Daddy Dearest 

Butuh bertahun-tahun untuk menyadari bahwa ayah merupakan seorang narsis. 24 tahun tepatnya. Selama duapuluhempat tahun tersebutlah aku harus mendengarkan betapa aku tak lebih dari seonggok sampah tak berguna dari mulut ayah. Ayah: orang yang seharusnya melindungi, menjaga, dan menjadi sosok teladan dalam hidup.

Saat dia mengancam, tidak terlalu buruk kurasa. Dia melontarkan umpatan yang sama kepada orang-orang yang memotong jalannya. Kurasa, aku telah terbiasa. Bagian terburuknya –kupikir- adalah kepingan-kepingan jiwaku yang perlahan menghilang, menyisakan kekosongan yang sukar kupahami atau berkompromi.

Segalanya menjadi lingkaran setan tak berujung; mengenai tidak cukup baik, tidak pandai, tidak cukup penting, dan pada dasarnya, tak cukup sama dengan dirinya hingga tak layak untuk mendapatkan cinta dan waktunya. Jadi, saat mendapati dia duduk di depanku, menangis sesenggukan dan meneriakakan umpatan-umpatan pada seorang pria pendiam yang berdiri di depanku, hal itu membuatku puas. Kepuasan yang ganjil.

Suara lain yang terdengar saat dia melakukan penawaran pada nyawaku, hanya berupa tetes air pada dinding kusam cokelat dan berbau apak; satu ruang entah di mana letaknya dalam peta, yang dijadikan pria pendiam itu sebagai tempat untuk menyekap kami. Mungkin, dia bahkan berpikiran untuk menjadikan tempat ini sebagai kuburan kami. Aku tak perduli lagi, sebab kemudian, kudengar kata-kata yang telah kuimpikan sejak dulu.

“Kau mau uang? Kuberi semuanya! Kulakukan apapun yang kau minta! Tapi tolong … kumohon, jangan lakukan ini pada putriku ….”

Sosoknya yang kasar dan gemar menyakitiku, egois, yang selalu menganggap dirinya sebagai pusat perhatian atau bahkan pusat semesta, ayahku yang seorang narsis tulen sampai ke bulu-bulunya itu, benar-benar memohon pada seseorang yang asing. 

Itulah kali pertama dalam hidup kulihat ayah menunjukan sisi kebapakannya padaku. Sejujurnya, itulah pertama kalinya aku merasa layaknya seorang anak. Bergerak di antara ayah dan aku, pria dengan sebliah pisau itu menatapku. Bayangan hitamnya yang jatuh di lantai dalam pendaran lampu redup dan remang seolah menggambarkan dirinya dengan sempurna. Namun, tak sepatah kata pun yang muncul dari mulutku atau mulut pria yang telah menculik kami.

Pisau bergerigi itu kemudian ia hujamkan pada pinggangku. Dan percayalah, bukan hanya jeritan ayah yang meledak dalam ruangan yang terlupakan itu.

Saat kemudian pria tanpa ekspresi itu berbalik menuju meja yang berisikan benda-benda yang nampak mengerikan, tatapan mataku beradu dengan ayah. Saat itulah ayah memohon maaf dalam diam, atas segala hal yang telah ia perbuat padaku sebelumnya. Dan saat itulah aku merasakan kedamaian yang begitu melegakan seolah membelaiku.

Setidaknya, aku akan mati dengan mengetahui bahwa ayah memang mencintaiku.

Saat kemudian kami tak lagi bertatapan, kualihkan pandanganku pada wajah pria penyekap kami yang setenang dan sedingin gunung es itu. Menatapnya, aku tak bisa menahan senyum.

Sungguh penyekap kami ini … tak terbuang dengan sia-sia barang satu sen pun, uang yang kubayarkan padanya.


Tamat

0 comments:

Post a Comment

 
Top