Untitled
Oh Tuhan, kali ini aku benar benar ketakutan. Aku selalu mengetahuinya. Aku selalu sadar ada sesuatu yang tidak benar dengan adikku, tapi sekarang… tolong, aku butuh pertolongan. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat.
Semua orang yang kenal denganku akan memberitahumu aku adalah tipe kakak perempuan yang overprotektif. Adikku, Jeremy, lebih kecil 7 tahun dariku. Dia anak yang manis, tapi sangat pendiam, tipe kutu buku yang selalu mengenakan kacamata dan diolok olok ketika berjalan di lorong sekolah. Saat aku duduk di SMA, aku mengawasinya dari koridor SMP, memperhatikannya bagaikan elang agar para pembully tidak berani menyiksanya. Aku tak berniat pamer, tapi aku cukup populer di sekolah, jadi aku bisa memanfaatkan kepopuleranku untuk melindunginya saat di sekolah. Setelah aku lulus, aku jadi lebih susah mengawasinya. Aku menapaki masa kuliahku, terbiasa dengan tangisan mom tentang Jeremy yang terjadi hampir tiap hari. Anak lain menjulukinya macam macam : aneh, idiot, psikopat. Darahku selalu mendidih saat mereka memanggilnya dengan sebutan itu. Saat di rumah, aku tak pernah membiarkan siapapun menyakiti Jeremy.
Masalahnya, bahwa Jeremy kelihatan sama sekali tidak terusik dengan pembullyan itu. Saat anak lain meneriakinya, atau menatapnya aneh, dan bahkan cekikikan saat dia berjalan melalui koridor sekolah, bahkan merusak lokernya… Jeremy hanya menunduk ke bawah, terjun sepenuhnya kedalam dunia pikirannya. Aku sangat khawatir dengan kebiasaannya itu, kau tahu? Dia benar benar melamun. Mungkin dia memang tak bisa mentolerir realita hidupnya.
Tapi bagaimanapun dia masih lah adikku. Adik kecilku yang manis dan introvert.
Aku heboh ketika aku pulang rumah musim panas tahun lalu, dan menemukan bahwa Jeremy sudah punya pacar. Saat aku baru beranjak ke dalam rumah, dia langsung memenuhi telingaku tentang gadis ini, Theresa. Dia cantik, dia baik, dia pintar, dia menyukai apa yang Jeremy suka… dan begitulah. Sekarang, kau harus benar benar mengerti, Jeremy HAMPIR tidak pernah berbicara. Aku adalah orang yang paling akrab dengannya, dan Jeremy tak pernah berbincang padaku lebih dari lima kalimat sehari.
Tentu saja, aku ikut berbahagia untuk dirinya. Tapi aku juga sedikit curiga tentang gadis itu. Saat ia melafalkan namanya, aku langsung masuk ke mode overprotektif. Aku mulai memanggil dan menginterogasinya, menyerangnya dengan berbagai pertanyaan untuk mendapat gambaran tentang gadis ini. Aku menanyainya bagaimana mereka bertemu, tapi sejujurnya apa yang ingin kuketahui hanya alasan gadis itu berpaca ran dengan Jeremy. Apa yang pacarmu suka? Namun pertanyaan asli yang kupendam adalah kenapa dia mengejar adik kecillku yang pendiam dan lemah? Apa dia tinggal dekat sini? Pertanyaan itu artinya : di mana aku bisa bertemu dia dan membakar gadis itu kalau dia macam macam?
Jeremy kelihatannya sama sekali tidak menyadari tujuan asliku menginterogasinya. Dia menanggapi semua pertanyaanku dengan bebas dan terbuka. Aku mencatat semua jawabannya, diam diam bersumpah akan mematahkan leher gadis itu kalau dia membuat Jeremy menangis.
Sayangnya, aku kembali ke kampus sebelum aku sempat bertemu dengan kekasih hatinya. Aku memutuskan--dengan tidak ikhlas--takkan ikut campur tangan dalam hubungan romansa mereka dan memberi mereka kesempatan bersenang senang. Lagipula, dia adalah pacar pertamanya. Aku tak mau menghancurkan kesempatannya dengan membuat imej keluarga kami terlihat menyeramkan dan psikopat.
Beberapa bulan berjalan. Aku kembali beristirahat pada liburan musim panas dan menyadari bahwa Jeremy telah berunah menjadi dirinya yang lampau lagi:pendiam, tidak fokus, introvert. Saat kami berdua, aku segera membombardirnya dengan pertanyaan tentang pacarnya.
"Kami sudah putus." Dia sama sekali tidak terdengar sakit hati atau bahkan sedikit sedih. Dia bilang ada masalah dan aku kebingungan apa yang telah terjadi antara mereka. Aku menanyai ibu, tapi sialnya dia juga sama sekali tak tahu apa yang sudah terjadi dengan hubungan mereka : tiba tiba suatu hari Jeremy berhenti menyebut namanya, hanya itu yang kami tahu.
Sekarang, ada sesuatu yang tak beres. Saat aku dan pacar pertamaku putus, aku benar benar terpukul dan hancur. Jeremy terlalu menganggap ini enteng… apa yang telah terjadi? Apa dia malu untuk memberitahu kakak perempuannya?
Lantas, aku bertindak sangat jauh. Jeremy keluar untuk beberapa jam--dia punya gubuk kecil di tengah hutan di belakang halaman rumah kami dimana dia suka belajar dan membaca di situ. Dia meninggalkan ponselnya yang sedang di cad di dalam lacinya. Aku diam diam masuk ke dalam kamarnya dengan takut takut dan kemudian memutuskan untuk mengintip isi ponselnya sebentar.
Aku menemukan chatnya dengan Theresa dan membacanya dari awal. Sepertinya mereka bertemu di semacam forum internet dan kemudian mulai saling berchatting ria. Rumahnya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari sini, tapi ternyata mereka sudah berpacaran untuk berminggu minggu sebelum mereka akhirnya memutuskan untuk saling menemui dan bertatap muka.
Jujur saja, awalnya pesan pesannya normal. Mereka romantis dan agak terkesan alay, tapi sedikit kaku. Mereka mengirim beberapa pesan foto, tapi tidak ada yang jorok (untung saja). Riwayat pesannya berakhir dengan rencana mereka untuk bertemu saat 3 Mei sepulang sekolah. Pesan terakhir Jeremy terlampir: "Aku tak sabar untuk bertemu denganmu besok malam, i love you!
heart emotikon
"
Setelah itu, tak ada apa apa lagi.
Menurutku, ini agak janggal. Tak ada pesan lagi, dan ketika aku memeriksa riwayat panggilannya, juga tak ada panggilan lagi. Ada sesuatu yang bermasalah. Apakah ada yang salah malam itu? Tapi apa itu?
Frustasi, aku memilih untuk mengecek internet. Aku tahu nama lengkapnya dari pesan mereka jadi aku memutuskan untuk menggoogle nama pacarnya untuk menemukan akun Facebook, Twitter, atau profil lainnya.
Jantungku tiba tiba saja berhenti berdebam saat pencarian teratas adalah laporan orang hilang.
Aku membaca laporan itu dengan gemetar, jantungku berdegup sangat liar di dalam dadaku. Theresa Evans, umur 15, tidak pernah pulang sekolah setelah 3 Mei, dilaporkan menghilang tanggal 4 Mei, siapapun yang punya informasi terkait dengannya diharap segera menghubungi polisi…
Ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang benar benar salah. Pikiranku berpacu mencari kemungkinan. Apa mereka sudah diserang oleh para pembully? Apa Jeremy terlalu takut untuk menceritakan apa yang telah terjadi? Apa dia diancam?
Pintu utama dibanting saat Jeremy kembali ke rumah. Aku melempar ponselnya kembali ke dalam lacinya ( aku sudah menggenggam ponsel itu dengen gemetaran ) dan berlari dengan kilat ke bawah tangga, berusaha untuk bersikap biasa. Jeremy, yang seperti biasa hanya fokus pada dirinya sendiri, tidak menyadari gerak gerikku yang menghindarinya, atau luapan sungai keringat di dahiku.
Malam itu saat Jeremy sudah tidur, aku mulai menata rencana. Aku ingin jawaban, tapi di titik ini aku tak ingin menanyakan Jeremy secara langsung. Jadi bagaimana aku bisa mencari jawabannya? Gubuk kecil Jeremy yang di tengah hutan muncul di benakku. Dia mebghabiskan banyak waktu untuk membaca dan bersantai di sana. Aku tau di mana dia membangun kediaman kecil yag nyaman untuk dirinya sendiri. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa memberi titik terang pada kegilaan ini.
Saat ibu juga sudah terlelap, aku mengambil senter dan pergi ke hutan. Aku berputar berkali kali di hutan karena lupa cara ke situ. Sial, anak ini suka menyendiri. Kemudian aku menemukan bangunan kecil itu dan merasa kelegaan yang menjalar ke sekujur tubuhku. Aku tak tahu kenapa, tapi melihat gubuk itu membuatku berpikir semakin kukuh. Ini hanya sekedar mengecek saja, dan Jeremy hanyalah adik kecilku yang manis. Semua kekhawatiran aku tidak akan terbukti kan'?
Aku harap aku benar.
Sekonyong konyong saat aku semakin dekat ke pondok, ada bau yang mengusik penciumanku. Bau yang… tak pernah kuhirup sebelumnya, tapi aku langsung segera tahu aroma apa itu. Oh Tuhan, tidak. Aku berpacu ke dalam gubuk, meremas bajuku menutup di depan hidungku.
Mayat Theresa tergeletak bergenang di lantai. Jasadnya membusuk begitu parah di titik ini. Aku menutup hidungku sembari aku menatap mayatnya, mencoba untuk menahan dorongan mual yang teramat sangat. Pakaiannya sudah dirobek oleh sesuatu dan dia diletakkan di matras seolah sebuah kasur. Aku mendekat sedikit lagi dan duniaku terasa berputar tak terkendali.
Ada cairan… putih... antara paha dan dadanya. Itu… Tuhan… itu punya Jeremy…
Aku berlari sejauh yang kubisa dan aku kalah melawan mual ku. Aku muntah. Lagi dan lagi. Oh Tuhan, adik kecilku yang manis…
Aku menyelinap kembali ke kamar seperti bayangan dan merangkak ke kasur dengan gemetar tak karuan. Aku tahu, aku harus memanggil polisi. Mereka harus terlibat. Tapi adikku… tapi Jeremy…
Aku akhirnya bermalam di rumah temanku beberapa hari. Aku bertutur pada ibu kalau kami akan keluar kota untuk piknik, tapi sebenarnya aku hanya butuh waktu untuk menentukan apa yang harus kulakukan. Tentu saja, aku harus memberitahu polisi. Tapi… tapi apa aku tega melakukannya? Tolonglah, jangan adikku yang manis…
Aku kembali ke rumah kemarin dengan tenaga terkuras habis. Tempo aku menjejakkan kakiku ke balik pintu, aku mendengar suara halus Jeremy yang terdengar sedang senang. Dadaku berguncang naik turun saat aku beranjak ke dapur dan mendengar dia sedang berbincang dengan ibu.
Aku menatap keduanya dengan hati hati. "Hei Jeremy, ada apa?"
Dia menyeringai padaku dan berkata, "Coba tebak, kak! Aku punya pacar baru!"
Tamat
0 comments:
Post a Comment