Reincarnation

1897
Aku gadis 11 tahun yang belum memahami apa-apa ketika kapal-kapal besar itu berlabuh di laut kami. Mereka orang-orang asing yang garang. Mereka mengatakan kami masih mirip dengan sekumpulan kera dibanding dengan mereka yang mengaku bermartabat. Namun perilaku mereka sama sekali tak seperti manusia. Mereka menjajah tempat tinggal kami.

Salah satu dari mereka menembaki ayahku yang mencoba berlari ke rumah. Mereka membawa ibu dan kakak perempuanku. Lalu menggembok rumah kami. Dan meninggalkan aku hanya berdua dengan adikku.

Berhari-hari kami sungguh kelaparan. Adikku terus saja menangis dengan berisik. Aku benar-benar tak tahan. Berkali-kali aku memanggil orang-orang yang lewat di dekat rumah kami, namun tak ada yang berani mendekat maupun menolong kami. Lama-lama aku sungguh tak tahan dengan laparku. Jadi aku mengambil dandang batu dari dapur. Adikku terus menangis, maka aku membuatnya diam, kemudian membawanya ke dapur. Aku takkan lapar lagi.
.
.
1937
Aku tinggal hanya berdua dengan kakak perempuanku. Hidup kami sungguh sederhana. Kami mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke orang-orang di desa kami. Keberadaan kami nyaris terhiraukan. Saat itu usiaku 12 tahun ketika terjadi huru-hara di pusat kota. Desasdesus mengatakan, pemerintah pusat mengadakan Pembasmian Praktek Ilmu Sihir dari kota. Beberapa orang yang diduga mempelajari ilmu sihir akan dihukum seberat-beratnya. Mereka akan diikat dan diarak berkeliling desa-desa. Mereka dicambuki hingga sampai ke tempat eksekusi. Beberapa dari mereka berakhir di dalam karung yang dihanyutkan ke sungai. Ditindih dengan batu besar. Atau didorong dari atas tebing. Dan yang paling sering adalah membakar mereka hiduphidup. Kegilaan itu hampir dilupakan saat usiaku hampir 13 tahun. Huru-hara dan eksekusi nyaris tak pernah dilakukana lagi. Aku dan kakak lebih menyukai suasana tenang dan damai. Kami bersyukur karena tak akan ada lagi suara jeritan sepanjang jalanan desa yang terdengar begitu memilukan. Kami berpikir hidup kami akan setenang dulu. Namun, rupanya kami salah. Sore hari saat kami pulang dari mencari kayu bakar, kami mendapati rumah kami hangus terbakar. Nyaris rata dengan tanah. Gosong, dan asap mengepul ke langit sore. Kakakku berteriak pada serombongan orang-orang yang membawa obor di sekitar rumah kami. Tetapi mereka justru menyerang kakakku. Mereka mengatakan bahwa dua saudari penyihir telah kembali dari hutan mereka. 

Aku berlari menghampiri kakakku dan mengatakan bahwa mereka telah salah paham. Namun tak ada yang mendengarku. Mereka merebut kayu bakar dari tanganku. Kemudian menyeret kami berdua menuju jalanan desa. Aku melihat kakakku menangis dan memohon ketika salah seorang rombongan mengeluarkan sebuah cambuk. Perih. Sangat perih. Mereka menarik rambut kepala kami hingga rontok.

Aku tak sanggup melihat kakakku, mereka mencambuk kakinya hingga berdarah. Hingga kulihat kulitnya robek dan kuku kakinya terlepas. Namun mereka tetap memaksanya terus berjalan. Aku memohon agar mereka mencambukku saja. Tempat eksekusi tampak di hadapan kami. Orang-orang mulai memungut batu dan menghujam kami. Aku berusaha melindungi kakakku. Namun aku sendiri Sekarat. Aku ambruk ke tanah dan tak bisa bangun lagi. Dentang lonceng berbunyi sebelum aku hilang kesadaran.
.
.
1976
Hari ulang tahunku bertepatan dengan Hari Natal. Tengah malam nanti aku akan berumur 13 tahun. Keluargaku selalu memberi kejutan tiap kali aku berulang tahun. Biasanya mereka akan membangunkanku tepat tengah malam dengan mengenakan pakaian serba merah-hijau serta kue tart penuh lilin yang menyala. Kemudian kami akan berkumpul di ruang keluarga dan merayakannya. Mereka akan bernyanyi dan memenuhi kursiku dengan hadiah-hadiah. Tepat pukul satu, kami akan berdoa bersama. Ibu selalu memimpin doa untuk kami.

Aku tidur pukul sepuluh. Jane, Kakak perempuanku yang memakai kursi roda sejak kecil menyuruhku untuk tidak terlalu memikirkan kejutan yang akan mereka berikan padaku tengah malam nanti. Tapi aku tak bisa, tentu saja. Aku terlalu bersemangat. Jadi aku diam-diam menyetel alarmku tepat satu menit sebelum tengah malam. Kemudian berusaha tidur.

Alarmku berbunyi nyaring. Membuatku segera membuka mata dan bergegas bangun. Aku menoleh pada pintu kamarku. Dari celah di bawah pintu aku bisa melihat lampu di ruang sebelah menyala. Keluargaku akan segera masuk. Apa aku harus pura-pura tidur? Entahlah, yang jelas aku menunggu agak lama. Jam dinding berdetak seiring degup jantungku yang berpacu. Cukup lama. Aku melirik jam dinding. Tengah malam sudah lewat 15 menit. Apa mereka belum selesai menyiapkan pestanya? Padahal aku benar-benar sudah tak sabar. Namun waktu berlalu dan 15 menit berikutnya terlewatkan. Mereka terlambat setengah jam. Apakah mereka bersenang-senang tanpaku? Aku mulai kecewa, jadi aku turun dari ranjangku untuk mengecek. Aku membuka pintu sedikit dan berniat untuk mengintip, tepat ketika sekelebat bayangan melewati depan pintu kamarku. Sosok itu memakai kostum santa. Aku berpikir mungkin itu ayah. Tetapi ayah hanya lewat, lantas berlalu menuju ruang tengah. Mereka benar-benar memulainya tanpa aku. Aku benar-benar kesal. Jadi cepat-cepat aku keluar dari kamarku, menuju ruang tengah. Aku hampir saja meneriakkan protesku, ketika di saat yang sama pemandangan
mengerikan itu tertangkap mataku. Darah membanjiri lantai, kado-kado natal berserakan. Ibuku terbaring penuh lumuran darah di samping koridor. Ada kue tart besar tumpah di sampingnya. Ayahku merosot dari kursi roda Jane dan terlungkup di lantai. Ia berusaha melindungi Jane dari sesuatu, namun Jane juga nampak sudah tak bernapas. Keluargaku baru saja dibantai. Aku menjerit sejadi-jadinya. Tepat ketika sosok lelaki dengan kostum santa muncul dari koridor. Ia berlari ke arahku dengan sebilah kapak.
.
.
1997
Aku lahir dengan tanda lahir yang sungguh mengganggu. Sebuah tanda menyerupai bekas luka yang melewati pelipisku dan memanjang ke rahang.

Orang-orang bilang bahwa tanda lahir adalah sesuatu yang kaubawa dari kehidupan sebelumnya. Apa itu artinya aku pernah hidup sebelum ini? Lalu seseorang membuatku memiliki luka berbekas yang akhirnya kubawa hingga aku terlahir kembali? Entahlah, aku tak begitu memercayai takhayul.

Bagaimanapun, Ibuku baru akan mengijinkanku untuk memperbaiki wajahku dengan operasi plastik setelah usiaku 17 tahun. Sayangnya sekarang aku masih 14 tahun. Masih cukup lama. Cukup lama untuk menanggung tanda lahir memalukan ini. Aku lahir tepat satu hari sesudah Natal, namun entah mengapa aku benci bunyi lonceng. Semacam trauma, aku tak begitu memahami penyebabnya. Dentang lonceng selalu membuat kepalaku pening. 

Aku siswi sekolah menengah di pusat kota. Sekolahku cukup jauh dari rumahku yang terletak di pinggiran kota, dekat sungai. Sore itu aku menunggu di halte dekat sekolah setelah memberitahu ibuku bahwa aku akan pulang terlambat. Aku sedang duduk di kursi halte ketika seseorang menghampiriku. Aku mendongak dan mendapati John berdiri di hadapanku. Ia menyapaku sambil tersenyum. Dia adalah kakak kelasku. Lelaki yang baik. Aku menganggapnya sebagai kakak kandungku sendiri. Sebab aku anak tunggal, dan memiliki seorang kakak maupun adik adalah keingananku sejak lama. Sayangnya sejak ayah meninggal di tanah perang, ibu tak pernah memutuskan untuk menikah lagi.

John beberapa kali menemaniku menunggu bus. Meski hanya sekedar mengobrol singkat, namun ia dengan senang hati meluangkan waktunya untukku. Kami memiliki hobi yang sama. Mendengarkan musik. Ia mengaku suka Ludwig VAN Beethoven dan The Beatles. Meski aku menyukai musik yang lebih modern, tapi aku tak keberatan untuk mendengarkan lagu lawas dari mp3-nya. John selalu membuatku kagum. Ia satu-satunya orang yang tak pernah menanyakan tanda lahir aneh di wajahku ini. Dia tak pernah membedabedakan orang lain.

Sayangnya hari ini, belum lima menit bercakap dengannya, deru bus sudah terdengar mendekati halte. Jadi aku bersiap pamit padanya. John tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku terus
memperhatikannya dari jendela bus yang melaju menjauhi halte. Aku baru berbalik setelah agak jauh. Mencoba nyaman dengan kursiku. Dan beberapa detik berlalu, tiba-tiba terdengar suara siulan yang disusul dentum keras dari arah belakang. Lalu rentetan ledakan yang memekakkan telinga. Satu ledakan terakhir terdengar paling keras. Dan api serta-merta berkobar secepat peluru. Tak ada yang sempat melarikan diri.

Aku bangun di rumah sakit satu minggu setelah kecelakaan itu. Ibuku senang melihat aku siuman. Ia mengatakan semua telah baik-baik saja. Hanya saja dokter memberitahu bahwa aku mengalami benturan keras di kepala, dan aku akan kesulitan mengingat beberapa hal. Sore hari, ketika Ibu keluar untuk membeli makanan, seorang lelaki yang tak asing datang menjengukku.

“Apa aku mengenalmu?” Ia diam, menghampiriku sambil tersenyum ganjil.

“Maaf, apa kau anggota keluargaku? Aku tak bisa ingat beberapa hal karena…”

“Oh! Ya , tentu saja ,kak. Aku adalah adikmu.” Kini ia berdiri tepat di samping ranjangku. Aku mengingat-ingat apakah aku memiliki adik yang tampak lebih tua dariku.

“Sudah ingat?” Tanyanya, mempertahankan senyumnya. Dan aku hanya menggeleng.

“Atau lebih tepatnya aku dulu adalah adikmu.” Ia memberitahuku, tatapannya kian tajam. “Dulu  namaku Ju. Tahun 1897. Aku bocah kecil yang kaubunuh karena kau kelaparan.”

“Apa?! Kau bicara a…”

“Lalu aku lahir kembali. Sebagai Jonathan Mir. Pada 1937 aku adalah profokator yang mengatakan pada pemerintah bahwa dua saudari pencari kayu bakar harus dieksekusi. Akulah yang mengeluarkan cambuk untuk kakakmu ,kau ingat?!” Kepalaku tiba-tiba sakit.

“Dan pada 1976 namaku Jack. Apakah kau ingat Paman Santa Klaus yang membawa kapak?” Ia menahan dengusan tawanya. Sementara kepalaku kian berdenyut-denyut. 

“Aku sadar aku benar-benar memiliki kemampuan untuk dilahirkan kembali. Dan semakin berjalannya waktu, aku semakin baik saja.” “Siapa kau sebenarnya?” Aku menahan kepalaku seolah agar tempurung ini tak pecah.

“Aku? Kali ini namaku John. Kakak kelas yang kau kagumi. Sekaligus yang menembak ban bus yang kau tumpangi petang itu..” Kini ia tertawa lepas.

“Apa?! Jadi.. Kau pelakunya! Kau yang mencoba membunuhku!”

“Itu karena kau memakanku ,kak.”

“Omong kosong!”

“Uh.. lihat, tampaknya kau belum mati.” Ia mengulurkan lengannya ke arahku. “Kali ini kupastikan kematian keempatmu tepat di depan mataku sendiri!” Lelaki ini mencengkeram sekeliling leherku dengan erat. Aku tak sempat berteriak untuk minta tolong. Ia menekan leherku hingga aku tersedak.
Semakin erat, dan kian erat. Tak ada oksigen. Dadaku seolah terbakar. “Sampai jumpa lagi.” Bisiknya, sebelum tempatku menjadi redup dan gelap.
.
.
2015
Aku mungkin sedang bosan saat ini. Jadi aku membuka sebuah situs dan mencari kisah-kisah seram yang mungkin menarik untuk kubaca. Sebuah naskah berjudul ‘Reincarnation’ telah menarik perhatianku beberapa menit yang lalu, dan aku yakin sudah hampir selesai membacanya. Aku terlalu larut hingga tak mempedulikan orang-orang di sekitarku.

Hingga aku menyadari sesuatu. Ya! Sesuatu. Sayangnya aku lupa apa itu. Apa aku pernah mengalami lupa ingatan sebelumnya? Entahlah. Sungguh aneh.

Time Will not stop

Creepypasta Indonesia (fb)

1 comments:

 
Top