Story Behind The Village

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang disekitarnya terdapat pohon alang alang yang sangat lebat. 



Bukan, jelas aku bukan berada di kota. Aku pergi ke sebuah rumah kakekku yang berada di desa terpencil didaerah Texas. 

Tidak biasanya aku mau pergi ke sebuah desa atau tempat yang seperti ini, tapi aku ingin menanyakan sesuatu kepada kakekku tentang desa yang ditinggalkannya ini.

Kenapa? 

Well, aku membaca sebuah artikel di Reddit yang berisikan beberapa foto banyak sekali tumbal— atau manusia yang sedang dijadikan persembahan untuk para warga disana, puluhan tahun lalu. Dan lokasinya adalah desa yang ditempati kakekku sekarang. Anehnya, kakekku bukan warga asli didesa sana, tetapi ia nekad untuk tinggal disana. Karna alam pedesaan yang sangat kentara— indah kalau bisa dibilang. 

Aku memasuki rumahnya yang berpondasikan kayu jati. Kesannya seperti 'jadul', deh. Aku melihat sekitaran sini, memang alam pedesaan sangat enak dipandang disini meskipun tempatnya terpencil. Aku mengetuk pintu kayu itu, lalu kakekku membukakannya. 

"James? Tumben sekali.." sapanya pertama kali ketika ia membuka pintu tersebut. Terlihat dari wajahnya yang senang ketika cucunya menemuinya sekarang. 

"Ya.. aku ingin kesini saja. Aku kira kau sudah pergi jauh ternyata, tempat ini bagus juga, ya.." balasku. Kakekku mempersilahkanku masuk, aku duduk di sofa empuknya itu yang berbahan kulit. cukup halus, dan sedikit licin. 

"Kau mau apa? Kopi? Teh?" 

"Tidak usah repot repot, kek. Air putih saja." 

Kakekku lalu pergi ke arah dapur, aku hanya duduk diam disini. Sesekali aku memandangi sekitaran isi rumahnya. Interiornya cukup bagus, nuansa pedesaan juga terasa. Terdapat patung kepala rusa yang tergantung di dinding rumahnya, unik. Ternyata kakekku juga pandai berburu. Aku memijakkan kakiku di sebuah karpet bulu harimau dengan kepala harimau yang khas itu.

Lalu, ia kembali ke ruang tamu, membawa segelas air dan menaruhnya di meja. Ia lalu duduk di kursi goyangnya. Akupun memulai pembicaraan. 

"Kek, aku ingin bertanya kepadamu soal..." aku sedikit terbata, karena aku sedikit takut untuk menanyakannya kepada kakekku soal desa ini. 

"Soal apa, James? Aku? Aku baik baik saja disini. Aku sehat. Meskipun tidak ada makanan, aku mempunyai beberapa "barang" agar aku bisa hidup, hahaha" ia sempat sempatnya bersenda gurau disaat aku gugup seperti ini. 

"Bukan, bukan itu. Aku ingin menanyakan asal usul desa ini seperti apa.." dan, aku langsung menanyakannya. 

"Oh- begitu rupanya.." tatapannya kian berubah menjadi serius. Ia menyenderkan badannya di kursi itu sambil menggoyangkannya.

" Mungkin kamu tahu dari internet atau sumber manapun tentang desa ini, bukan? Well, itu memang benar adanya..." 

Deg-! Seketika jantungku berdebar dengan cepat. Yang selama aku baca di internet ternyata itu benar. 

"Jadi, desa ini adalah desa yang mengerikan? Lalu kenapa kakek mau tinggal disini??" tanyaku lagi. 
"Aku belum selesai.. Biar kakek jelaskan lebih detail tentang desa ini.."

"Jadi, desa ini dibangun oleh pendeta St. Charles, pendeta yang sangat dicintai oleh warganya pada tahun 1977 karena imigran dari Afrika yang tidak mempunyai tempat tinggal, jadi ia bangun desa ini untuk mereka. Beberapa tahun kemudian, St. Charles sekarat dan memberi sebuah pesan kepada semua warganya untuk memberikannya makan untuk terakhir kalinya. Tetapi, desa itu tidak mempunyai ternak hewan atau tanaman tumbuhan sama sekali. Salah satu warganya ternyata mengikuti sekte sesat yang dimana mereka memakan daging manusia atau kanibal. Warga ini menyarankan salah satu diantara mereka harus bisa dijadikan tumbal untuk makanan sang pendeta tanpa harus pendeta tau. Maka, terjadilah bentrok dan ricuh. Mereka saling membunuh satu sama lain karena tidak satu pemikiran. Akhirnya warga yang selamat hanyalah sang kanibal ini. Ia membawakan beberapa makanan kepada pendeta yang ia masak dan olah dari daging manusia. Sampai pendeta itu meninggal, sang warga kanibal ini hidup sendiri dan menetap didesa sana. Tidak tahu sampai kapan."

Panjang lebar ia jelaskan asal usul desa yang ia tinggalkan ini. Bulu kudukku seketika merinding tidak keruan. 

"Apa.. ia mati? dan seperti apa sekte yang ia ikuti itu?" Aku bertanya lagi kepada kakekku itu. 

"Sekte itu dilambangkan dengan.." ia memberi jeda pada perkataannya. 

"Kepala rusa." 

DEG-! 

Mataku terbelakak. Aku meneguk liur, keringatku mengucur dengan deras. Aku tidak kuasa untuk bangun dari sofa ini. Sepeti ada yang menarik badanku untuk tetap disini. 

Aku memandang kearahnya,dan ia menyeringai kepadaku.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top