Wednesday 5 August 2015

Creepypasta Indonesia - Experience - Symmetry


Symmetry

Aku sangat suka simetri sejak kecil. Waktu aku kecil, kebanyakan anak seumurku sangat berantakan dan sering lupa meletakkan barang, tapi aku tidak. Aku selalu ingat posisi semua benda yang kususun, dan di kamarku, semua benda tersusun rapi dan teratur di tempatnya masing-masing. Orangtuaku dan kakek-nenekku tidak ada yang punya "Itu." Aku menyebutnya "Itu" karena aku menganggapnya sebagai sesuatu yang tumbuh di dalam diriku. Yang kumaksud dengan "Itu" adalah keinginan, hasrat, untuk selalu sempurna dan simetris dalam segala hal.

Sebagai orang dewasa, hidupku tidak normal. Aku tak bisa mempertahankan pekerjaan dalam jangka waktu lama. Tak ada wanita yang tahan berhubungan lama denganku. Mereka semua tak tahan dengan "Itu." Aku tak peduli. Mereka semua berantakan dan membuat hidupku sulit. Mereka berguling ke sisi ranjangku saat bangun dan bukannya tetap berbaring di sisi mereka sendiri. Mereka menumpuk piring kotor di satu sisi wastafel, tapi tak pernah di sisi satunya. Aku tak bisa hidup di dalam rumah seperti itu, jadi setiap kali mereka keluar, aku tetap tinggal di rumah dan memperbaiki posisi barang-barang. Pada akhirnya, tak ada yang bertahan lama, dan aku merasa lega ketika mereka pergi. 

Selain masalah pekerjaan dan hubungan, aspek hidupku yang lain lumayan normal. Aku bilang "lumayan" karena ada satu masalah kecil dengan diriku. Aku memiliki kondisi yang disebut Heterochromia Iridium: iris mataku memiliki warna yang berbeda satu sama lain. Mata kananku berwarna biru, dan mata kiriku hijau. Kedua orangtua dan saudara-saudaraku semua memiliki mata biru. Mata hijau inilah yang selalu membuatku merasa aneh, tidak seimbang. Setiap kali aku menatap cermin, aku melihat kesalahan kecil yang aneh itu pada wajahku. Semuanya simetris, kecuali mata hijauku.

Ketika pertama kali aku memaksa menyelipkan ujung sendok ke balik bola mata kiriku, rasanya tidak sakit. Bahkan ketika bola mataku akhirnya menggantung di luar lubang mata di depan pipiku, rasanya masih tidak sakit. Apakah karena aku terlalu kaget sehingga tidak merasa sakit? Kupotong syaraf yang masih tersambung di bola mataku, lalu kubersihkan darah dan cairan kental yang merembes keluar dari bola mataku. Aku membalutkan perban menutupi lubang mata kiriku, bersih-bersih, lalu tidur.

Aku bangun dengan senang. Aku tak pernah tidur selelap itu selama bertahun-tahun. Akhirnya, tak ada lagi yang salah pada diriku! Aku beranjak bangkit dari ranjang dan berjalan tersaruk-saruk ke kamar mandi. Kepalaku terasa sakit. Aku menyalakan lampu, berdiri di depan cermin, dan pelan-pelan membuka perban yang berlumuran darah dan lengket di atas lubang mataku. Ketika aku menatap cermin, aku merasa mual. Saat itu, aku baru menyadari apa yang telah kulakukan. Ada lubang di sisi sebelah kiri wajahku...tapi tak ada lubang di sebelah kanan. Lagi-lagi aku menjadi tidak simetris. 

Mencungkil mata yang kedua rasanya lebih sulit. Tanganku gemetar, dan aku menusuk bola mataku dengan ujung sendok tiga kali sebelum berhasil menempatkannya di posisi yang tepat. Setelah mataku menggantung keluar, aku meraba-raba mencari gunting untuk menggunting syaraf. Akan tetapi, rupanya masih ada darah kering yang menempel di gunting dan membuatnya tumpul. 

Apa kau ingat ketika membuat prakarya saat masih kecil, kau menggunting begitu banyak kertas, dan satu kali, bilah gunting tidak menggunting lembaran kertas sehingga kertas itu hanya terjepit di antaranya? Itulah yang terjadi. Aku tak kunjung berhasil memotong syaraf optik yang menggantung bola mata di depan pipiku karena bilah guntingnya menempel dan tersangkut. Ketika aku dengan panik mencoba menarik-nariknya, aku nyaris terpeleset oleh darah di lantai.

Berat gunting yang menggantung di depan wajahku sangat menyakitkan. Jadi, aku memutuskan untuk menarik bola mataku dan syarafnya sekuat tenaga. Aku menarik dan menarik, merasakan daging dan syaraf tercerabut putus dari dalam kepalaku. Cairan kental dan darah muncrat kemana-mana.

Ketika aku mendengar bola mataku jatuh ke lantai, aku tahu semuanya sudah selesai. Aku tahu aku tak perlu lagi hidup sambil melihat kekacauan yang diciptakan semua orang di sekitarku. Kelegaan melanda diriku, dan saat aku berbaring di lantai kamar mandi yang dingin, aku tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama.


Tamat

No comments:

Post a Comment