How I Survived A Shooting School
Ketakutan tak terbayang merasukiku, merasuki kami semua.
Kaylee si gadis cheerleader, berusaha menenangkan anggotanya. Lucunya adalah saat si gelandang football itu ternyata menangis paling keras, sungguh tak sebanding dengan tubuh besarnya. Kurasa dia bahkan kencing di celana.
Pintu gym terbuka lebar, dan kulihat si penembak. Seorang pelajar seperti kami. Namanya Noah. Dia seorang anak pendiam dan suka menyendiri, nyaris sama sepertiku.
Kami pernah sekelas saat pelajaran biologi; kami bahkan pernah mengerjakan satu proyek bersama. Tidak ada seorang pun yang mau berpasangan dengan salah satu di antara kami. Sayang sekali, padahal waktu itu kami mendapat nilai A.
“Sial!” pikirku panik saat dia berjalan mendekat ke arah kami. Aku nyaris tak bisa bernafas, rasa takut sungguh menghebat.
Dia jelas telah mendengar keberadaan kami. Aku harus melakukan sesuatu sebelum kami semua mati.
Aku meloncat keluar dari persembunyian. Kedua tangan kuangkat tinggi-tinggi sebagai tanda menyerah.
“Noah! Noah! Tenang. Jangan menembak, ini aku. Ini Ethan. Tolong, Noah, bukan aku yang kau inginkan.”
Jejak berdarah seperti mengekor di belakangnya. Dari pintu yang terbuka terdengar suara sirine, jeritan, dan isak tangis yang terasa seperti sebuah backsound dari sebuah adegan mengerikan di film. Sorot matanya sudah seperti orang gila. Moncong senjata terarah padaku, namun dia nampak ragu.
Kemudian aku berkata, “orang yang kau inginkan ada di balik bangku belakang.”
Tamat
0 comments:
Post a Comment