I Was a Part of Queen's Guard in England

Aku dulu tentara di angkatan bersenjata Inggris. Aku berangkat dua kali ke Irak dan sekali ke Afganistan. Ibuku tidak suka pekerjaanku, dan aku tidak menyalahkannya. Tapi, tahukah kau kalau hal terburuk dalam pekerjaanku tidak terjadi di tempat-tempat berbahaya itu? Hal paling menakutkan justru terjadi saat aku sedang di kota tempat tinggalku, London.

Setelah aku pulang dari Afganistan, angkatan bersenjata memberiku penghargaan. Nampaknya, tetap hidup saat bertempur melawan Taliban di pegunungan sudah cukup sebagai alasan untuk mendapat penghargaan. Mereka memberiku posisi sebagai salah satu personel Queen's Guard. Aku tak yakin sejauh mana kau tahu soal Queen's Guard, tapi di Inggris, hal itu cukup penting. Dan aku membencinya. Aku ditempatkan secara permanen di kota asalku, dan sebagai "penghargaan atas keberanian," aku harus berdiri di depan bangunan penting tanpa bergerak sementara turis-turis Asia menyebalkan mencoba membuatku tertawa. Aku ingin berhenti, tapi kehormatan yang kuperoleh dari posisiku, plus kebahagiaan ibuku karena aku tak lagi bertugas di tempat berbahaya, membuatku tak punya pilihan. Aku ditempatkan di pos Menara London, dan mendapat jadwal jaga beberapa shift dalam seminggu. Satu shift biasanya sekitar 2 sampai 3 jam, tergantung berapa banyak orang yang bertugas saat itu. Pekerjaanku dengan cepat menjadi membosankan. Banyak orang mabuk mencoba mengerjaiku, digabung dengan turis-turis menyebalkan yang mengira merekalah satu-satunya orang lucu yang bisa membuatku tertawa. Rasanya aku ingin kabur, tapi pekerjaan tetap pekerjaan, dan gajinya lumayan. Jadi, aku tidak berkomentar apa-apa dan terus bekerja.

Hari itu berlangsung sama membosankannya dengan hari biasanya. Ada beberapa pria Prancis brengsek mencoba mengerjaiku (mereka benar-benar brengsek, dan aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali kalau mereka mengancamku secara terbuka). Ada beberapa wanita Rusia mabuk menggodaku (oke, tidak terlalu buruk). Akan tetapi, cuacanya sangat panas, sampai-sampai topi tinggiku rasanya mau meleleh ke kepalaku. Serombongan besar turis kemudian tiba di dekatku, lengkap dengan pemandu. Mereka melakukan hal-hal standar yang biasa dilakukan turis saat berada di depanku: memotret, meledek dengan ekspresi kocak, bercanda, dan sebagainya. Mereka semua memakai kaos yang sama, tulisannya "Big Ben Tour" atau entah apa. Semuanya, kecuali satu orang.

Aku melihat wanita itu berdiri di belakang rombongan turis, dan hanya menatapku. Dia wanita yang lumayan cantik, usianya mungkin di awal 40-an, dengan rambut hitam panjang dan kulit sangat putih. Dia memang kelihatannya bagian dari rombongan turis tersebut; dia berdiri sangat dekat di belakang mereka. Setelah semua orang puas memotret (dan menyadari kalau aku tak akan tertawa), mereka akhirnya pindah tempat. Kecuali wanita itu. Dia terus berdiri di tempatnya dan menatapku. Aku sudah sering melihat orang-orang melakukan hal-hal aneh untuk menarik perhatianku, tapi yang ini baru. Wanita ini bukan hanya aneh, tapi benar-benar gigih. 2 jam dan seratusan turis kemudian, dia masih berdiri di tempatnya, dan terus menatapku. Hari itu semakin panas dan mustahil dia merasa nyaman berdiri di bawah terik matahari seperti itu, tapi dia nampaknya jauh lebih tenang dibanding aku. Dia tidak tersenyum atau apalah.

Sekitar 30 menit kemudian, ketika tempat itu mulai sepi, dia melangkahkan kakinya. Pelan-pelan. Satu langkah lagi, dan lagi.

"Ini dia," pikirku saat melihatnya makin mendekat.

Wanita itu berhenti hanya sekitar 2 kaki di depanku. Dia menatap langsung ke mataku, memiringkan kepalanya ke kiri, lantas ke kanan. Aku pikir dia bercanda, tapi ternyata tidak.

Dengan masih tetap berdiri di tempatnya, dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

Ada sesuatu yang salah dalam gerak-geriknya yang membuatku merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak memutuskan kontak mata denganku. Dia mencondongkan badan ke arahku tanpa memindahkan kakinya, sampai wajahnya berhenti sangat dekat di depan wajahku sehingga posisinya kelihatan sangat tidak alami. Kepalanya perlahan mulai bergetar, seolah ia masuk ke pancuran dan guyuran airnya sedingin es. 

Dan kemudian, dia membuatku sangat ketakutan.

Kau tahu, aku sudah pernah diteriaki orang tepat di depan wajahku. Aku pernah ditantang berkelahi oleh beberapa orang bodoh. Tapi, yang wanita ini lakukan jauh lebih buruk. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, sangat lebar seolah hendak melepaskan jeritan paling kencang di dunia, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada sama sekali. Wanita itu cuma berdiri di sana, badannya condong ke depan secara tidak alami, wajahnya hanya seinci dari wajahku, mata melotot, mulut terbuka lebar seolah sedang menjerit, dan kepalanya bergetar semakin cepat. Aku tak akan bohong padamu. Hari itu memang panas, tapi aku merinding dan rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berusaha mengendalikan diri dan menghadap ke kanan, berbaris menjauhinya (kami diijinkan berbaris sebanyak 10 langkah sesekali).

Ketika aku selesai melangkah sampai ke ujung gerbang satunya, aku berhenti dan menutup mataku. Aku hanya ingin wanita itu pergi saat aku balik badan. Saat aku berputar, aku membeku. Wanita itu sudah berada tepat di depanku, badan condong ke depan, mulut terbuka semakin lebar, kepalanya bergetar tak terkendali. Aku begitu terkejut sampai tak bisa bergerak. Aku bisa mengatasi candaan, teriakan dan sebagainya, tapi yang ini terus terang membuatku sangat ketakutan.

"Beri jalan untuk Pengawal Ratu!" Teriakku akhirnya (kami diijinkan melakukan ini kalau ada orang yang menghalangi langkah kami). Wanita itu tidak bergerak.

"BERI JALAN UNTUK PENGAWAL RATU!" Aku berteriak makin kencang, berharap suaraku tidak jadi serak.

Wanita itu sama sekali tidak peduli. Aku mulai marah, jadi aku mundur dan mengacungkan bayonet ke depannya. Itu langkah drastis yang biasa kami lakukan untuk orang-orang yang sangat mengganggu. Wanita itu seketika menutup mulutnya dan mundur ke posisi tegak. Aku tak mau menunggu dan melihat apalagi yang akan dilakukannya, jadi aku berbaris melewatinya dan kembali ke posku semula. Ketika aku berdiri di tempat semula, aku tak lagi melihat wanita itu, dan aku sangat lega. "Astaga, pekerjaan sialan ini," pikirku. "Mungkin sebaiknya aku...."

"10, 9, 8," seseorang mendadak berbisik di telinga kananku.

Wanita itu lagi. Dia berdiri tepat di belakangku.

"10, 9, 8, 10, 9, 8...." dia berbisik cepat, lantas melangkah ke depanku. "10, 9, 8..." kini dia berbisik makin cepat. Bukan berbisik sebenarnya; lebih mirip berteriak, tapi dengan nada berbisik, kalau itu mungkin. Aneh sekali. Dia mencondongkan badannya ke arahku lagi, membisikkan angka-angka itu semakin cepat.

Aku sudah hampir melanggar perintah untuk berjaga. Aku tak tahan lagi. Ada sesuatu yang sangat salah tentang wanita ini.

"Nyonya," aku mulai berkata dengan suara agak gemetar yang dikuat-kuatkan, "Nyonya, bisakah Anda...."

Dan mendadak, serombongan besar turis berjalan ke arah kami. Wanita itu mundur, namun masih memelototiku. Dia kembali berbisik "10, 9, 8," tanpa memutus kontak mata. Kemudian, dia melangkah menjauh perlahan-lahan, dan anehnya, menghilang di tengah kerumunan turis. Yang tertinggal hanyalah perasaan aneh dalam benakku. Serta rombongan turis yang menyelamatkanku. Belum pernah sebelumnya aku merasa sangat senang melihat turis-turis Jepang menjepretkan kamera berkali-kali di depanku.

Setelah shiftku selesai, aku pergi ke markas dan menceritakan kisahku pada beberapa rekan. Mereka semuanya sudah pernah mengalami beberapa kejadian dengan orang-orang menakitkan, tapi belum pernah yang seperti aku. Ketika komandan shift kami datang, rekan-rekanku dengan bercanda memberitahunya bahwa aku "diganggu" saat bekerja. Dia memintaku bercerita sambil tertawa. Akan tetapi, saat aku bercerita, senyumnya hilang.

"Oke, tunggu sebentar," ujarnya, "apakah kau sudah bicara dengan wanita itu?"

"Maaf, pak?"

"Apakah kau bicara dengan wanita itu? Ya atau tidak?"

Aku berpikir: aku tak mau kehilangan gaji hanya karena melanggar aturan konyol soal tidak boleh bicara, jadi aku berbohong. "Tentu saja tidak, pak."

Komandanku kelihatan sangat lega. "Bagus, bagus. Dan kalau wanita itu datang lagi, jangan pernah balas bicara, mengerti? Itu berlaku untuk kalian semua."

Suasana penuh canda di markas mendadak berubah; semuanya terdiam. Aku bingung, tapi aku juga capek, jadi aku memutuskan untuk pulang dan tidur saja.

Beberapa shiftku selanjutnya berlalu tanpa insiden, dan masih membosankan. Wanita itu tak terlihat dimanapun, dan aku segera melupakan insiden itu, terutama karena pacarku akan datang dari Belanda untuk menginap di rumahku.

Pada hari Selasa dini hari, sekitar pukul 3, aku terlonjak bangun oleh suara gedoran di pintu depan. Aku melihat ke samping; pacarku rupanya sudah datang dan masuk ke bawah selimut di sampingku, tertidur nyenyak sekali, jadi dengan masih setengah tertidur, aku tersaruk-saruk menuju pintu depan.

"Siapa?" tanyaku serak sambil mengintip lewat lubang intip pintu. Tapi di luar terlalu gelap dan aku tak melihat siapapun, dan ini membuatku tersadar. "Siapa?" Aku bertanya lagi, tapi tak ada jawaban, hanya suara gedoran yang makin kencang.

"Brengsek," ujarku sambil membuka pintu.

Ada sejuta hal yang kuduga akan kulihat di depan pintu, tapi bukan orang ini.

Pacarku.

Lalu aku tersadar.

Dia tidak berencana ke rumahku sendiri. Harusnya aku yang menjemputnya di bandara.

Kakiku lemas. Otakku serasa berkabut saat pikiranku berpacu, berusaha mencerna apa yang terjadi.

"Terima kasih sudah menjemputku, brengsek," ujar pacarku marah sambil menghempaskan tas tangannya ke lenganku. "Aku terbang jauh-jauh dari Amsterdam ke sini, dan kau lupa menjemputku? Yang benar saja."

Aku tidak mendengarnya. Aku masih ngantuk waktu bangun dari tempat tidur, tapi ya, ada orang di sampingku, dan aku tidak mimpi.

"Tunggu di sini," gumamku sambil menyerahkan kembali tas pacarku.

"Ada apa?"

"Tunggu saja di sini."

Aku tak tahu darimana aku mendapat keberanian untuk pergi ke kamarku, tapi toh aku melakukannya. Yah, aku tahu apa yang kau pikirkan. Di film-film, ada adegan aktor yang masuk ke kamar yang gelap, tapi kamarnya ternyata kosong, 'kan? Seandainya saja.

Ketika aku masuk ke kamarku, suasananya gelap. Tapi aku bisa mendengar suara napas. Napas yang berat. Gemetaran, aku memencet tombol saklar lampu.

"7, 6, 5, 7, 6, 5."

Suara bisikan itu datang dari pojok kamar. Wanita sialan itu. Dia berdiri tegak seolah dilem, dengan punggungnya menempel di dinding. Dia memelototiku.

"7, 6, 5," bisiknya saat dia mulai melangkah pelan ke arahku. Mulutnya terbuka sangat lebar, seolah melepaskan jeritan tak terdengar. Setiap kali kakinya melangkah, dia akan menutup mulutnya sedikit, cukup untuk sekedar mengucapkan "7, 6, 5."

Aku tak bisa bergerak. Wanita itu masih berjalan menghampiriku. Sungguh mengerikan. Aneh sekali; harusnya aku bisa saja merobohkannya, 'kan? Aku sudah siap melakukannya. Tapi rasa takut ini adalah sesuatu yang sangat aneh sekali. Tahu maksudku? Aku tahu dia tak melukaiku secara fisik, namun aku masih ketakutan. Apalagi, aku sempat tidur di sebelahnya.

Dia semakin dekat. Aku ingat posisi tubuh yang condong itu. Wajah hanya seinci dari wajahku. Napasku tersengal-sengal.

"7, 6, 5..."

"APA ITU!?" Mendadak kudengar seseorang berteriak. Pacarku.

Aku tersadar, berbalik, dan menggenggam lengan pacarku. "Lari!" Teriakku, dan kami pun kabur. Kami lari ke dapur dimana aku meraih sebilah pisau. Pacarku menangis diam-diam di sampingku, tak bisa berbicara. Lalu, aku mendengar langkah kaki.

Pertama, aku melihat bayangannya. Lalu aku melihatnya berjalan pelan di lorong. Mulutnya masih terbuka dalam pose tidak alami, dan dia tidak lagi melihatku. Matanya terarah ke langit-langit saat dia perlahan tersaruk-saruk menuju pintu. Kepalanya masih bergetar. 

Menakutkan sekali. Bayangkan saja; wanita itu menghantuiku minggu lalu, dan sekarang muncul di rumahku pukul 3 pagi, dan aku sempat tidur di sebelahnya selama entah berapa lama. Ketika dia akhirnya pergi, aku berlari ke pintu dan membantingnya sampai menutup. Pacarku masih ketakutan. Dia bersamaku. Dia melihat wanita mengerikan itu sekali saja, dan dia langsung tahu ada yang salah. Aku ketakutan, tapi aku tak mau memperlihatkannya pada pacarku. 

Bagian paling menakutkan dari semua ini adalah fakta bahwa pekerjaanku mengharuskanku berdiam diri dan tidak bereaksi pada sekelilingku. Aku menceritakan semuanya soal wanita aneh itu pada pacarku, tapi tidak soal bisikan "10, 9, 8, 7, 6, 5," itu. Aku tak mau menakutinya lebih jauh.

Karena, apa lagi itu kalau bukan hitungan mundur?


Tamat

1 comments:

  1. Daftarkan Diri Anda Sekarang Juga Di www.bolacasino88.com Agen Judi Online Terpercaya Di Asia.

    Pelayanan Yang Professional Dan Ramah
    Di Jamin 100% Tidak Adanya BOT Dan ADMIN.

    - Minimal Deposit 20.000
    - Minimal Withdraw 50.000

    Dapatkan Hot Promo Kami Seperti :

    - Bonus Refferal Seumur Hidup
    - Bonus Sportsbook 100%
    - Cashback Sportbook 5% - 15%
    - Bonus Deposit Games 10%
    - Cashback Games 5%
    - Bonus Komisi Casino 0,8%

    NB : Syarat Dan Ketentuan Berlaku

    Nikmati 7 Permainan Dalam 1 Web Seperti:

    - Sports
    - Live Casino
    - Togel
    - Poker
    - Slot Games
    - Nomor
    - Financial

    Untuk Informasi Lebih Lengkap Silahkan Hubungi Customer Service Kami :

    - Live Chat 24 Jam Online
    - No Tlp ( +855962671826 )
    - BBM ( 2BF2F87E )
    - Yahoo ( cs_bolacasino88 )
    - Skype ( bola casino88 )
    - Facebook ( bolacasino88 Official )

    Hot News :

    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/masi-ingat-aksi-walk-out-persib-vs.html
    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/saat-laga-melawan-feyenoord-pep.html
    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/pertandingan-lawan-guyana-sekaligus.html

    ReplyDelete

 
Top