Four Minutes
Ricky punya obsesi yang benar benar ganjil. Obsesi terbarunya benar benar gila, aku bahkan tak bisa menyingkirkan pikiran itu dari benakku. Efek aneh pasca kepala terpotong dari tubuh: setelah terpisah, kepala bisa mendengar, melihat, membuat mimik muka dan berkomunikasi.
Ya, kau membacanya dengan benar. Orang orang yang kepalanya dipenggal bisa melihat dan mendengarkanmu. Ricky menjadi terlalu maniak akan hal itu, ia melakukan penelitian, kebanyakan meneliti tentang tikus, dimana saat kepala tikus itu terpisah dari tubuhnya, binatang menjijikan itu masih sadar selama 4 menit atau kurang.
Ricky anak baru diinstitut sekolah kami, dan dia dibully karena ia terlihat aneh. Penyebabnya adalah mata julingnya, dan kulit, rambut dan matanya juga mempunyai bercak kuning. Dalam fisik seperti itu, tentu saja ia dibully. Ricky tidak sibuk memikirkan mereka. Cara balas dendamnya sungguh unik dan 'wow'. Ia tak mengatai ngatai, atau adu tinju dengan mereka. Apa yang ia lakukan hanya melukis sebuah gambar sadis yang seram. Mahakarya seni yang meramalkan hari terakhir para pembullynya, atau rahasia tergelap mereka yang tak seorangpun tahu.
Yang sebenarnya tidak perlu aku tulis, sampai sekarang, kalau saja Ricky belum meninggal. Kematian yang paling menyedihkan dan mendebarkan dalam 4 menit jalan hidupku.
Segalanya bermula pada tempo aku menghampiri rumah Ricky yang mirip peternakan. Tak pernah setitikpun terpikirkan olehku ini adalah hari terakhir dalam hidupnya, ataupun hari terakhir kami bersama. Saat ia membawaku ke garasi dan menunjukkan alat pisau guillotine yang ia buat sendiri--yang benar benar bagus, aku tahu, ia akan melakukannya.
"Kau takkan melakukannya, ok?" Ia melanjutkan,"Pisaunya akan jatuh dan membelah saat ku tarik tuasnya," Ia lalu menariknya, dan pisau diagonal besar yang berat itu jatuh kebawah dan menciptakan hempasan angin, hawa dingin yang tidak enak naik ke sekujur kakiku, membuatku bergidik ngeri. "Bung, yang kau harus lakukan hanya duduk dan menontonku."
"Sialan, aku takkan melakukannya." Aku berbalik untuk pergi dari kegilaan ini. Ketika aku sudah meraih gagang pintu ke dapur, ia mengatakan sesuatu dalam intonasi yang putus asa, yang membuatku mematung.
"Aku tak mau mati sendiri. Kau satu satunya orang yang kupunya." Tapi ia benar. Ayah dan ibunya meninggal saat ia kuliah, ia tak punya saudara. Dan anjing kesayangannya, Rukus, mati bulan lalu, yang berarti, hanya akulah teman satu satunya.
"Kau boleh duduk di sebelah sana dan tunggu sebentar... jadi aku tidak sendiri, lalu kau boleh pergi, maka tak seorangpun akan tahu." Aku berbalik kemudian duduk dan menatap kedalam matanya, mata yang menyimpan terlalu banyak kepahitan."Lalu apa, Rick?"
"Caranya gampang, satu kedipan berarti ya, dua kedipan berarti tidak. Dan kalau aku membuka mulutku berarti rasanya mengagumkan. Kalau rasanya buruk, aku takkan memberitahumu, cukup aku saja yang tahu."
Aku benar benar kehabisan kata kata, dan aku dipenuhi pikiran bahwa aku akan segera kehilangan sobatku hari ini. Tubuhku berguncang dengan hebat, yang bahkan belum pernah kurasakan sebelumnya. Kemudian aku menatap Ricky dan melihatnya sedang mengembangkan senyum, ia bahagia.
"Tanyakan aku pertanyaan 'ya atau tidak', bicaralah padaku, tanyakan apa saja. Ini kesempatan yang benar benar jarang. Ini sesuatu yang harus kuketahui. Dalam semua eksperimen yang telah kulakukan, paling tidak aku punya waktu 4 menit setelah kepalaku terpisah, jadi tanyakan padaku apakah terasa sakit, atau apakah aku melihat cahaya putih, atau malaikat atau apa aku tahu rahasia kehidupan dan semesta."
"Oh Ricky, pemenggalan? Bung, ini benar benar sudah terlalu jauh." Ricky menunduk dan mengangguk, kemudian ia menengadah kepadaku, kali ini ada sungai bening yang berlabuh di mata kuningnya yang aneh dan aku tahu, aku tak sanggup menolak permintaannya, tak peduli betapa tak warasnya itu.
"Aku ingin melakukannya sebelum penyakitku kambuh lagi. Penyakit sialan itu, akan membuatku kesakitan dan menderita. Aku benar benar ingin memenangkan penyakit ini, dengan mencurangi kematian."
Kami duduk beberapa jangka waktu di garasi yang aneh itu sebelum Ricky akan pergi selamanya. Ia telah merencanakan dan mempersiapkan segalanya, kepalanya akan mendarat di tempat tidur Rukus--anjingnya yang merupakan teman lain yang ia miliki selain aku.
Ricky melemaskan kepalanya di atas pisau guillotine, menghadap ke kiri, seperti berbaring ke kiri di kasur. Aku duduk menghadapnya dilantai dan kita akan melakukan percobaan ini.
"Kau tidak tahu, kau membuat hidupku yang hancur lebih berwarna. Aku tak pernah memberitahumu. Itu menggangguku dan aku tak jago dalam hal emosi dan perasaan, tapi bertemu denganmu di perguruan tinggi membuat semua masalah ku lebih ringan."
Mataku benar benar penuh oleh bendungan air bening dan rasanya langit hampir saja akan runtuh, aku tak bisa menjawab Rick. Semua yang kutahu hanyalah aku menyayanginya tetapi aku tak pernah bisa memberitahunya.
Kemudian Ricky berlutut didepan pisau berat itu, berbaring dan membalikkan kepalanya. Ia melayangkan kepalanya dengan lembut di atas alat buatannya sendiri. Kemudian, sebelum aku mengerjapkan mataku, pisau sialan itu luruh kebawah saat Ricky berkata,"Terima k--"
Tapi pernafasan Ricky terpotong dan kalimat terakhirnya terinterupsi. Dalam sepersekian detik yang ganjil, kepala temanku mendarat di tempat tidur Rukus dan matanya menatap tajam kearahku. Bukan tatapan orang mati, belum. Ya, tatapan mata kuningnya yang masih hidup.
Kucoba mengabaikan lehernya, tapi aku menyaksikan darah merah dari potongan lehernya meluncur deras, dan juga bagian putih dari tulang belakangnya. Tanganku bergetar tak terkendali saat kupaksakan diriku menatap kedalam matanya.
"Ricky, kau bisa mendengarku?" Satu kedipan yang cepat, artinya ya.
Oh Tuhan, ini tak mungkin nyata.
"Apa rasanya menyakitkan, apa kau merasakan sakit?" Seruku. Ia mengerjap dua kali untuk tidak.
"Bisakah kau melihatku?"
Satu kedipan.
"Apa kau melihat malaikat? Atau sejenisnya?"
Dua kedipan.
"Apa rasanya aneh?" Lagi lagi ia mengerjap dua kali yang berarti tidak. Ia kemudian tertegun dan kemudian membuka mulutnya, memamerkan barisan giginya, meskipun ekspresinya lebih menyerupai pantomim yang meringis kesakitan, aku tahu itu berarti terasa keren dan mengagumkan, bukan sesuatu yang seharusnya ditakuti.
"Jadi, kau tidak takut?" Dua kerjapan mata, dan kemudian ia membuka mulutnya. Aku merasa lebih lega.
Tiba tiba, aku merasa kehabisan pertanyaan, walau kami masih berkomunikasi. Ricky mengunci tatapannya dalam mataku, dan aku merasa nyaman dan tenang--meskipun aku tahu itu tidak masuk logika. Kemudian ia memejamkan mata, tiba tiba aku panik, bahwa inilah waktunya, dan ia telah ditepuk oleh Sang Pencipta. Aku perlu menanyakan sesuatu, jadi aku menukas,"Ricky, apa sekarang kau tahu rahasia alam semesta, atau rahasia kehidupan dan semacamnya?"
Matanya membuka lebih lamban kali ini, lalu ia berkedip satu kali. Dan aku bersumpah mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu padaku, tapi itu membuatku panik karena berbicara hampir tidak mungkin tanpa kerja paru paru, jadi aku meluncurkan pertanyaanku lagi, "Apa rasanya buruk? Apa mati itu buruk?"
Lagi lagi matanya membuka lebih lambat dan ia berkedip dua kali untuk tidak.
"Apa ada orang lain didekatmu? Apa mereka orang baik?
Ia mengerjap sekali untuk ya, tapi aku tak tahu cara menanyakan siapakah orang orang itu, kalaupun ia tahu orang orang tersebut.
Aku tak punya pertanyaan lagi, karena pada titik ini, tidak ada pertanyaan yang penting lagi.
Setelah itu, aku dan Ricky mengunci mata dan waktu terasa membeku. Kemudian matanya membesar dan ia melihat kebelakangku, dan aku melihatnya ketakutan. Aku belum pernah melihatnya setakut itu seumur hidupku. Mukanya benar benar menunjukkan kehorroran yang tak bisa dilukiskan, seolah ia telah bertemu dengan sesuatu yang mengerikan dan tak pernah dilihatnya. Ada sesuatu dibelakangku, sesuatu yang ia lihat tetapi tidak bisa kulihat, dan aku tahu, itu bukan sesuatu yang bagus. Dan kemudian Ricky melakukan sesuatu diluar rencana.
Mulutnya bergerak gerak dengan cepat dan berulang ulang, ia melebarkan matanya dan menatapku.
"Ada apa Ricky? Apa yang kau lihat?!" Aku tak mendapat respon darinya karena ia masih berusaha berbicara. Raut mukanya tidak tenang seperti tadi, dan telah berubah menjadi tegang dan shock. Sialnya aku tak tahu apa yang ingin disampaikannya padaku.
Dengan ketakutan dan bulu kudukku yang meroma tiba tiba, aku mendekatkan kepalaku padanya. Ia berusaha mengeja beberapa kata, walau tak ada suara yang keluar, aku bisa menerka dari gerakan mulutnya yang mudah ditebak.
'BERJANJILAH PADAKU'
"Ya, aku janji." Mataku kembali penuh dengan air mata. Hatiku benar benar hancur.
'JANGAN MATI'
Kemudian Ricky menutup mata selamanya.
Tamat
0 comments:
Post a Comment