Saturday 16 April 2016

Creepypasta Indonesia - Experience - Teman Chatting

Teman Chatting



credit: Ai Zhi Lan

Pagi hari yang dingin aku terbangun. Kabut putih menyisakan bulir bulir hujan yang menetes semalam. Sialnya aku malah lupa menutup jendela kamarku. Apa yang kulakukan sampai lupa menutup jendela? Ah! Sudahlah mungkin aku terlalu lelah kemarin.

Dengan jemari yang mengintip manja dari balik sweeter, kututup jendelaku. Hawa dingin segera merambat menyusuri lekukan jemariku dan menyesap kedalam tulang. Ini benar-benar dingin!

Dari balik selimut yang tidak keruan bentuknya, terselip Handphoneku. Samsung tab3 dengan wallpaper foto diriku yang tersenyum memperlihatkan deretan gigiku. Foto ini diambil sembari melihat sunrise dibelakang rumah. Temanku yang mengambil foto.

...

Handphoneku berkedip sekali, ada sms masuk.

"Kau sudah tidur?"

"Aah... Aku benar benar kesepian..."

"Kalau sudah bangun cek pesan-pesanku."

Tiga pesan itu dikirim kemarin pada jam 21.45, 21.50, 21.58, lalu sms yang baru masuk pada jam 03.48 dini hari ini, berisi :

"Aku tau kau sudah bangun, segera balas chatku!"

Dia teman chattingku yang baru kutemui beberapa hari yang lalu di sebuah grup pecinta Riddle. Bukankah dia begitu perhatian sampai tahu kalau aku sudah bangun?

Kuambil charger sebelum menyalakan paket dataku. Astaga! Ternyata aku belum mematikan paket dataku dari semalam. Ini adalah pemborosan bagi seorang gadis SMA yang butuh sekali kuota untuk menyerap asupan berita dari artis kesayangannya sepertiku. Menyebalkan...

Ternyata ada banyak sekali pesan masuk di akun media sosialku satu ini. Tentu saja, hanya satu pengirimnya. Yaitu, teman chattingku.

"Yuhuu! Halo beb!" Ujarku menyapanya.

Perlu diketahui saja, aku perempuan dan teman chattingku itu juga perempuan. Biasanya kami membahas segala hal tentang artis kesayangan kami. Tenang... tenang... aku masih normal. Dia juga, sepertinya... 

Dan sepertinya aku salah karena baru saja aku merinding membaca pesan balasannya.

"Fotomu cantik, beb."

Foto profilku sama dengan wallpaper handphoneku. Sama-sama buram karena temanku lupa tidak menggunakan kamera B612 saat mengambilnya.

Biasanya mendengar seseorang mengucapkan hal itu aku akan biasa biasa saja. Tapi entahlah, kenapa ini terasa berbeda. Terbaca begitu aneh menurutku.

Lalu dia mengirim satu pesan lagi.

Dua pesan lagi.

Tiga pesan lagi.

Semua pesan diakhiri dengan bentuk hati.

Segera kuubah foto profilku dengan artis kesayanganku, Do Kyungsoo dan Kim Sohyun. Lalu kubalas pesannya.

"Foto yang ini? Sohyun memang cantik," ujarku berusaha membuang rasa kikuk yang kuciptakan sendiri.

"Bukan! Bukan yang ini! Cepat ganti dengan fotomu yang tadi..."

TIDAK! Aku menjerit. Kulihat wallpaper handphoneku lagi. Fotoku yang tersenyum terlihat seperti menyeringai. Aku jadi takut. Apa benar itu fotoku? 

Apa benar itu aku? Apa itu aku?

Kumatikan Handphoneku. Kutarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhku tak terkecuali wajahku, berusaha untuk terlelap. Namun, otakku menolak. Terngiang di kepalaku, kalimat terakhir yang sempat kubaca sebelum mematikan handphoneku.

"Aku tau kau takkan bisa tidur..."

Benar saja, aku tidak bisa tidur. Bukan sehari dua hari tapi seminggu lebih. Dia terus saja menghubungiku. Lewat Chatting. Lewat SMS. Bahkan dia tau nomer telepon rumahku. Seringnya, jika aku mengabaikan semua pesannya dia akan menelepon kerumah, dengan suara berisik seolah dia sedang berada ditengah hutan yang minim sinyal. Ia mengatakan tiga kata kepadaku. Setengah berbisik, seolah tenggorokannya tercekat.

...
"Segera balas pesanku."
...

Aku menangis dalam diam. Bibirku bergetar hebat sampai sampai tak bisa kurasakan gigiku mencabik-cabiknya. Cairan merah anyir itu keluar dari bibirku. Sebagian mengalir memenuhi lekukan bibir bawahku. Sebagian lagi mengalir melewati celah gigiku. Memasuki papila papila lidahku, hingga aku bisa merasakannya. Rasa darah! Terasa seperti besi berkarat.

AKU TIDAK TAHAN!!!

Disuatu siang yang terik, aku berjalan di trotoar. Membiarkan bahu para manusia yang terburu buru dengan waktunya, menghempaskan aku kesana kemari. Tak jarang mereka mengumpat dan menyumpah-serapahi diriku.

Kubiarkan saja.

Toh, mereka tidak salah.

Toh, aku juga tidak peduli.

Karena mereka bukanlah teman chattingku yang pengecut. Ia dia pengecut! Pengecut yang tak pernah menampakkan dirinya. Pengecut yang menerorku lewat kata katanya.

Ditempat penyeberangan, aku melihat kendaraan berlalu lalang, karena lampu lalu lintas masih berwarna hijau.

Kutulis sebuah pesan keteman chattingku, lewat sebuah media sosial kesayanganku ini.

"Aku mau bunuh diri."

Dia membalas cepat, "aku tau itu...."

Kulangkahkan kakiku. Setapak demi setapak.

Tidak terjadi apa-apa , sampai aku melihat rambu lalu lintas ternyata menyala merah. Kulirik Handphoneku yang berkedip.


"Kalau aku jadi kamu, aku akan menusuk perutku dengan pisau, lalu mengiris pergelangan tanganku. Kurasa itu lebih efektif daripada harus berdiri ditengah jalan."

"Darimana kau tahu?"

"Hanya menebak.".

Dirumah, aku seperti zombie dengan kantung mata layaknya panda. Keluargaku mencoba berbicara denganku, tapi aku lebih banyak diam. Tepat jam 12 malam kurang 2 menit, handphoneku bergetar. Tapi yang kuambil adalah benda disampingnya, sebuah benda mengkilat.

Maaf teman chattingku, aku tidak bisa membalas pesan pesanmu setelah ini.

Keesokan harinya, kakakku menemukanku diatas kasur dengan darah yang menodai sprei. Dia menangis. Dia terisak. Lalu berteriak parau memanggil anggota keluargaku yang lain.

Dipemakaman yang haru, aku masih bisa melihat keluargaku berkumpul. Mungkin untuk terakhir kalinya, sebelum malaikat munkar dan nakir mencambukku dengan pertanyaannya.

Banyak orang yang berkumpul disana, tapi aku sama sekali tidak bisa mengenali teman chattingku. Aku belum mengetahuinya sampai sekarang.

Kakakku adalah orang terakhir yang pergi dari pemakamanku. Ia mengambil handphone dari balik tasnya. Samsung tab3 dengan foto diriku sebagai wallpapernya. Ia membuka media sosial yang paling sering kupakai itu. Lalu tangannya bergerak ke kotak pesan.

Ada satu pesan yang belum kubaca, dari teman chattingku itu.

"Aku akan mengikutimu setelah ini."

Dahi kakakku mengernyit. Ia mulai menelusuri akun sosial mediaku. Dari situlah ia menemukan kenyataan pahit tentang adiknya.

Aku selama ini menulis pesan untuk diriku sendiri dan membalasnya.

Kakakku menitikkan airmata dan mengusap fotoku dengan tangannya yang bergetar.


Tamat

1 comment: