Saat ibu melahirkanku dan mengetahui jenis kelaminku adalah laki-laki, dia terisak. Ayah menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan menjerit “Haruskah kubunuh dia agar keluarga kita selamat, lepas dari penderitaan?! Kita dikutuk! Kita dikutuk!” Kakak tertuaku menceritakan pada lima saudaraku yang lain akan seperti apa nasibku kelak. Bahwa aku ditakdirkan untuk menjadi Strigoi Mort.
Di Rumania, ada sebuah kepercayaan –sebuah takhayul- bahwa anak ketujuh yang berjenis kelamin sama dengan saudara lainnya, merupakan sosok terkutuk. Hidupnya akan berjalan normal, namun dia akan mati dalam umur yang sangat muda. Setelahnya, dia akan bangkit dari kematian dan kembali pada keluarganya. Dia akan melanjutkan hidup seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Namun, selama dia meneruskan hidup, tanpa disadari, dia akan menghisap sari kehidupan dari seluruh anggota keluarganya. Mereka akan semakin melemah, hingga kemudian kematian datang menjemput. Seperti itulah sosok Strigoi Mort ini.
Iosif, begitulah orangtuaku menamaiku, namun saat mereka tidak memperhatikan, para saudaraku akan memanggilku dengan sebutan ‘Dracul Blastemat’ – Si Iblis Terkutuk. Secara fisik, mereka tak pernah menyakiti, atau mengejekku secara terang-terangan. Namun mereka selalu menjaga jarak dan sangat jarang untuk berbicara langsung dengaku. Kedua orangtuaku sangat baik, namun mereka selalu tegang dan gugup saat berhadapan denganku; bukan takut, namun mereka terlihat sangat tidak nyaman. Mereka bertanya mengenai sekolah, memastikan rambutku rapi, dan mereka selalu merawat dengan sabar dan telaten kapanpun aku jatuh sakit. Aku ingat saat pada suatu malam, aku dan salah satu saudaraku sakit, muntah nyaris tanpa henti. Ibu, dengan telapak tangannya yang lembut, membelai rambutku.
“Tubuhnya luar biasa panas,” katanya pada ayah, “bersiaplah. Hanya untuk berjaga-jaga.”
Sepanjang malam, ayah duduk di sampingku; membacakan cerita yang ia selingi dengan memeriksa demam atau denyut nadiku. Aku ingat sosoknya yang jangkung, wajahnya yang dihiasi dengan kumis tebal, dan betapa redupnya cahaya lilin tak pernah menerangi kantong hitam yang menggelayut di bawah kedua matanya. Aku ingat tangannya yang kasar dan berbulu, serta aroma tembakau yang menguar saat dia membungkuk untuk menyentuh keningku. Aku juga ingat betul mengenai palu, paku dan pasak, serta kotak kayu mungil yang tergeletak di sampingnya malam itu. Saudaraku, Sorin, meninggal, sementara perhatian ayah, tak pernah lepas dariku.
Seiring berjalan waktu, aku menjadi anak yang suka menyibukkan diri dengan sekolah. Aku ingin menjadi dokter, sebab, di kota kecil yang kutinggali ini, keberadaannya masih sangat jarang. Aku bersumpah: jika memang aku dikutuk untuk menjadi sosok yang menyakiti orang lain sampai mereka meninggal, maka aku akan membantu mereka sekuat tenaga saat aku masih hidup. Saat kuutarakan niat ini, orangtuaku sangat bangga. Mereka membicarakan hal ini pada kakak tertuaku yang telah bekerja di pabrik setempat. Kakakku sepakat bahwa mereka harus menabung demi pendidikanku. Mereka mengacak rambutku dengan simpatik dan menjabat erat tanganku, mengatakan bahwa aku telah memilih jalan hidup yang tepat dengan kutukan yang melekat. Tak sekalipun mereka menatap mataku saat mengatakn hal itu. Pada minggu yang sama, kakakku yang lain, Nandru, terbunuh saat melerai sebuah perkelahian di sebuah bar.
Guruku melihat kerja kerasku di sekolah dan berkunjung ke rumah untuk berbicara pada kedua orangtuaku. “Iosif merupakan anak yang hebat,” kata mereka, “dia sangat berdedikasi dengan cita-citanya. Saat di sekolah, dia kerap melontarkan pertanyaan yang bahkan kami, tak tahu jawabannya. Kelak, jika dia lulus, kami ingin merekomendasikan agar dia melanjutkan belajar di Inggris. Kepala sekolah punya keluarga yang akan dengan senang menampungnya.”
Sungguh, aku sangat gembira mendengarnya. Namun, orangtuaku menolak dengan halus. Sambil menghisap pipanya, ayah memintaku pergi ke dapur untuk mengupas kentang untuk makan malam, sementara itu kedua orangtuaku berbincang dengan para guru. Tempat sampah kian penuh berisikan kulit kentang, sedangkan nada riang para guru kian berubah menjadi gumaman serius. Saat pulang, wali kelasku berhenti dan berbicara denganku. “Iosif, cita-citamu sungguh mulia. Akan kami pastikan kau mendapat pelajaran dari dokter setempat. Kau merupakan anak yang sangat cerdas, dank au akan membawa kebahagiaan pada kota kecil kita ini.”
Sedih becampur kecewa terasa seperti hujaman tombak pada dada. Orangtuaku mendekapku dan memohon maaf. Mereka mulai mengucapkan kalimat-kalimat yang tak kuasa mereka rampungkan. Ayah mengelus kepalaku dan memegang pundakku kemudian. “Kami akan belikan sesuatu yang berguna dari tabungan kakakmu. Ayahku merupakan salah satu pemain klarinet terbaik. Akan kami belikan sebuah klarinet untukmu, sehingga kau bisa memainkannya sampai mahir.”
Kakaku, Dumitru, merupakan pebisnis sukses. Saat itu, dia sedang dalam perjalanan ke Budapest guna menemui orangtua tunangannya. Dalam perjalanan pulang melewati pegunungan Carpathian, mereka tersapu longsor. Dia dikabarkan hilang selama beberapa hari. Setelah beberapa hari lewat, mereka menemukan mayatnya yang terjebak di bawah sebongkah batu besar; dia tewas kaelaparan. Aku memainkan klarinet di pemakamannya, sementara ayah menenangkan tangis hebat ibu.
Pada umur delapanbelas, aku tumbuh menjadi pria tampan dan kharismatik. Dokter lokal, Skender Anghelescu, menjadikanku anak didiknya dan mengajarkanku begitu banyak mengenai ilmu kedokteran. Kakak-kakaku yang masih tersisa bersikap lebih hangat, mereka kerap bergurai bahwa kelak, jika kematian menjemput dan aku berubah menjadi Strigoi Mort, maka tidak aka nada lagi anggota keluarga yang masih tersisa untuk bisa kukutuk. Mendengar gurauan tersebut, ayah hanya tersenyum simpul. Rambutnya kian menipis dan wajahnya terlihat semakin kurus sejak beberapa tahun terakhir. Batuknya semakin parah seiring bergantinya minggu. Aku memintanya agar pergi ke dokter untuk melakukan foto rontgen. Dokter Anghelescu meletakkan tangannya di pundakku saat kami melihat hasilnya. Aku tahu betul apa yang akan ia katakan. “Maaf sekali, tidak ada yang bisa kita perbuat lagi.”
Sebulan setelahnya, ayah meninggal karena kanker paru-paru. Klarinet kumainkan di pemakamannya. Diiringi nada-nada sedih yang keluar dari klarinet, ibu meletakkan rangkaian bunga di atas makam ayah.
Kematian ayah meninggalkan kabut muram dalam keluargaku. Kakak-kakakku kembali menjaga jarak, sementara ibu, dia menghabiskan banyak waktunya dengan duduk di kursi di depan jendela, matanya menerawang pada gunung-gunung yang berjajar di luar sana. Aku menjadi seorang residen di tempat praktek dokter Anghelescu, dan mulai menerima panggilan saat kecelakaan-kecelakaan kecil yang membutuhkan tindakan medis terjadi. Suatu hari, telepon berdering dan wajah dokter Anghelescu memucat saat mendengar suara dari seberang telepon. “Iosif,” katanya, “malapetaka amat buruk terjadi, dan kita diperlukan. Banyak yang terluka. Kita harus bergegas.”
Kami melompat ke dalam mobil dan berkendara melintas kota. Aku sudah bisa mengira malapetaka macam apa yang telah terjadi, namun hal itu tak mencegah datangnya rasa mual dalam perutku saat kemudian kami menepi di pabrik tempat kakaku bekerja. Aku berlari menemui seorang mandor yang tengah menekan kepalanya dengan selembar handuk berlumuran darah. “Di mana saudara-saudaraku?” jeritku.
“Mereka bekerja di barisan depan,” kata si mandor, “di sekitar sana.”
Aku berlari ke arah yang ia tunjukkan dan mulai membongkar puing-puing. Aku terus mengais hingga kemudian kurasakan sentuhan kulit yang basah dan lunak pada ujung jariku. Aku terus menggali dengan kalap, batu bata dan logam kulemparkan ke sembarang arah. Tangan kakaku, Cezar, mencuat dari balik reruntuhan. Kucengkeram tangannya dan mulai menarik. Kudengar dia menggeram, dan dalam beberapa saat, aku merasakan adanya harapan. Aku yakin dia akan hidup. Aku terus menariknya hingga kemudian kulihat wajahnya. Wajahnya luar biasa pucat, namun dia masih berkedip dan terus mengerang. Kakakku selamat! Aku menjerit bahagia dan terus menariknya sekuat tenaga. Tubuhnya akhirnya keluar, lolos, dari reruntuhan, namun hanya itu. Apa yang mengikuti tubuhnya hanyalah jejak darah. Tubuh kakakku terpotong menjadi dua. Kudekap tubuhnya yang masih tersisa, sementara darah terus ia muntahkan dari mulut. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya saat maut menjemput, matanya menatap awang-awang dengan sorot kosong. Kakak tertuaku, Decebal, tak pernah ditemukan. Klarinet kumainkan di pemakaman mereka. Cezar dikubur di sebelah ayah, dan sebuah tugu peringatan dibangun untu Decebal.
Kakak terakhirku, Liviu, mendekat dan berbicara padaku setelah acara pemakaman usai. “Iosif,” katanya tegang, “aku tak bisa lagi hidup di tempat ini. Aku melihat terlalu banyak anggota keluarga kita yang meninggal, aku harus meninggalkan semua penderitaan ini. Aku sudah memesan tiket kapal ke Amerika, dan aku takkan pulang. Saat kau masih hidup, berjanjilah untuk merawat ibu sampai dia meninggal. Nasib telah membuatmu terkurung di tempat ini, sebab kau telah ditakdirkan untuk menjadi Strigoi Mort, dan jika kau meninggal tanpa sepengetahuan kami, kau akan kembali ke sini dan membuat kami semua menderita. Namun, jika ibu telah meninggal kelak dan aku tak ada lagi di sini, kau bisa berkeliling dunia tanpa takut. Sebab, tak akan ada lagi yang tersisa di keluarga kita untuk kau sakiti. Aku tahu, kita kerap bergurau mengenai hal ini sebelumnya, namun kumohon saudaraku, tinggallah di sini sampai ibu meninggal.”
Dengan sedih, aku terpaksa meyetujuinya dan menjabat tangan kakakku. Malam itu, Liviu naik kereta menuju Bulgaria, di mana dari sana, dia akan melanjutkan perjalanan menuju Amerika menggunakan kapal. Sebulan kemudian, kami menerima kabar bahwa kapal yang ia tumpangi tenggelam di Laut Mediteran. Tak ada satu pun yang selamat.
Aku terus belajar mengenai pengobatan dan ilmu kedokteran pada dokter Anghelescu dan akhirnya, dia menjadikanku menjadi tenaga penuh di tempat prakteknya. Ibu menjadi layaknya seorang pertapa yang selalu mengurung diri di rumah. Belanjaan dan buku-buku kuantarkan padanya sementara kesehatannya semakin menurun. Suatu malam, dengan suara lemah, dia memintaku ke kamarnya. Dengan meletakkan tangan di pundakku, dia berbisik pelan, “Iosif, putraku, aku telah bersikap bodoh selama ini. Kami begitu percaya pada takhayul, begitu takut akan apa yang bakal kau perbuat pada kami setelah kau mati …, hal itu membuat kami tak menghargai keberadaanmu, kehidupanmu. Namun, lihat … apa yang malahan terjadi. Kami semualah yang pergi lebih dahulu, kau harus menanggung semua duka. Putraku, bukanlah kau yang terkutuk, kamilah yang terkutuk. Kami dikutuk oleh kebodohan, dan percaya pada ramalan yang keliru. Oh Iosif, maafkan kami. Maafkan kami semua.”
Ibu terus mengulangi kata-kata itu saat kesadarannya kian menghilang, dan aku terus menangis sambil menggenggam tangannya yang kian terasa dingin. Pada pemakamannya, nada-nada sedih keluar dari klarinet yang kumainkan. Ibu terlihat begitu kecil di dalam peti, terlihat begitu damai. Saat menutupnya, aku berbicara padanya untuk yang terakhir. “Tentu … tentu aku memaafkanmu, Mama. Tentu.”
Musim panas setelahnya, aku sedang bersiap-siap untuk menjelajah dunia ketika kemudian dokter Anghelescu menelepon. Seorang wanita pekerja datang ke tempat prakteknya, dan dia membutuhkanku dalam proses persalinan. Nampaknya bayi ini berada dalam posisi sungsang. Aku bergegas menuju klinik dan mengenakan pakaian bedah. Dokter Anghelescu menyambut dan kami mulai melakukan pembedahan cesar.
Saat bayi keluar dari rahim, aku merasa sangat mual. Bayi itu diam, tak bergerak atau bersuara sama sekali. Kuperiksa denyut nadinya sambil memanggil dokter Anghelescu. Dia mendorongku ke samping dan menekankan jarinya pada dada si bayi. Sambil menekan dada bayi dengan jeda teratur, dia menggumamkan doa. Setelah doa selesai ia ucapkan, laksana mukjizat, bayi itu mulai menendang-nendang dan menjerit. Dokter Anghlescu tersenyum dan membopong si bayi. Dia membawa bayi itu ke mesin incubator dan memasang alat bantu nafas. “Anak ini akan baik-baik saja,” katanya padaku. “Dulu, aku juga berdoa saat membantu kelahiranmu.”
“A-anda dokter yang melahirkanku?” tanyaku tak percaya.
“Oh, iya,” katanya sambil mengingat-ingat. “Tali pusar melilit lehermu saat lahir. Kau tak bernafas, tak ada denyut – kami pikir, kau meninggal saat itu. Aku langsung berusaha melakukan resusitasi padamu, dan saat tak ada hasil, aku mulai berdoa. Sungguh keajaiban; kau mulai menggeliat dan menjerit. Aku merasa seperti telah membangkitkanmu dari kematian. Sekarang, aku mesti menemui ibunya. Maukah kau pergi ke ruang tunggu dan bilang pada keluarga ini bahwa mereka punya seorang putri yang sangat cantik?”
Selama beberapa saat, aku tertegun dan merasakan darah seolah mengering di wajahku. Dengan pikiran kacau, pintu ruang tunggu kubuka pelan. Sang ayah duduk dengan gugup sambil meremas topi, sementara tangannya yang lain terus mengelus rambutnya yang pirang. Dia mendongak dan menatapku dengan sorot tajam lewat sepasang mata coklatnya, saat kukabarkan mengenai putrinya yang baru lahir.
Di sebelahnya, duduk enam gadis berrambut pirang dengan mata coklat bersorot tajam.