Thursday, 23 July 2015

Creepypasta Indonesia - Experience - The Cardboard Box

The Cardboard Box


Ada seorang pria tua yang kaya bernama Tn. Winters yang tinggal sendirian di sebuah rumah besar. Hanya satu temannya yang seorang perawat, seorang wanita setengah baya yang mau merawatnya. Dia tiba setiap pagi, saat cerah dan selalu lebih awal dan pergi setiap malam setelah mengantarnya ke tempat tidur.


Sejak stroke, Tn. Winters telah dinonaktifkan dari pekerjaannya. Dia tidak bisa berjalan. Dia tidak bisa berbicara. Dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dia bahkan tidak bisa pergi ke kamar mandi sendiri.

Suatu malam, perawat itu membawa Tn. Winters keluar dari kamar tidur menuju ruang tamu.

"Maaf saya harus pergi meninggalkan Anda malam ini, Pak Winters," kata perawat. "Putri saya punya bayi dan saya harus bersamanya saat ini."

Tn. Winters tidak menjawab. Dia hanya duduk di sana diam-diam di kursi roda dan tetap mendengarkan.

"Walaupun saya pergi tidak begitu lama, saya sudah menemukan perawat lain untuk mengurus Anda sementara saya pergi," kata perawat. "Dia pria muda yang baik. Namanya Freddy."

Kemudian, mereka mendengar bel berdering.

"Itu pasti dia," kata perawat.

Dia bergegas keluar dari ruangan dan ketika dia kembali beberapa menit kemudian, ada seorang pemuda bersama dengannya. Dia adalah seorang pria menyeramkan yang tampak dengan hidung bengkok dan tatapan mata yang liar. Dia menggenggam sebuah kotak kardus besar.

"Sepertinya ada badai," kata perawat. "Aku harus pergi. Ini adalah Freddy, Pak Winters. Saya yakin dia akan merawat Anda dengan baik. Sampai jumpa besok pagi. "

Perawat pun pergi dan mereka mendengar pintu depan ditutup.

Freddy tersenyum gugup dan berkata, "Senang bertemu dengan Anda, Pak Winters."

Pria tua itu mengangguk dan tersenyum dengan terpaksa.

"Apakah ada tempat untuk saya bisa menempatkan ini?" Tanya Freddy yang masih memegang kotak kardus itu.

Tn. Winters menunjuk ke lemari ruang. Freddy berjalan dan ditempatkannya kotak kardus itu dengan hati-hati di rak paling atas, jauh dari jangkauan.

"Lingkungan disini sangat bagus," kata Freddy. "Jauh dari pedesaan ... tetangga sekitar yang mengganggu ... Pasti sangat tenang di sini."

Diluar hujan mulai turun dan langit mulai gelap. Tn. Winters mengambil pena dan buku catatannya, menulis pesan dan menyerahkannya kepada Freddy.

Pemuda membacanya dengan lantang. "Tolong nyalakan lampu."

"Tentu saja, Pak Winters," Freddy menekan saklar lampu dan lampu mulai menyala. "Saya harus pergi ke kamar saya, dan saat saya kembali anda dapat memberitahu saya jika anda ingin saya menyiapkan sesuatu untuk makan malam."

Setelah si pemuda meninggalkan ruangan, Tn. Winters memutar rodanya mendekat ke radio lalu menyalakannya. Penyiar itu tengah berada di tengah-tengah berita yang dibawakannya.

"Polisi menghimbau kepada semua penduduk setempat untuk waspada. Ada seorang maniak pembunuh yang berkeliaran ... "

Hujan di luar sangat deras dan angin berhembus dengan kuat. Tn. Winters membesarkan volumenya.

"Ini adalah kasus terburuk pembunuhan berantai dalam sejarah negara. Maniak ini telah mengklaim 14 korban sejauh ini. Masing-masing dipenggal dan kepala mereka tidak pernah ditemukan ... "

Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh bahunya dan mematikan radio itu. Orang tua itu berbalik dan dilihatnya Freddy berdiri di sana dengan ekspresi aneh di wajahnya.

"Anda tidak usah mendengarkan hal-hal seperti ini, Pak Winters," kata pemuda itu. "Terutama pada malam seperti ini. Semua cerita pembunuhan ini ... hanya untuk menakut-nakuti orang. "

Saat itu, mereka mendengar bel berdering.

"Biar saya yang urus," kata Freddy dan ia meninggalkan ruangan.

Pak Winters duduk di kursi rodanya, menunggu dengan gugup. Ketika Freddy kembali, dia memegang sebuah koran di tangannya.

"Cuma bocah loper koran yang datang untuk memberikan surat kabar edisi malam," katanya. "Tidak ada artikel yang layak baca disini."

Dia melipat koran itu dan meletakkannya di atas meja.

Tn. Winters mengambil pena dan buku catatannya, menulis catatan dan mengulurkannya. Freddy mengambilnya dan membacanya dengan lantang: "Tolong buatkan saya secangkir teh"

"Tentu saja, Pak Winters," kata Freddy dan dia pergi ke dapur.

Begitu pintu tertutup di belakangnya, si pak tua beroda itu mendekatkan dirinya ke meja dan menyambar koran itu. Ketika ia membukanya, dia melihat judul: "Si Maniak Mengklaim Korban Lain!"

Saat dia membaca artikel itu, ia melihat bahwa korban terbaru adalah seorang polisi. Sama seperti korban lainnya, ia telah dipenggal dan kepalanya hilang.

Tn. Winters mulai berpikir tentang kotak kardus di lemari.

Kilat menyambar dengan keras. Tiba-tiba, lampu padam. Badai itu telah memadamkan listrik di rumah itu.

Pak tua itu melipat koran di tangannya dan meletakkannya kembali di atas meja.

Saat itu, ia mendengar bel berdering.

Dengan cepat, ia menggerakkan rodanya sendiri menyusuri lorong dan berhenti di depan pintu. Dia mengambil payung yang diletakkan di sudut pintu, mengaitkan gagangnya ke gerendel pintu dan membuka pintu itu.

Ada seorang polisi yang berdiri di ambang pintu. Kilat menyambar dengan terang di langit, menerangi wajahnya.

"Selamat malam, Pak," kata polisi itu sambil memperlihatkan lencananya. "Kami sedang melakukan pencarian dari rumah ke rumah di daerah ini. Apakah Anda melihat ada orang yang mencurigakan di lingkungan ini?"

Tn. Winters mengangguk panik dan memberi isyarat ke si polisi untuk masuk ke dalam. Dia mengambil pena dan catatan dan mulai menulis pesan ke polisi itu untuk melangkah masuk dan menutup pintu depan.

Tn. Winters menekan jarinya ke bibir, memberi isyarat ke polisi itu untuk tenang. Kemudian, ia merobek catatan dan mengulurkannya.

Polisi mengambil catatan itu dan membacanya dengan suara yang kecil: "Tolong bantu saya! Saya merasa maniak ini ada di rumah saya. Dia di dapur saat ini. Dia membawa sebuah kotak kardus. Saya rasa kardus itu berisi kepala!"

"Di mana kotak kardus itu?" Bisik polisi.

Tn. Winters menunjuk ke arah lemari kamar tidur. Polisi itu meremas catatan itu dan memasukkannya ke dalam sakunya lantas bergegas ke kamar tidur. Tn. Winters memutar rodanya dan membawa dirinya kembali ke ruang tamu.

Saat itu, pintu dapur terbuka dan Freddy datang, membawa secangkir teh.

"Nah, Ini dia Pak Winters," katanya. "Secangkir teh untuk menenangkan saraf Anda. Semua guntur dan kilat ini ... cukup untuk membuat orang-orang terpojok. "

Tn. Winters mengambil cangkir itu dengan tangan gemetar dan menatap si pemuda dengan gugup.

Freddy melirik koran di atas meja.

"Saya lihat Anda sudah membaca berita utama ini," katanya. "Mengerikan, bukan?"

Tiba-tiba, pintu terbuka dan si polisi datang ke ruangan. Dia menodongkan pistolnya.

"Kau! Menjauh dari si pak tua! "Teriaknya. "Dan angkat tanganmu!"

Freddy melonjak karena takut dan mundur dengan sempoyongan.

"Apa?" Dia tersentak. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini? "

"Saya polisi dan kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan!" Kata polisi itu.

"Pembunuhan?" Freddy tersentak. "Kau itu bicara apa?"

"Jangan berlagak tolol!" Kata polisi itu. "Aku menemukan kardusmu di lemari kamar tidur ... berisi kepala terpenggal didalamnya!"

"Lemari kamar tidur?" Kata Freddy. "Tapi kotak kardus saya ditaruh di lemari ruang tengah ... Akan kutunjukkan ..."

Freddy bergegas menuju pintu.

"Dia mencoba kabur!" Teriak Tn. Winters. "Tembak dia!"

Polisi itu menarik pelatuknya dan suara tembakan terdengar. Freddy terhuyung-huyung dan jatuh terkapar. Darah segar berlumuran disekelilingnya, membasahi karpet.

Polisi itu bergegas dan berlutut di samping pria yang sedang sekarat itu. Dia membalik tubuh Freddy dan mulai mengobrak-abrik sakunya.

"Itulah apa yang kau dapatkan untuk pembunuhanmu terhadap seorang polisi," katanya. "Mereka akan memberikan medali padaku untuk ini. Gambarku akan muncul diseluruh surat kabar."

Polisi itu telah kembali ke Tn. Winters. Dia tidak melihat ketika si pak tua itu bangkit dari kursi rodanya. Dia tidak melihat ketika orang tua itu merayap diam-diam ke arahnya. Dia tidak sempat melihat pisau tajam si pak tua itu tergenggam erat di tangannya. Dia tidak pernah tahu apa yang terjadi hingga kemudian segalanya terlambat dan pisau itu mengiris tenggorokannya dalam dalam.

Kemudian, setelah Tn. Winters memotong kepala si polisi, dia berpikir tentang seberapa pintarnya dia. Dia berpikir tentang semua tahun yang telah ia habiskan dengan berpura-pura dinonaktifkan dari pekerjaannya. Itu adalah penyamaran yang indah. Tidak ada yang pernah menduga bahwa si tua, bisu, lumpuh seperti Tn. Winters adalah maniak gila yang dicari polisi.


Tamat

No comments:

Post a Comment