Marshy swamp
Source: Urbanlagend_fictim
Siang hari itu, aku bermain dengan sahabatku di sebuah padang rumput. Kami bermain layaknya anak pada umumnya, kejar mengejar, lalu saling menebak pertanyaan-pertanyaan konyol hingga lempar tangkap Frisbee. Ketika kami kelelahan, kami akan beristirahat disana, meneguk air botol yang kami bawa. Namun, siang itu ada sesuatu yang aneh terjadi pada sahabatku Tom.
Ia terus berdiri dan menatap ke padang ilalang yang panjang, tempat itu adalah tempat yang kami hindari, umumnya tumbuhan ilalang memiliki tekstur yang lembut namun ilalang itu sangat berbeda, ilalang itu hampir setinggi orang dewasa dengan tekstur yang kasar, dan bila mengenai kulit menyebabkan kegatalan yang bisa bertahan hingga berjam-jam.
“kau sedang melihat apa?” kataku sembari menarik tanganya agar ia ikut duduk bersamaku, namun ia menolak.
“aku melihat burung disana” katanya tetap melihat.
“Burung. Tidak ada burung disana” kataku meyakinkan.
“tapi, aku melihatnya. Kau mau pergi memeriksanya” dia melihat ke arahku.
“memeriksa apa?”
Itu adalah ide yang buruk, orang tuaku selalu mengingatkan agar tidak mendekati tempat itu. Bila orang tuaku melarang sesuatu pasti ia memiliki alasan kuat kenapa itu di larang. “entahlah Tom, ku pikir itu ide buruk”
“kalau begitu ijinkan aku memeriksanya sendirian” Tom menatapku tajam lalu mendekati ilalang berduri itu.
Aku berdiri mengamati Tom. Dia benar-benar nekat memeriksa tempat itu, meski ia ragu untuk beberapa saat, karena ia berhenti tepat di muka ilalang. “jangan Tom. Jangan lakukan itu” kataku mencoba meyakinkanya lagi.
“kenapa memang. Apa kau takut?” Tom menantangku.
“tidak Tom!!” kataku membentak “aku tidak pernah takut apapun!! “
“iya kau takut.” Tom tersenyum sinis kepadaku. “kau takut dengan cerita konyol tentang ilalang ini. Benarkah?”
“jangan memulainya Tom!!” aku mengingatkan.
“kalau begitu, buktikan. Kenapa kau tidak mencoba untuk masuk, tenang saja, aku juga akan pergi bersamamu, hanya memeriksa sobat. Kecuali.. kau benar-benar takut. Aku tidak masalah dengan itu”
“Cukup Tom.” Aku mendekati wajah memuakkan itu. “kau mengatakan aku takut. Lihat dirimu, hanya mengoceh dan mengoceh bila memang ingin memeriksa seharusnya kau langsung saja masuk dan tidak perlu menantangku seperti ini. Dasar kau penakut culun licik. Ayo kita masuk dan kita lihat burung yang kau bicarakan, semoga selain penakut kau juga bukan pembohong”
Untuk alasan yang tidak masuk akal, aku melesat masuk. Tom ada di belakangku, ilalang itu sungguh kasar, tidak butuh lama untuk melihat kulitku mulai memerah, selain itu rumputnya juga sangat menyakitkan ketika terinjak. Aku ingat saat itu, hari menjelang senja. Aku terus menelusuri jalan setapak penuh ilalang itu, sampai aku menginjak sesuatu.
Itu adala burung yang cukup besar, menyerupai itik namun berbintik hitam, ia terbang namun tidak setinggi burung pada umumnya, burung itu menembus semak –semak dengan tubuh besarnya, Tom berseru menepuk bahuku lalu mendahuluiku.
“sudah ku bilang kan” senyuman tergambar di wajahnya.
Aku segera berlari mengikutinya, tanpa sadar aku ikut terbawa suasana, kakiku berlari semakin cepat mencoba menyusul Tom, namun entah apa yang terjadi, semakin aku mengikuti gerak semak-semak jejak Tom, aku tidak juga mendahuluinya.
Awalnya ku pikir Tom terlalu cepat namun aku salah, aku tidak lagi melihat Tom di depanku. Aku menjadi panik setelahnya, aku berteriak keras memanggil nama Tom, “Tom—Tom” dengan kikuk aku terus menembus ilalang itu dan terus menerus memanggil namanya, berteriak. Hanya angin yang berhembus membalasnya.
Ku sadari, ketakutan mulai memenuhi kepalaku. Aku terus menyisir tempat itu, ku alihkan ilalang itu dengan kedua tanganku, hingga jalan yang ku lalui mulai berubah, semacam rumput yang ku injak mulai berair, aku ingat, tempat ilalang ini tumbuh dekat dengan rawa-rawa terbuka, ku rasa, aku mendekati rawa –rawa.
Aku terus berjalan berhati-hati, mencari sela dimana kakiku masih akan menginjak rerumputan dan tanah,
Seperti dugaanku, aku keluar dari ilalang itu dan menemukan semacam rawa-rawa yang di tinggalkan, ku amati tempat itu mencoba mencari jalan apakah aku bisa menyebrangi rawa-rawa, sampai mataku menangkap makhluk itu.
Seketika, aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Aku hanya diam dan terus melihat. Makhluk itu, mekhluk apapun itu.
Semua menjadi sangat aneh, bibirku gemetar namun tidak ada suara yang keluar, seperti berhenti di kerongkongan. Kakiku tetap berdiri tegak, namun engan untuk berlari meninggalkan tempat itu. Ku pikir, aku sudah kalap dan tidak tahu apa-apa lagi. Semacam shock yang tiba-tiba menguasai. Perlahan samar-samar aku mendengar suara Tom, karena sebelum mataku membaur dan mulai kabur, Tom menepuk pipiku, wajahnya samar-samar dan dia terus berbicara namun hanya sedikit yang mampu ku dengar. Itu adalah “Pergi—“ “Pergi—lari!!”
Tom menarikku dan aku mengikutinya dengan pasrah, dan semuanya menghitam.
Aku membuka mata dan melihat diriku terbaring di dalam kamar. Ayahku melihatku murka, menampar wajahku lalu memelukku sembari sesenggukkan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun aku masih mengingat kejadian itu di kepalaku. Setiap moment’nya.
Esok hari, aku bertemu Tom. Kami tidak banyak bicara, kami hanya duduk menatap kosong apa yang ada di depan kami. Setelah kami terjebak jedah yang panjang, aku mulai berbicara.
“kau pasti melihatnya bukan?”
Tom hanya diam. Aku tidak memaksanya. “menurutmu makhluk itu hidup? Apakah ia hidup?”
Tom masih diam.
“Tom?” kataku lagi.
“Aku melihatnya. Sangat jelas, kau bertanya apakah makhluk itu hidup. Entahlah, namun aku melihat matanya. Mata itu, ku pikir ia juga melihatku.”
Mata Tom menjadi memerah. Sepertinya ia sudah menangis cukup lama.
Dengan gemetar aku bertanya untuk terakhir kalinya. “bagaimana bisa di tempat seperti itu, ada tubuh bayi dengan kepala Sapi”
***
NB: beberapa Versi, menyebut itu kerbau, namun ada juga versi menyebut itu adalah Kambing. Intinya. Ada seseorang yang membuang jasad bayi cacat mungkin, atau lebih jauh.. itu penjelmaan kau tahu siapa yang ku maksud. mungkin.
Tamat
0 comments:
Post a Comment