Daycare

Aku bekerja di sebuah tempat penitipan anak yang cukup bagus di tengah kota, tapi aku tak akan menyebutkan namanya (karena aku tak seharusnya menyebarkan segala sesuatu tentang pekerjaan kami yang menyangkut identitas anak-anak di sini). Pelanggan kami kebanyakan adalah kaum profesional; para orangtua yang bekerja di bidang bisnis dan IT atau semacamnya. Kami sudah terbiasa melihat ayah atau ibu berpakaian kantor nan rapi dengan cangkir Starbucks di tangan dan anak mereka di tangan lain masuk dengan terburu-buru. Tempat penitipan anak kami sangat laris terutama bagi orangtua yang punya anak bayi.

Lucy C. adalah bayi favoritku di tempat kerja. Kami semua bukan orangtua anak-anak ini, jadi kami tak merasa bersalah karena punya "anak favorit." Kalau kau harus bekerja dengan bayi-bayi yang sering menangis atau menjerit ribut sepanjang hari, kau akan otomatis suka pada yang paling pendiam. Lucy bisa dibilang bayi yang sempurna. Dia jarang menangis kecuali kalau popoknya kotor, dan selalu tidur tepat waktu. Dia punya rambut jagung tipis yang lembut, yang semakin menonjolkan mata birunya.

Ayah Lucy, Mr. C., adalah seorang pebisnis sukses, kurasa ia punya usaha sendiri di bidang internet startup. Dia selalu berpakaian rapi, dan teman-temanku bilang kalau baju-bajunya selalu dari merk yang hanya pernah kubaca di majalah mode terbaru. Dia kelihatannya baik, tapi selalu kelihatan terburu-buru. Ada nama Abigail di daftar kontak darurat seandainya ayah Lucy tak bisa dihubungi, tetapi Abigail bukan istrinya, melainkan saudarinya. Teman-temanku banyak yang naksir dia, terutama karena dia selalu mengemudikan mobil sport mewah. Kami tahu bahwa lingkungan pekerjaannya sangat kompetitif, dan banyak pebisnis muda yang gagal dalam sekejap. Mr. C., sebaliknya, sudah mendapat penghargaan Wiraswastawan Muda Sukses dan macam-macam lagi. Semua orang bertanya-tanya apa yang membuatnya sukses besar, padahal latar belakangnya sama sekali tak istimewa.
Pagi itu, aku tak melihat ada yang aneh pada ayah Lucy. Ia tersenyum, menyapa kami, menyerahkan Lucy, dan meminta kami menjaganya, seperti biasa. Setelah makan siang, waktunya anak-anak tidur, tapi aku kemudian mendengar suara dentingan lonceng yang menandakan ada orang masuk. Karena tidak ada jadwal penjemputan di siang itu, kupikir ini hanyalah tamu biasa yang ingin bertanya-tanya. Tamu itu mengenakan jas dan kemeja mahal. Dia sangat tampan sampai napasku sedikit tercekat saat melihatnya. Bukan tampan seperti mantan teman SMA yang pernah kau taksir atau semacamnya; dia benar-benar nampak seolah baru melompat keluar dari majalah mode. Ketika dia tersenyum, lututku rasanya lemas, tapi anehnya, aku juga merasa...kotor. Jenis perasaan kotor yang susah untuk dihapus dari ingatan, seperti ketika aku masuk ke kamar abangku dan tak sengaja melihatnya masturbasi di depan tayangan video porno.

Ia kemudian bicara, dengan suara lembut dan dalam: "Mr. C dan aku sudah punya janji; aku yang akan menjemput Lucy hari ini."

Aku melongo selama beberapa saat, tapi dia hanya berdiri di sana dengan sorot mata berbinar. Kami sudah biasa dengan penjemput yang bukan orangtua si anak, tapi itu biasanya sudah diatur dengan perjanjian sebelumnya. Mr. C. tak pernah berpesan bahwa bukan dia yang akan menjemput Lucy hari itu. Aku bilang pada pria itu bahwa kami tak menerima penjemputan yang tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu. Dia nampak terdiam sejenak, lalu mendadak tersenyum dan berkata bahwa semua sudah diatur. Tangannya menunjuk ke arah ponselku di meja, dan mendadak benda sialan itu berdering. Aku terlonjak; pria itu benar-benar membuatku gugup.
Dari Mr. C. Ini aneh, karena aku tidak pernah memberi nomor telepon pribadiku pada Mr. C., begitu juga sebaliknya. Aku menerima telepon itu, sebuah panggilan video. Mr. C nampak aneh di video tersebut; gerakan mulutnya nampak tak sesuai dengan suaranya, dan gambar videonya bergoyang-goyang seperti film lama berkualitas buruk.
"Hei, ada tamu di tempatmu, 'kan?" Tanya Mr. C. Ketika dia bicara, aku melihat sebuah tanda di pipinya, tetapi aku tak bisa menerka bentuknya karena videonya kabur. Aku yakin aku tak pernah melihat tanda itu di pipinya saat dia datang pagi hari. Bentuknya aneh, dengan sudut-sudut tajam, dan ukurannya sebesar uang logam 25 sen.

"Ya, benar, pak," ujarku.

"Tolong berikan Lucy padanya, kau dengar? Berikan saja Lucy." Nadanya terdengar terlalu lugas. Aku memandang bibirnya yang bergerak-gerak. Ada yang aneh dengan gerakan bibir itu, seolah hanya mengulangi kata-kata yang sama terus-menerus.

"Baiklah, pak. Apakah ada masalah?" Dan gerakan aneh bibir itu muncul lagi. Sepertinya dia mengucapkan dua kata.

"Tidak, tidak ada masalah. Berikan saja Lucy." Saat itulah, aku melihat gerakan membuka bibirnya; bukaan kecil yang disusul dengan gerakan lidah yang sedikit digulung, keduanya diulang terus-menerus.

Aku mendongak menatap pria itu, yang masih tersenyum. "Aku akan ambil Lucy, pak," kataku. Saat aku berjalan ke tempat tidur para bayi, aku akhirnya menyadari apa yang dikatakan Mr. C. berulang-ulang.

S.L. 'Save Lucy.' Selamatkan Lucy. Aku bingung sekali. Aku berdiri di atas boks Lucy, mengulang-ulang kata-kata itu dalam hati. Aku kemudian mengangkat Lucy, yang membuat bunyi menggelegak kecil ketika tubuhnya kuangkat. Benakku bertanya-tanya. Apakah ada kejadian darurat?

Pria itu tersenyum lebar ketika aku menghampirinya, dan aku mencium samar-samar bau asap. Kupikir aneh sekali kalau dia perokok, melihat giginya yang putih bersih dan fisiknya yang nampak sehat. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil Lucy, tapi aku menolak. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau orang yang dimaksud Mr. C? Kau bisa jadi orang lain," tukasku, bertekad tidak akan memberikan Lucy begitu saja.

"Oh, Mr. C. dan aku sudah kenal lama sekali. Kau bisa bilang kalau aku semacam orangtua baptisnya," ujarnya, dan kulihat sudut-sudut bibirnya menekuk sedikit ketika mengucapkan kata itu, seolah ada rasa kecut yang mendadak muncul di mulutnya. "Aku sudah memerhatikan Lucy sejak ia lahir. Kalau kau tidak percaya, ada tanda lahir di pinggang kirinya, coba saja kau periksa."

Dalam hati, aku merasa menang. Tidak ada tanda lahir di pinggang Lucy! Aku mendudukkan Lucy di meja konter dan menurunkan pinggiran popoknya sedikit, dan ternganga. Ada tanda merah di pinggang kirinya. Tanda itu nampak seperti yang tadi kulihat di pipi Mr. C. Bentuknya kecil dengan sudut-sudut tajam, seperti sesuatu yang akan kau lihat di novel fantasi.

"Kau kelihatannya ragu-ragu, nona muda. Aku bisa jamin bahwa kau tak akan kena masalah; urusanku hanyalah dengan Mr. C. dan Lucy." Pria itu menyandarkan sikunya ke meja konter dan membungkuk sedikit ke arahku. Aku menggendong Lucy lagi.

"Aku harus bicara dengan atasanku," ujarku, masih keras kepala.

Pria itu mendesah dan menegakkan tubuhnya. "Aku sangat berharap urusan ini cepat selesai. Tapi baiklah. Kalau kau tak bisa menolongku, mungkin ada orang lain yang bisa." Saat itu, bau asap tercium semakin kuat. Aku langsung balik badan dan memanggil atasanku, Jane. Namun ketika kami berdua kembali ke konter depan, pria itu sudah hilang, hanya menyisakan sisa-sisa bau asap dan jejak dingin membeku di permukaan konter, tempat sikunya barusan berada.

Aku sengaja tidak menceritakan semua detailnya pada Jane, hanya bilang bahwa tadi ada pria yang hendak membawa Lucy tanpa ijin ayahnya. Jane kemudian mencari nomor telepon Mr. C. di filenya dan memutarnya. Sesaat kemudian, kulihat ia pucat dan ternganga. "Anda pasti salah," ujarnya di telepon. Setelah beberapa lama, ia menutup teleponnya dan menoleh ke arahku. "Tadi itu polisi. Mr. C. sudah meninggal. Tadi pagi, setelah mengantar Lucy, ia langsung menuju kantornya dan menembak kepalanya sendiri di ruangannya."

Aku shock. Sekujur tubuhku bergetar. Aku melihat daftar panggilan masuk di ponselku. Panggilan video dari Mr. C. masuk pada pukul 3.35 sore. Aku menjatuhkan ponselku ke lantai.

Jane bertindak cepat. Ia langsung menelepon Abigail, saudari Mr. C., untuk menjemput Lucy. Kata Abigail, ia akan terbang dengan penerbangan pertama untuk menjemput Lucy. Jane kemudian menawariku uang lembur untuk menginap bersama Lucy di tempat penitipan sampai Abigail tiba. Masuk akal, mengingat akan lebih baik menjaga Lucy di tempat yang familiar baginya daripada membawanya dan menggotong-gotong semua barangnya ke rumahku yang masih asing baginya.

Para anak mulai dijemput orangtua mereka. Satu-persatu semua staf mengucapkan selamat malam, sampai akhirnya hanya aku dan Lucy yang tinggal. Makan malamku hanya makanan beku dalam kulkas yang dipanaskan di microwave kantor. Aku tidak bisa menghapus firasat buruk, jenis yang membuat bulu kudukmu berdiri walau kau tidak tahu apa yang terjadi. Lucy tidur dengan cepat, tapi aku tak bisa tidur. Tapi tiba-tiba saja, ia menangis di tengah malam. Aku lari ke boksnya untuk mengecek popoknya, tapi kemudian aku terdiam. Di sprei putihnya, aku melihat bekas seolah ada tangan yang menekan bagian itu. Ketika kusentuh, rasanya sangat dingin.

Aku memeluk Lucy erat-erat, dan nyaris menjerit ketika ponselku berdering di kamar sebelah. Aku menghampirinya dan melihat siapa yang menelepon. Mr. C. Aku susah payah menekan-nekan tombolnya untuk mematikannya. Setelah membanting ponselku ke meja, aku menatapnya dengan napas tersengal-sengal. Aku melirik jam. Baru jam 3 pagi. Masih 3 jam lagi sampai langit di luar mulai terang. Benar-benar 3 jam terlama dalam hidupku, apalagi dinding-dinding warna pastel itu rasanya seperti memerangkapku.

Aku nyaris terlonjak ketika ada yang mengetuk pintu kaca di bagian depan kantor. Aku melihat seorang wanita tinggi dan kurus, mengenakan pakaian berkabung dengan topi hitam. Hari itu berangin, dan rambut sebahunya berkibar-kibar di bawah topinya. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Abigail C., saudari Mr. C. Melihatku ragu-ragu, ia segera mengeluarkan SIM-nya serta ponselnya, menunjukkan rekaman panggilan telepon dengan tempat penitipan anak kemarin sore. Lucy pun tidak mengeluh ketika aku menyerahkannya ke gendongan wanita itu.
Aku menyiapkan formulir yang dibutuhkan, dan dia mengisinya dengan sigap. Ketika dia mendekat, aku melihat sesuatu yang aneh. Bagian bawah matanya nampak hitam karena kurang tidur, tapi tidak ada jejak-jejak air mata atau kesedihan. Aneh, pikirku, padahal saudarnya baru meninggal karena bunuh diri. Dia tersenyum, mendorong formulir yang sudah diisi ke arahku, lalu berbalik dan pergi. Ada sesuatu yang aneh dengannya.

Mendadak, aku teringat kata-kata pria asing itu.

"Kalau kau tak bisa menolongku, mungkin ada orang lain yang bisa."

Pintu kaca mendadak membanting menutup, dan ketika aku mendongak, kulihat rambut wanita itu berkibar karena hembusan angin, dan ada tanda kecil berwarna merah dengan ujung-ujung runcing di bagian belakang lehernya yang putih.

Ketika aku berlari dari balik konter ke arah pintu, mereka sudah menghilang.

Sampai sekarang, aku masih bertanya-tanya persetujuan macam apa yang terjadi antara Mr. C. dan pria asing itu, dan bagaimana Lucy bisa terlibat di dalamnya. Aku berharap Lucy baik-baik saja, dimanapun dia berada. Sekarang, aku terus berusaha hidup normal dengan meyakinkan diriku semuanya baik-baik saja. Padahal, dalam hatiku, aku masih terus berusaha menghilangkan kenanganku akan pria misterius itu, dan berdoa semoga dia tidak mengingatku.

Tamat

1 comments:

  1. gw coba pelan-pelan ye,,petunjuk yg gw dapet dari cerita ini adalah:

    1."saat aku berjalan ke tempat tidur para bayi, aku akhirnya menyadari apa yang dikatakan Mr. C. berulang-ulang.

    S.L. 'Save Lucy.' Selamatkan Lucy"

    2.Pria asing itu bilang "Aku sangat berharap urusan ini cepat selesai. Tapi baiklah. Kalau kau tak bisa menolongku, mungkin ada orang lain yang bisa."
    3. "Dia memperkenalkan dirinya sebagai Abigail C., saudari Mr. C."

    yang jadi pertanyaan kan persetujuan/perjanjian opa antara pria asing sama Mr.c itu dan kenapa sampai bayi lucy terlibat

    klo dirunut mungkin ini ada kaitan dengan pekerjaan ayah lucy sebagai seorang pebisnis,dan bukan tidak mungkin ini ada hubungan dengan pembagian warisan dan bisa jadi pria misterius ini adalah pengacara yang disewa perusahaan dan kalau dilihat dari motifnya ini jelas konspirasi pembunuhan tingkat tinggi dan mungkin dilakukan oleh orang terdekatnya motifnya itu harta karena apabila si Mr.C mati otomatis hartanya jatuh ketangan anaknya tapi berhubung anaknya masih dibawah umur otomatis hak perwarisan jatuh kepada saudara dari MR.C tersebut yaitu si abigail..yang jadi pertanyaan gw apakah pelakunya ini adalah si pria asing itu yg juga pengacara dan dia juga bekerjasama dengan abigail saudari MC..apakah selain motif harta baik berupa warisan dan pembagian saham perusahaan ada motif lainnya seperti dendam atau apa,,biarin yg lain aja yg jawab karena gw bukan tim forensik apalagi detektif,,:D

    ReplyDelete

 
Top