Cornfield
Malam ini langit lebih gelap dari biasanya, sepertinya akan turun hujan. Sedangkan perjalanan kami masih sangat panjang untuk sampai ke Rumah kami.
Seharusnya aku tidak menuruti ocehan Linia, kekasihku. Dia bilang, ‘lurus saja, ini jalan pintas memotong hutan, aku tahu, karena aplikasi petaku tidak pernah salah’ katanya dengan menaik turunkan alisnya, kalau ingat itu rasanya aku kesal sekali, seharusnya aku tidak percaya dengan aplikasi peta, atau lebih tepatnya ocehan seorang wanita. Mereka memang rumit.
Aku masih menyetir mobil, naik turun, kemudian berliku, menanjak menukik, sedangkan sepanjang jalan hanya hutan yang kami temui, kiri kanan sangat gelap, penerangan sangat minim di wilayah ini. Terkadang aku berpikir tentang begal, perampok atau apapun sejenisnya, mengingat ini tempat yang jauh dari peradaban. Hingga, seberkas cahaya harapan muncul, entah bagaimana aku bisa keluar dari hutan, ku lihat sekarang adalah kebun jagung yang luas, sepanjang jauh mata memandang hamparan ladang terpampang nyata, lalu hujan mulai turun di sertai badai silih berganti.
“Oh Sial!” aku mengumpat, kemudian menatap langit dari kaca mobil depanku, “aku harap ini akan menjadi lebih buruk lagi. Iya kan?” ocehku menatap Linia, yang wajahnya memancarkan sedikit penyesalan. Tapi, aku masih kesal, kemudian aku mengumpat sekali lagi tentang apa yang terjadi hari ini.
“terlambat datang ke konser, lalu terpaksa membeli Ticket dari calo, kemudian pulang kemalaman karena mobil bodoh yang seenaknya parkir di depan mobil kita, lalu, tersesat di hutan kemudian ini—“ kataku menunjuk hujan dan badai, “semoga saja, kesialan masih akan menimpa kita, setidaknya jadi semua ini akan sempurna” aku senyum mengejek, lalu “Blam”
Sesuatu pecah dan sepertinya itu adalah ban mobilku, aku memberhentikanya di tepian jalan, kemudian keluar dengan kepala yang ku tutupi jaket, aku memeriksa, dan ternyata benar. Ban mobilku pecah, dan bodohnya aku lupa membawa ban serep disana, aku mendendang ban mobilku yang pecah dengan keras, "Ban BODOH!!" lalu “BlaaaRR!!”
“Bagus” aku tersenyum jijik, "sekarang mesinku meledak!! benar-benar hari yang menyenangkan.” Batinku kesal.
Beberapa saat kemudian, aku menatap Linia yang menyiratkan wajah takut, ku lihat kiri dan kanan, sampai aku melihat asap dari cerobong rumah tua, lampunya menyala terang, aku menarik Linia, melindunginya dengan mantelku agar hujan tidak membasahinya.
Linia berkali-kali mengatakan bila dia “takut” namun kami tidak memiliki pilihan, dengan keadaan cuaca seperti ini, tetap di dalam mobil dan berharap ada yang lewat adalah kesalahan, hanya orang sinting yang keluar dan menyetir dengan hujan badai di depanya.
Ku ketuk pintu itu, beberapa kali. Tidak ada jawaban, aku mulai menggigil kedinginan, lalu ku ketuk lagi dan mencoba memanggil siapapun yang ada di dalam rumah. Tiba-tiba “Krieek” suara pintu berderit, dan seorang pria tua menatapku dengan tatapan bingung. “Iya” katanya.
“Maaf pak. Kami tersesat. Boleh kami menginap satu malam saja. Besok kami akan mencari bantuan” kataku berusaha terlihat memelas.
“Oh” katanya agak tertahan, kemudian menatap kami bergantian, “baiklah!! Maaf, sebelumnya. Aku hanya memiliki rumah tua dan sedikit makanan. Jadi, bila kalian tidak keberatan maka silahkan masuk” katanya berusaha ramah.
Beberapa saat, kami menjadi canggung, aku dan Linia duduk di maja makan, sementara pria tua itu sedang memasak kacang kaleng, “Oh, aku lupa” katanya menatap kami dengan senyuman, aku bisa melihat jenggotnya yang tebal “aku memiliki daging, jadi, kalau kalian mau, akan aku ambilkan.”
Aku mau mengatakan “tidak!!” karena tidak enak, namun pria itu sudah memotong kalimatku. “aku yang memaksa anak muda” katanya sembari tersenyum dengan jenggotnya.
Dia kembali, lalu sudah memasak daging itu dengan sup-sup lezat, awalnya aku ragu, namun setelah mencicipinya, aku suka, tapi Linia tidak!! Dia membiarkan semua makanan itu tergeletak, aku harus memaksanya sampai akhirnya Linia mau memakanya, agar si pria tua tidak tersinggung.
Setelah kami puas bersantap makan, pria tua itu menceritakan kehidupanya, bagaimana dia harus mengurus perkebunan ini sendirian, istrinya sudah meninggal 10 tahun yang lalu, anaknya sudah meninggalkanya untuk bekerja di kota, sesekali dia pulang namun semakin jarang ketika dia sudah menikah. Aku kasihan mendengar ceritanya, beberapa kali aku meyakinkanya lain kali aku dan Linia akan datang kesini untuk membantunya mengurus perkebunan, itu pun bila kami sedang tidak sibuk dengan kuliah kami.
Setelah larut malam, Linia di antar ke kamar anaknya yang dulu yang kini sudah tidak terpakai, sedangkan aku tidur di sofa, sementara pria tua, tidur di kamarnya di lantai atas. Ketika aku tidur, aku mendengar suara yang memanggilku seperti berbisik-bisik, “Jon—jon” panggilnya, aku terbangun dengan mengucek mata, saat melihat Linia di depanku.
“ayo kita pergi!!” katanya memegang tanganku.
“apa” kataku setengah berteriak, setelah mendengar Linia mengatakan itu. “kenapa? Ini masih malam” kataku lagi.
“aku tidak suka dengan tempat ini. Aku takut!! Lebih baik pergi saja” kata Linia lagi berusaha meyakinkanku, aku menatap Linia aneh, tubuhnya gemetar hebat. “kau kenapa? Oh. Jangan bilang kau mau pergi karena ini seperti adegan dalam film, ayolah kekasihku yang polos. Besok saja kita pergi, lagipula, disini lebih aman.”
Lini kembali meyakinkanku, suaranya terdengar berbisik. “aku takut dengan tempat ini Jon. Terutama pria itu!! Ya—pria tua itu?”
“ada apa denganya? Dia Cuma pria tua kesepian, dan dia tidak keberatan ketika kita tinggal disini.” Kataku lagi. Tiba-tiba lampu menyala, dan aku menatap pria tua itu berdiri di sudut ruangan, menatap kami dengan kosong.
“sejak kapan” kataku membatin.
Pria tua itu membawa parang di tanganya. Linia beringsut sembunyi di belakang punggungku. Tubuhku menggigil melihat parang di tanganya.
“maaf pak. Apa saya membangunkan anda” kataku terdengar gemetar.
Pria itu masih diam, kemudian tersenyum dan meletakkan parangnya di meja, “aku pikir tadi suara maling, jadi aku membawa parang. Semoga aku tidak membuat kalian berdua takut. “ katanya tersenyum lagi, “oh ngomong-ngomong. Tinggal beberapa jam lagi pagi, kalian bisa tidur lagi, aku akan membangunkan kalian nanti”
Pria itu berjalan kembali, naik ke tangga. Aku menatap Linia dan meyakinkanya, “lihat kan? Tidak apa-apa. Ini bukan Film Psikopat nona” aku mengelus pipinya, dan Linia berusaha mengerti. Lalu dia kembali ke kamar dan menutup pintunya dengan keras.
Esok pagi. Aku dan Linia berjalan keluar, setelah berpamitan dengan pria tua itu, dia bilang, dia akan bersiap-siap ke ladang.
Aku dan Linia berjalan menuju jalan raya dekat dengan rumah, sekitar beberapa meter jauhnya. Linia tampak lebih diam dari biasanya, entah apa yang terjadi. Mungkin masih ketakutan karena kejadian semalam yang ku pikir hanya salah paham.
Saat satu bus berhenti, aku dan Linia melangkah masuk, sopir bus menatap kami aneh. “kalian baru saja keluar dari rumah si Tua Ronald?” kata sopir bus.
“bila yang anda maksud adalah pria tua yang tinggal di rumah itu. Iya. Kami menginap semalam”
Wajah sopir bus tiba-tiba menjadi pucat. “Astaga” katanya terdengar memekik, “demi tuhan, bagaimana bisa?? Kalian tidak tahu tentang si tua Ronald??” dia tampak mengeraskan suaranya, gemetar dan panik.
Aku masih tidak mengerti, tapi Linia gemetar dan menatap ke bawah terus menerus. “Jadi kalian tidak tahu?" kata sopir bus dengan gugup. "si Tua Ronald kabarnya telah membantai keluarganya, menggorok leher mereka dengan parang kemudian memasak daging isteri dan anaknya, lalu menyimpan sisa tubuhnya di almari rumahnya. Kau tahu apa lagi," mata si sopir membelalak menatap kami "setelah itu dia di temukan gantung diri di rumahnya. Rumah itu sudah kosong hampir selama 10 tahun”
Aku begitu terkejut, rasanya jantungku mau melompat keluar. “itu tidak mungkin” kataku tidak bisa menutupi kalau aku mulai merinding. “ada pria tua yang menyambut kami disana, aku memang lupa bertanya siapa namanya, tapi dia memiliki janggut dan..”
“kacamata bulat” Sopir bus memotongnya. “demi tuhan!! Pasti itu si hantu Ronald” sopir bus segera menancap gas busnya dengan pelan.
Linia menarik lenganku kemudian menatapku. “apa yang di katakan oleh sopir bus itu semuanya benar Jon, pak tua itu sudah meninggal, dan yang kau makan kemarin adalah daging sisa anak dan isterinya yang sudah membusuk. Aku ingin memberitahumu tapi kau terlalu terperdaya dengan kelaparanmu!!” Linia memicingkan matanya.
“Apa” kataku gemetar. “kau? Darimana kau tahu semua itu??”
“di kamar itu. Aku bertemu dengan anak dan isterinya dia bilang ‘LARI NAK, SEBELUM KAU BERNASIB SAMA SEPERTI KAMI’ “
aku menatap lagi rumah itu, dan melihat Pria tua itu disana sedang menatap kami, dengan senyuman ganjil di jendelanya.
Tamat
No comments:
Post a Comment