomas, sembari menjatuhkan sebiji permen di setiap keranjang. Tas dan keranjang diangkat tinggi-tinggi oleh anak-anak. Mereka berterimakasih padanya dan berlari menyusuri jalan, kembali menuju para orangtua miskin-imajinasi yang masih dengan pakaian sehari-hari mereka yang membosankan, lalu melanjutkan ke rumah-rumah berikutnya.

Thomas memperhatikan mereka dan menutup pintunya, terlalu gembira untuk duduk kembali. Dia berharap dirinya sempat membeli labu-ukir siang tadi. Tapi mungkin begini lebih baik. Sendi-sendinya yang terasa nyeri tidak mengizinkannya banyak bergerak. Betul-betul merusak suasana. Si Tua Thomas sangat merindukan masa mudanya, dan walaupun tujuhpuluh lima Halloween sudah lebih dari cukup bagi kebanyakan orang, dia rela menukar semua itu untuk kembali muda. Untuk tidak pernah menghadapi dunia orang dewasa yang sangat melelahkan, suntuk, dan dipenuhi semua tanggungjawab yang menyusahkan. Supaya dia bisa merasakan terus keberkahan masa kanak, dan semua khayalan masa mudanya itu. 

Dua jam berikutnya menyusul tamu pertama, bel pintu berbunyi empat kali. Setiap saat merupakan waktu yang hebat baginya—penyihir kecil, iblis tapi cebol, semua berteriak kegirangan dan mengucapkan terimakasih pada Thomas, tetapi perayaan tahun ini jauh lebih sepi daripada tahun sebelumnya. Dan akan semakin sepi lagi di tahun-tahun berikutnya. Barangkali, anak-anak jaman sekarang tumbuh dewasa terlalu cepat. Dunia berubah dan kedewasaan memasuki hidup mereka terlalu dini. Si Tua Thomas bertanya-tanya apakah suatu saat nanti setahun akan berlalu tanpa ada lagi yang merayakan Halloween. Usianya sendiri mungkin tidak akan cukup untuk menyaksikan sampai saat itu terjadi, dan untuk itu dia merasa sedikit bersyukur

Waktu itu hampir jam 9 dan Mr. Billingmyer sudah kelelahan tapi tetap membukakan pintu ketika bel berbunyi. Dia berjalan ke pintu secepat tulang-tulang reyotnya sanggup membawanya. Tetapi, kali ini dia tidak disambut oleh sekumpulan ratu atau goblin yang meminta permen. Lelaki muda yang sekarang berdiri di pintu rumahnya adalah seseorang yang telah membuang masa kanak-kanaknya yang menyedihkan. Kostumnya adalah kulitnya sendiri dan niat busuknya itu, yang dipenuhi keputus-asaan. Laki-laki itu mengambil pisau dari dalam tasnya dan memojokkan Thomas Billingmyer di belakang rumah. Dia mengunci pintu dan mulai mengintip melalui jendela dengan gugup.

“Diamlah, Pak Tua! Demi Tuhan, aku bisa menggorokmu!” Pisaunya diacungkan dan Mr. Billingmyer menuruti perkataannya, mundur perlahan-lahan ke ruang tengah.

“Duduk.” Laki-laki tersebut menunjuk ke arah kursi kayu yang tadi disiapkan Thomas selagi dia menunggu bel berdering. Thomas melakukan seperti yang diminta. Perampok itu mengaduk tasnya dan mengambil seutas tali untuk mengikat Mr. Billingmyer di kursinya, dengan sangat tidak nyaman. 

Laki-laki itu memang dilanda kebingungan. Dia mengacak-acak setiap tempat di rumah itu—bahkan lemari dapur—mencari apapun yang tak pernah dilihatnya ketika khayalan berharga masa mudanya yang malang itu masih ada. Mr. Billingmyer tidak sepenuhnya menyalahkan laki-laki itu. Kedewasaan, rupanya, bisa merusak kapan saja.

Thomas memperhatikan dengan sabar saat si lelaki muda berlari menuju kamar, dan kembali dengan sekepal perhiasan, meski sebagian besar hanya mainan. Dia sepertinya bukanlah seseorang yang memiliki kecerdasan, menurut Thomas. Thomas benar-benar merasa kasihan. 

“Kapan istrimu pulang, Pak Tua?” katanya sambil memenuhi isi tasnya dengan perhiasan palsu.

“Aku tidak menikah,” jawab Mr. Billingmyer.

“Maksudmu, kau ini sejenis lemah syahwat? Lalu apa maksudnya barang-barang ini? Peduli setan. Duit! Di mana kau menyimpannya?” laki-laki itu mengacungkan pisaunya, yang kelihatan tidak terlalu mengancam. Lebih seperti sekadar penekanan daripada maksud lainnya.

“Aku khawatir aku tidak memilikinya,” kata Thomas.

“Tidak ada sama sekali? Keparat tukang bohong. Jangan menipuku, Bung. Aku tidak sedang main-main!” Penekanannya meyakinkan tetapi kurang berhasil.

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa membantumu, Nak.”

Si perampok mendorong pisaunya lebih keras dan mulai kelimpungan. “Kau berbohong,” katanya dengan gugup. “Bajingan!”

Dia menggunakan kesempatan ini—dengan tidak efektif—menggeledah seisi rumah untuk menemukan uang, tapi tidak mendapatkan apa-apa. Dia menyerah. Mr. Billingmyer menduga ini bukan kali pertamanya berbuat seperti itu. 

“Sialan …” Si laki-laki duduk di kursi dan mengusap rambutnya. Dia tampak merana. Itu adalah pemandangan yang menyedihkan. Mr. Billingmyer berharap dia tak perlu melihatnya. Setelah beberapa saat, laki-laki tersebut bangkit terburu-buru dan mengambil sebiji permen dari mangkuk.

“Permen itu untuk anak-anak!” jerit Thomas. Dia marah hingga bibirnya gemetaran. “Itu punya anak-anak, bukan punyamu!”

“Diamlah, Pak Tua,” katanya lemah. Laki-laki itu membuka bungkusnya dan memakan dalam satu gigitan. “Tak ada duit, ya … pembohong …” dia bergumam, lalu jatuh telungkup di lantai ruang tengah. Badannya kejang-kejang hebat dan darah mengalir dari mulutnya, hidung, telinga, dan bahkan keluar lewat saluran airmata. Racunnya bekerja lebih cepat dari yang Mr. Billingmyer perkirakan. Dan hasilnya benar-benar berantakan.

Walaupun tulang-tulang dan sendinya sakit, Pak Tua Thomas berhasil melepaskan diri dari ikatan setelah beberapa lama mencoba. Ya ampun, rumah ini sangat kacau.

Malam semakin larut dan dia berpikir sudah saatnya untuk pergi. Hari hampir usai dan anak-anak berpakaian setan mulai kembali ke rumah dengan hadiah mereka, dan pemilik rumah ini akan pulang sebentar lagi. Lantas menemukan semua kekacauan ini! Thomas merasa tak enak hati, tapi tidak banyak yang bisa dia lakukan kecuali pergi sebelum mereka datang.

Halloween ke-75 Thomas Jacob Billingmyer akan berakhir mengecewakan. Mungkin tahun depan bakal lebih baik, jika takdir mengizinkannya hidup satu tahun lagi.

Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Mr. Billingmyer berlari ke pintu dan membukakan secelah.

“Trick or treat!” nyanyi anak-anak. Pak Tua itu tersenyum. Oh, masa muda selamanya! Kedewasaan adalah akhir dari imajinasi dan kemurnian. Akhir dari mimpi. Dan tidak ada seorangpun yang pantas mengalami itu.

Anak-anak menengadahkan keranjang, kotak, dan tas dan Thomas memberi mereka masing-masing permen.

“Selamat Hallween buat kalian semua!” dia bilang, saat melihat senyum di wajah anak-anak, semua kekecewaan dan kesedihan menghilang dari pikirannya seolah-olah dia tak pernah merasa demikian.

Ya, dia pikir. Ini merupakan malam yang indah.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top