Of Blood And Smile Part 1
by : Wolfsnake a.k.a Gery FG feat Regina Eka
Beberapa orang tampak berkerumun di depan warung milik Bu Ersal, seorang penjual makanandi jalan dekat kampus.
Safira segera berusaha menembus kerumunan itu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat kalau Bu Ersal ternyata tewas dengan kondisi yang sangat mengerikan.
Bu Ersal tewas dengan kondisi wajah dikuliti sehingga daging dan urat di wajahnya terlihat jelas, sehingga dia terlihat seperti melotot sambil menyeringai.
Safira terduduk lemas sesaat setelah melihat itu semua.
Seorang penjaga kantin yang begitu dekat dengannya dan dikenal periang itu harus pergi begitu cepat, dan dia adalah korban ketiga.
Ya ..., ketiga, karena sebelumnya telah ada dua korban pembunuhan serupa di kampus ini, yaitu mati dengan wajah dikuliti.
Sepulang kuliah, Safira menghampiri Nadira, teman akrabnya di kampus, dan berbicara perihal kejadian tadi dengannya, "Bukankah menyedihkan saat mengetahui orang yang begitu dekat denganmu harus pergi begitu cepat?" tanya Safira sambil berkali-kali mengusap air mata di pipinya, "Itu sudah proses alam, Safira dan kau harus bisa menerima kenyataan," jawab Nadira dengan tampang sinis.
Safira terhenyak mendengar jawaban temannya itu, namun kemudian, dia mengangguk dan tersenyum.
Dia tahu Nadira bukannya tak peduli dengan kesedihannya, tapi karena temannya itu memang memiliki ekspresi wajah yang tidak biasa, bisa dikatakan kalau Nadira berwajah antagonis, dan karena itu pula Nadira jarang memiliki teman karena selain dia pendiam, wajahnya itu pula yang membuat Nadira nampak seperti tokoh jahat dalam sinetron-sinetron murahan yang sering ditayangkan di televisi, akan tetapi cuma Safira yang mau berteman dengannya karena dia tahu, Nadira tidak seperti yang orang- orang bayangkan.
Keesokan harinya, Safira sedikit bingung saat mendapati teman baiknya itu tidak masuk kuliah.
Tidak biasanya dia membolos tanpa keterangan jelas seperti ini. Dicobanya menghubungi temannya itu melalui ponselnya namun tidak dijawab, akhirnya dia memutuskan untuk mencarinya ke rumahnya nanti sore.
Sepulangnya dari kuliah Safira mendapati para tetangganya ramai berkerumun didepan rumahnya bersama beberapa orang polisi, dan nampak sebuah mobil jenazah diparkir tepat di depan gerbang rumahnya.
Dahi Safira berkerut dalam, firasatnya juga tidak enak. Tidak biasanya rumahnya ramai begini, dan kenapa harus ada mobil jenazah? Pupil Safira melebar ketika menyadari sesuatu.
Dengan panik gadis itu menerobos kerumunan yang melihatnya dengan pandangan iba.
Begitu sampai di bagian belakang mobil jenazah dia langsung mendapati sebuah kantung mayat yang terisi, Safira langsung membuka kantung itu.
Begitu melihat isinya, Safira jatuh terduduk di tanah dan menangis histeris.
Di dalam kantung itu, ada seorang wanita yang sangat Safira kenali, itu adalah ibunya.
Belum selesai dia dilanda shock karena ibunya meninggal tiba-tiba, dia dikejutkan dengan kenyataan bahwa kondisi ibunya sangat mengerikan. Wajahnya …, Safira menutup mulutnya untuk menahan isakan, wajah ibunya dikuliti!
Kemarin, Ibu Ersal, penjaga kantin yang paling dekat dengannya meninggal, lalu sekarang ..., dia tidak sanggup berpikir lagi.
Apa salahnya? Kenapa harus orang-orang terdekatnya yang mati? Beberapa jam kemudian, dengan kondisi kacau balau, Safira berjalan di tengah keheningan malam sendirian.
Matanya bengkak, wajahnya pucat, dan bibirnya berdarah karena dia terlalu banyak mengigitinya.
Tujuannya hanya satu, rumah teman dekatnya, Nadira.
Langkahnya terhenti ketika sampai di sebuah rumah bercat putih dengan penerangan ala kadarnya.
Tanpa permisi, ia langsung membuka pintu rumah Nadira. Persetan dengan sopan santun, pikirannya sedang kacau.
Safira dibuat kebingungan dengan kondisi rumah temannya yang sangat gelap.
Tidak biasanya Nadira bisa bertahan di tengah kondisi tanpa pencahayaan begini.
Dengan tangan meraba dinding untuk menemukan saklar, Safira terus mengamati rumah itu dalam kegelapan, tanpa sadar, tangannya menekan sesuatu, seperti sebuah tombol, disusul dengan sebuah suara keras.
0 comments:
Post a Comment