The Charred
Diana, seorang perempuan berumur 23 tahun, dan seorang akuntan. Cukup terlihat seperti wanita yang normal, dan cantik dengan rambut hitam kecoklatan membingkai wajahnya. Hidup di Tangerang memang susah, belum lagi ia jauh dari orang tuanya di Bandung. Namun, akibat dari kerja kerasnya, gaji yang ia terima setiap bulannya, selalu lebih dari cukup. Apartemen yang cukup mewah pun ia sewa. Cukup fair dengan lembur yang ia terima setiap kamis malam.
Seperti biasa, ia memegang cup kertas berisi kopi toraja sebelum memulai harinya di kantor, sembari melangkah keluar dari mobilnya, menuju gedung tingkat 7 itu. Sesampainya di lift, ia menekan tombol nomor 5, tempat dimana kubik kerjanya berada. Lift itu tersentak sebelum akhirnya mati. Sedikit terkejut, ia bergumam kesal sebelum menekan tombol emergency. Seketika, bulu kuduknya berdiri, seakan ada angin yang sangat dingin menerpa lehernya. Ia langsung berpaling kebelakang.
Hanya AC. Ia pikir, sebelum tertawa kecil. 5 menit kemudian, pintu lift terbuka, Diana disambut oleh 2 orang pekerja yang sudah berumur. “Liftnya ngadat lagi ya pak?”
“Iya mbak. Padahal waktu itu udah saya benerin. Mbak terpaksa naik tangga darurat aja ya. Tangga biasanya masih licin.” Seorang pekerja yang lebih tua berkata, disambung dengan desahan frustasi yang keluar dari mulut Diana. “Duh. Ntar saya telat gimana?”
“Ya, mau gimana lagi mbak.”
“Tapi tangga daruratnya sebelah mana?”
“Ntar mbak belok ke kiri, terus cari lorong yang diatasnya ada gambar tangga darurat warna merah. Gagang pintunya kan panjang, mbak dorong agak keras, baru bisa kebuka. Maaf banget ya mbak.”
Diana langsung melangkah marah, tanpa membalas si pekerja tua barusan.
*Pandangan Diana*
Tadi, kata bapak nya, dorong yang keras yah? Kok susah? Pikirku, sembari mendorongnya lebih keras. Hasilnya nihil, membuatku semakin gak sabaran. Kutaruh cup kopi dilantai, dan mendorongnya lebih keras, terdengar bunyi klik, sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Mari kita mendaki gedung.
Keringat mulai bercucuran, dan aku merasa kemeja biru yang kukenakan saat ini bersimbah keringat. Kulirik jam di tangan kananku, jam 9 lebih 15. Sialan, aku telat 15 menit. Kumantapkan langkahku lagi sebelum menaiki tangga putih ini.
“Liftnya macet ya.”
Tiba-tiba, suara yang berat mengagetkanku. Kulirik kebelakang, dan mendapati Alex, bosku, yang nyatanya masih sangat muda, 25, bersimbah keringat. “Oh, i-iya pak. Maafin saya pak, saya telat, dikira gabakal macet lagi itu lift, eh ternyata.” Kucoba untuk memasang muka senyum, sebelum membuka pintu yang menuju lantai 5.
“Kemeja kamu basah tuh. Keliatan tali nya.” Katanya lagi, membuat wajahke bersemu merah karena malu, “E-O-Oh iya pak, maaf, nanti istirahat makan siang saya ambil di mobil.”
“Gausah. Sini, ikut saya.” Ajaknya, yang membuatku terkejut, tapi tetap aku ikuti. Cukup jarang Alex dan aku berbicara, namun, ia tiba-tiba mengajakku ke ruangannya. Jangan-jangan….
“Nih.” Sahutnya sembari melemparkan kemeja putih keabuan bergaris-garis hitam tipis. “Sana absen dulu terus ganti baju.” Ucapnya sebelum aku berterimakasih dan keluar dari ruangannya. Hah. Untung Cuma memberi kemeja. Jangan sampai ada sesuatu, hih.
Sialan. Kopi toraja milikku tertinggal di bawah. Dan hari ini aku lembur. Meh. Istirahat makan siang aku beli lagi saja.
Siang itu cukup sibuk, ternyata ada sebuah data yang tertinggal di kamarku, yang membuatku harus mengerjakan secara ulang. Ini sudah istirahat makan siang, dan aku tak bisa pergi makan karena data ini harus segera diselesaikan. Kuraih handphone ku dan menelpon sebuah restoran cepat saji dan memesan makanan. Kumakan sambil kerja saja deh.
Sudah berjam-jam, tapi mas tukang delivery nya belum kunjung datang, kucoba untuk menelpon restaurannya, tapi tidak tersambung. Dan teman teman kerjaku yang lain sudah pada pulang, meninggalkan aku sendiri di lantai ini, yang berlembur. “Diana kan? Saya pulang ya.”
“Kemejanya gimana pak?”
“Udah, simpen dulu aja.”
“Oh, iya makasih pak.”
“Nih, ada makan siang tapi gak saya makan. Kamu mau?”
“Oh boleh pak, saya kesal, dari tadi mesen makanan tapi gak dateng-dateng.”
Aku tertawa kecil, diikuti dengan tawa halus Alex. “Yaudah, nikmatin aja. Saya pulang ya.”
Seketika, lantai ini berubah menjadi sangat sunyi. Tentunya, ada rasa takut yang menerjang diriku, mengingat aku orang yang sangat penakut. Namun kutendang pikiran itu jauh jauh, dan melanjutkan pekerjaanku, yang sambil curi curi suapan.
15 menit sehabis Alex pulang, Lampu tiba tiba menyala, dengan sangat terang, memaksa mataku untuk menyipit karena silau. “Dasar, gedung bagus tapi pengurus nya gabecus. “ Gerutu mulai menghujani bibirku. Terpaksa aku harus mengucek mataku. Karena tak tahan, aku berdiri, berniat untuk protes kepada pekerja di lantai 1, namun tiba tiba, semua padam. Listrik maupun lampu. Mengakibatkan kegelapan total. “Sialan!” Aku berteriak kaget. Bulu kudukku naik, Ketakutan Menjerat seluruh tubuhku. Keheningan ini mulai membunuhku secara perlahan. Setelah mataku mulai membiasakan di kegelapan, aku mencari senter dengan membabi buta.
Tak peduli seberantakkan apapun meja kerjaku ini, tujuanku sekarang hanya satu, mencari senter. Aku harus pulang, Persetan dengan data-data yang sedang aku kerjakan, hangus semua di komputer ini, tanpa ada satupun yang aku save.
BRAK!
Suara hentakan yang sangat keras terdengar diujung ruangan, membuatku terkejut setengah mati, perlambang jantung ini keluar dari tempatnya untuk lari marathon. Aku mulai berdoa sembari lari menuju kubik milik temanku yang tepat dibelakangg kubik milikku, tepatnya di sudut ruangan lainnya yang lebih berlawanan dari arah suara tersebut, siapa tahu ia memiliki sebuah senter.
BRAK BRUK BRAK BRUK
Hentakan itu makin keras, dan makin dekat menuju tempat dimana aku berada. AHA! Kutemukan senter di laci. Kunyalakan dengan cepat, dan kuarahkan ke tempat dimana kerusuhan tersebut terdengar. Namun, tidak ada apa apa disana! Hanya kubik-kubik yang hancur. Mataku terbelalak. Lagi-lagi, rasa takut menerjang diriku, pikiran negative menghantui kepala ini. Sinar redup yang keluar dari senter ini menunjukkan baterai-nya mulai habis. Berarti aku harus menghemat ini sebisa mungkin.
Namun lagi lagi, suara rusuh itu mulai terdengar lagi, dan barang-barang di arah suara tersebut mulai berterbangan kemana-mana, seakan ada sesuatu yang sangat marah berjalan kearahku, dan tidak mau ada satu barangpun menghalangi jalannya. Hentakan itu semakin keras dan cepat, dan semakin dekat. Jantungku berdebar sangat cepat, secepat barang barang dan kubik kubik beterbangan, namun kakiku terasa melekat ke lantai ini, dan kerusuhan itu menjadi sangat dekat, dan dekat, dan kutup mataku, bersiap untuk apapun yang terjadi. Namun hanya angin yang cukup keras yang terhempas di depanku, angin yang sangat dingin.
Meski bagaimanapun, aku harus keluar dari sini. Aku masukkan barang barangku ke tas sebelum mengambil handphoneku dan berlari kearah tangga. Daritadi, kurasakan sesuatu yang tidak biasa dengan tubuhku, namun mungkin itu karena ketakutan yang ada pada diriku saat ini. Dengan rusuh, kuturuni setiap anak tangga dengan hati yang berdebar debar, saking cepatnya aku turun, semakin lama semakin terasa lumpuh tubuh ini, seperti bergerak di luar control, bagaikan orang gila.
GEDEBUK!
Aku menghantam seseorang, dan mungkin sesuatu disaat aku turun. “Pak?”
“D-Diana! Aku gabisa keluar! Dikunci!”
“Dikunci? Jangan bercanda pak-“
“Alex. Alex aja.”
“Mana mungkin bisa dikunci! Lah OB sama security kan stay disini 24 jam!”
Lalu, matanya terbelalak kaget, melihat kebelakangku. “K-Kenapa?”
“Itu, ada, ada.”
“Ada apa sih?” Rasa takut mulai menyelimutiku lagi, tapi kupaksakan diri untuk melihat kebelakang, tapi tidak ada apa apa.
“Apaan?” Kutanya. “Ada orang melotot kearahmu.” Jawabnya, berbarengan dengan kedipan mataku yang penuh dengan ketakutan, lalu saat kubuka mataku, kuharap aku tetap menutup mata ini.
Seorang, atau mungkin suatu makhluk, entah apakah dia perempuan atau lelaki, dengan tubuh yang hangus, dua bola mata yang putih dengan titik hitam kecil bagaikan pusaran yang siap menelanku, dan bibir yang menyeringai mengerikan, berada tepat didepan wajahku. Aku merasakan tubuhku yang hampa ini terjatuh dan semua, menjadi benar-benar gelap gulita.
“Diana, Di, bangun.” Aku merasakan seseorang mengguncang tubuhku dan memanggilku dengan halus, kubuka mata, dan melihat Alex. “Aku emang banci. Aku mutusin buat lari dari kamu yang pingsan dan makhluk hangus tadi, namun ada sesuatu yang menahanku, yang menyuruku untuk kembali, untungnya makhluk yang tadi sudah hilang.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam 2, kenapa?”
“Kayaknya, aku tau kenapa orang hangus tadi gamau kita keluar.” Tiba-tiba, kata kata itu keluar dari mulutku. Aku ingat artikel yang tadimalam aku baca.
“Maksudnya?”
“Pernah dengar peristiwa orang-orang tionghoa yang dibakar hidup hidup oleh Fankui pas tahun, 1946an gak?”
“P-Pernah tuh. Yang dikira orang-orang tionghoa yang dulu sekitar sini sekongkol sama belanda ya?”
“Mungkin ga, mereka ingin sesuatu? Pemakaman yang selayaknya atau apa gitu?”
“Tapi, kan gamungkin, itu udah lama banget, kenapa mintanya ke kita?”
“Mungkin selama ini mereka gatau atau gaada yang pernah peduli. Tadi malam aku baca artikel tentang itu, dan rasa iba menghantuiku.”
“Jadi, kamu pikir ini semua kesalahanmu?”
“Ng-nggak juga sih, aku kan Cuma iba aja, toh bukan aku yang bakar.”
“Apa mungkin maksud kamu, mereka Cuma pengen didengerin aja?”
“Mungkin. Tapi aku Cuma pengen keluar dari sini.”
Lalu, Alex berdiri dan berteriak, “Kita disini bukan orang jahat! Lepaskan kita! Kita minta maaf atas apa yang telah terjadi ke kalian!”
Hening. Aku dan Alex bertukar pandang. Tiba tiba, suara gemuruh datang dari bawah, lalu, pemandangan paling menyeramkan yang pernah aku lihat, membuatku berteriak sangat keras. Puluhan tubuh hangus merangkak lambat menuju kami, dengan erangan yang sangat memilukan telinga. Alex menarik tanganku dan kami berlari, mencari tempat untuk bersembunyi, dan menemukan ruangan berisi sapu, dan alat-alat pembersih lainnya. Alex menarik kuncinya, sebelum membuka pintu. Kami masuk, dan menutup pintu itu, sebelum menguncinya.
Aku menangis seperti seorang gadis kecil, memeluk Alex dengan erat ketika erangan tersebut berada didepan pintu. Kami merangkak menuju ujung ruangan sempit ini, dan diam disana, mendengarkan erangan tersebut. Alex mencoba menenangkanku, namun rasa takut ini membuatku tetap menangis dengan keras, berharap bisa lari dari kenyataan ini.
“BRUK!”
Aku terbangun oleh suara pintu didobrak. Tampaknya, suara ribut ini membuat Alex terbangun juga. Di ambang pintu, ada seorang OB berdiri.
“Lah, Pak Alex, Mbak Diana, ngapain disini berduaan?”
Ia menanyakan seperti tidak ada masalah. “Tadi malem kalian semua kemana sih?!” bentak Alex.
“Lah, kemarin ada yang bilang suruh pulang semua terus kunci pintunya, katanya disuruh Pak Alex.”
“Hah?” Alex mengerenyitkan dahi. “Terus saya sama teman-teman yang lain pas dateng pagi ini ngira orang yang nyuruh pulang itu rampok, soalnya kantor berantakan banget, tapi gaada yang ilang. Sebenernya ada apa sih?”
Aku dan Alex bertukar pandangan. “Mas. Ga akan percaya kalau diceritain juga.”
Alex menyuruhku pulang saat polisi selesai menanyai kami berdua tentang kejadian semalam. Mereka melihat kearah kami seakan kami orang gila.
Aku memutuskan untuk langsung pergi ke Bandung, aku butuh orang tuaku, yang selalu mendengar keluh kesah dan setiap rengekan yang keluar dari mulutku. Perjalanan terasa sangat lama, padahal jalan tol siang ini sangat sepi. Tiba tiba, hawa di mobil milikku serasa dingin, padahal AC sudah kuatur sangat rendah.
Diujung mataku, kulihat sosok hangus duduk di kursi sebelahku. Aku menengok, dan tidak ada apa-apa, mungkin hanya halusinasi, kuarahkan pandanganku kembali ke jalan, Namun wajah hangus itu berada tepat didepan kaca mobilku, menyeringai, dan mengerang menyedihkan.
Tamat
No comments:
Post a Comment