Monday 7 September 2015

Creepypasta Indonesia - Experience - The Earth Ripped Open


The Earth Ripped Open

Alicia bagaikan cangkang kosong. Gadis usia 17 tahun itu berwajah pucat, rambut coklatnya hampir habis karena ditarik-tarik, dan ada bekas-bekas cakaran besar menutupi lengan, wajah dan lehernya. Dia hanya duduk tegak tanpa ekspresi sampai aku menyapanya.

"Alicia?"

Kepalanya berputar perlahan ke arahku.

"Ya?" Ujarnya, suaranya kasar dan serak. "Itu aku."

Aku menjelaskan semua prosedur wawancaranya dan kemudian memintanya menceritakan semuanya. Butuh waktu beberapa lama sebelum dia bercerita.

"Aku tidak yakin," ujar Alicia dengan suara pelan monoton. "Itu hari Minggu, 3 minggu lalu. Aku terbangun karena ada suara keras. Kedengarannya seperti ledakan, lalu hening. Aku melihat ke luar jendela, dan ada lubang ini di halaman. Orangtuaku lari masuk ke kamarku, diikuti abangku. Kami memandangi lubang itu. Diameternya sebesar mobil kecil, dan bentuknya bundar sempurna. Ayahku menelepon petugas pemadam kebakaran dan mereka menyuruh kami pergi, karena lubang itu nampaknya hasil dari longsoran tanah, dan area rumah kami bisa ikut ambruk."

"Apakah lubang itu yang menyebabkan keluargamu menghilang?"

"Ya."

"Bagaimana?"

"Mereka terjun ke dalamnya."

"Bukankah kalian semua pergi?"

"Ya, tapi setelah 2 minggu, mereka bilang sudah aman dan kami boleh pulang. Sepertinya mereka berencana mengisinya dengan semen. Pokoknya, si spesialis bilang kami tidak boleh terlalu dekat. Orangtiaku dan aku ketakutan, tapi abangku Quentin malah mendekati lubang itu. Aku melihatnya berdiri di pinggir lubang dan terus saja menatap ke dalam. Dia memanggil kami, menyuruh kami ikut melihat, tapi kami tidak mau."

"Kau tidak pernah melihat ke dalamnya?"

"Tidak, tidak secara langsung. Kami diperingatkan bahwa pinggiran lubang itu bisa runtuh, dan lubang itu begitu dalam sampai-sampai mereka tidak bisa segera menentukan perkiraan kedalamannya. Tapi Quentin memotretnya dan menunjukkan fotonya. Gila sekali. Itu benar-benar sebuah lubang vertikal yang rapi, dengan sisi-sisi yang nyaris rata. Aku melihat di salah satu foto bahwa ada semacam akses ke mulut gua yang terletak jauh di dalam lubang tersebut. Si spesialis kemudian bilang bahwa dia belum pernah melihat yang seperti itu, tapi dia kelihatan sangat antusias, padahal kami khawatir sekali kalau lubang itu semakin besar dan menelan halaman bahkan sebagian rumah kami."

Alice beringsut sedikit di kursinya.

"Beberapa hari pertama aman-aman saja. Kadang-kadang ada suara aneh, terutama di malam hari. Kedengarannya seperti batu-batu kecil yang jatuh, lengkap dengan suara-suara berkelontangan yang kedengarannya memantul dari dalam lubang. Tapi lubang itu tidak berubah, dan ukurannya tetap sama."

"Menurutmu, apakah lubang ini ada hubungannya dengan hilangnya seluruh keluargamu?"

"Pasti," tukas Alice cepat. "Pasti lubang itu, atau sesuatu di dalamnya. Aku tak tahu bagaimana, tapi pasti lubang itu. Pada hari keempat sejak kami kembali, abangku menghabiskan waktu seharian mengelilingi lubang itu, seperti hiu. Dia terus mencoba melihat ke dalam, dan aku bahkan mendengarnya bergumam sendiri. Akan tetapi, tak peduli berapapun banyaknya senter besar yang dia bawa, dia akan selalu kembali dengan wajah kecewa."

Alice tersenyum sesaat.

"Quentin memang selalu begitu. Dia suka hal-hal aneh. Aku jadi khawatir dia bakal jatuh ke dalam, tapi orangtuaku bilang dia anak yang waspada. Pada hari kelima, dia semakin dekat dengan lubang itu. Ayah kami melihatnya duduk di pinggirannya, dengan kaki menggantung. Saat itulah orangtua kami dengan tegas menyuruhnya masuk, dan meminta kami untuk jangan dekat-dekat lagi dengan lubang itu. Tapi, saat orangtua kami pergi pada malam hari, Quentin keluar dan menuju lubang itu. Dia tak mau mendengarku. Aku mengancam akan memberitahu ayah dan ibu, tapi dia cuma tertawa. Aku langsung ke dalam untuk menelepon ketika Quentin berdiri di tepi lubang dan melongok ke dalamnya. Saat itu gelap, jadi kupikir dia tak bakal bisa melihat sesuatu di dalamnya. Aku menelepon ibu dan mengadu padanya, dan dia menyuruh untuk memberikan teleponnya pada Quentin. Tapi, ketika aku keluar...Quentin tidak ada. Dia hilang begitu saja!

"Aku memanggil-manggilnya dan mencari ke seluruh rumah, tapi dia tidak ada. Aku minta ayah ibuku cepat-cepat kembali. Aku mencoba menelepon ke ponsel Quentin yang dibawanya, dan walaupun ada nada dering, aku tak mendengar deringan apapun di rumah maupun halaman. Ketika orangtuaku pulang, mereka bilang Quentin mungkin pergi ke rumah temannya tanpa memberitahu. Tapi aku tahu itu tidak benar. Dia tadinya tepat di tepi lubang itu, dan aku masuk rumah tidak sampai 2 menit."

"Orangtuamu tidak melakukan sesuatu?"

"Tidak. Maksudku, ya, tentu saja. Mereka menelepon semua teman Quentin, lantas polisi. Tapi polisi cuma datang, menulis laporan, dan pergi tak sampai 5 menit kemudian. Mereka berteriak ke lubang itu, namun ketika tak ada respon, mereka pergi. Polisi bilang tak ada yang bisa mereka lakukan, setidaknya di malam hari. Keesokan paginya, aku lihat ayahku berdiri di dekat lubang. Dia berteriak memanggil seseorang ke dalam lubang itu, sambil menyinarinya dengan lampu. Polisi kemudian datang dan membawa lebih banyak lampu, tapi tak ada gunanya. Aku tetap jauh-jauh dari lubang itu dan tak mau mendekat."

"Mereka tidak menemukan jejak Quentin?"

"Tidak sama sekali. Pada siang hari, semua panggilan telepon yang kami coba lakukan ke ponselnya selalu berakhir dengan voicemail. Polisi menyuruh orangtuaku membuat laporan orang hilang, padahal kita tahu dimana dia berada! Polisi juga bilang mereka tak punya perlengkapan yang cukup untuk masuk ke dalam lubang, dan mereka harus menunggu sehari lagi untuk itu. Salah satu polisi tetap tinggal untuk membantu ayahku tetap menyinari lubang itu, dan bahkan mengikatkan lampu dan mikrofon ke tambang yang diturunkan ke dalam lubang. Tapi sepertinya tersangkut atau apa, karena kemudian, aku melihat sisa potongan tambang itu di rumput. Ujung tambang, lampu dan senternya hilang. Ayahku tidak bilang apa-apa."

"Apakah itu hari yang sama saat ayahmu menghilang?"

Alicia diam sejenak.

"Ya. Aku lihat ayah di pekarangan setelah polisi itu pergi. Ibu menyuruhku memanggilnya untuk makan malam, tapi ketika aku keluar, ayah sudah tidak ada. Kami mencari di seluruh rumah dan menghubungi ponselnya, tapi rupanya dia meninggalkan ponsel itu di dapur. Ayah hilang setelah berdiri di samping lubang itu, sama seperti Quentin.

Alicia menggaruk-garuk lengannya.

"Kam menghubungi polisi lagi. Mereka menanyai kami dan pergi ke lubang itu lagi. Hari sudah gelap, tapi setidaknya mereka mencoba. Dua orang petugas memanggil-manggil ke dalam lubang, dan setelahnya, ibuku dan aku juga melakukannya, tapi agak jauh. Tapi tak ada respon. Aku sempat mendengar suara batu jatuh, tapi dalam sekali sampai kami tak bisa melihat apapun. Aku tak bisa tidur malam itu. Aku hanya duduk di dekat jendela, menatap ke arah lubang sebesar mobil yang menganga, menangisi Quentin dan ayahku yang telah jatuh ke dalamnya. Menjelang pukul 2 pagi, aku sudah capek, dan sudah akan tidur, tapi aku melihat ada bayangan orang di pekarangan yang berjalan ke arah lubang itu. Bayangannya tinggi dan kurus, dan kulihat dia seorang pria. Mulanya kukira itu ayah, sampai aku melihat rambut cepak dan jaketnya; ternyata itu polisi yang dulu tinggal seharian di rumah.

"Kupikir dia kembali karena punya ide bagaimana menolong kami, jadi aku membuka jendela untuk memanggilnya, tapi saat aku membuka jendela, aku melihat polisi itu mulai melangkah ke depan. Dia nampak santai dan rileks, dan gaya berjalannya seolah dalam gerak lambat. Aku berteriak, tapi dia cuma terus berjalan, sampai akhirnya terjun ke dalam lubang. Dia tidak menjerit. Dia bahkan tidak nampak panik; dia hanya terjun dengan tenang ke lubang itu."

Alicia menangis sekarang, dan masih terus menggaruk. Lengannya sudah merah dan hampir berdarah. Aku menyuruhnya berhenti menggaruk, tapi Alicia tetap menggaruk sambil terus bicara.

"Dan kemudian, aku lihat ibu berjalan ke pekarangan. Aku ingin meneriakinya agar masuk ke rumah. Tapi ibu tidak bereaksi. Dia tetap berjalan. Aku lari turun tangga untuk mencoba membawanya masuk, tapi ketika aku keluar, dia sudah tinggal selangkah lagi dari lubang. Aku menjerit dan berlari ke arahnya, tapi ibuku malah melangkah. Aku baru setengah jalan ke arahnya ketika kulihat kakinya menapak di atas lubang, seolah dia berada di atas permukaan yang tak kelihatan. Kakinya yang satu lagi terangkat dari rumput. Ketika aku semakin dekat, aku melihatnya mulai terjatuh. Rasanya seperti tidak nyata, tapi sepertinya seolah ibuku jatuh terlalu lambat, seolah dia jatuh dua kali lebih lambat dari kecepatan jatuhnya orang biasa."

Suara Alicia melemah.

"Aku sudah dekat sekali. Tinggal sedikit lagi dan mungkin aku bisa meraihnya, menyelamatkannya. Tapi aku malah memperlambat lariku karena aku tak mau ikut jatuh. Tubuh ibuku berputar menghadapku saat mulai jatuh, dan dia menatapku, mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum. Dia kelihatan...bahagia. Aku merasa pekarangan itu berguncang di bawah kakiku, dan ketika melihat wajahnya yang bahagia, aku mendadak merasa ingin ikut melompat. Aku mulai mengangkat kakiku, tapi tepat sebelum ibuku menghilang di kegelapan lubang, aku melihat senyumnya menghilang, dan dia membuka mulutnya seolah ingin berteriak, dengan tatapan penuh teror di wajahnya."

Lengan Alicia sudah berdarah, tapi dia tak peduli dan terus menggaruk.

Berdasarkan laporan dari Departemen Perlindungan Lingkungan, penyebab terjadinya lubang itu masih belum diketahui. Hari berikutnya, ketika perlengkapan penyelamatan tiba, lubang itu sudah penuh dengan air. Para penyelam kemudian menyimpulkan bahwa kedalaman lubang itu adalah sekitar 200 meter. Akan tetapi, mereka tidak menemukan mayat ataupun akses menuju gua bawah tanah tersembunyi. Mereka hanya menemukan sepotong tambang dengan senter terikat pada ujungnya.

"Aku mundur dari lubang itu," ujar Alicia akhirnya. "Semakin aku menjauh, semakin pelan getaran di bawah kakiku, dan hasrat aneh untuk melompat pun menghilang. Tapi, aku baru menyadari ini beberapa saat setelah polisi tiba: aku tak mendengar suara apapun dari ibuku. Tidak jeritan, tidak pula suara tubuh yang menghantam tanah."


Tamat

1 comment:

  1. Daftarkan Diri Anda Sekarang Juga Di www.bolacasino88.com Agen Judi Online Terpercaya Di Asia.

    Pelayanan Yang Professional Dan Ramah
    Di Jamin 100% Tidak Adanya BOT Dan ADMIN.

    - Minimal Deposit 20.000
    - Minimal Withdraw 50.000

    Dapatkan Hot Promo Kami Seperti :

    - Bonus Refferal Seumur Hidup
    - Bonus Sportsbook 100%
    - Cashback Sportbook 5% - 15%
    - Bonus Deposit Games 10%
    - Cashback Games 5%
    - Bonus Komisi Casino 0,8%

    NB : Syarat Dan Ketentuan Berlaku

    Nikmati 7 Permainan Dalam 1 Web Seperti:

    - Sports
    - Live Casino
    - Togel
    - Poker
    - Slot Games
    - Nomor
    - Financial

    Untuk Informasi Lebih Lengkap Silahkan Hubungi Customer Service Kami :

    - Live Chat 24 Jam Online
    - No Tlp ( +855962671826 )
    - BBM ( 2BF2F87E )
    - Yahoo ( cs_bolacasino88 )
    - Skype ( bola casino88 )
    - Facebook ( bolacasino88 Official )

    Hot News :

    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/masi-ingat-aksi-walk-out-persib-vs.html
    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/saat-laga-melawan-feyenoord-pep.html
    https://prediksitogelgoyangasoi.blogspot.com/2017/11/pertandingan-lawan-guyana-sekaligus.html

    ReplyDelete