Nisan Berbalut Kafan
Mudik tahun ini aku kembali ke kampung. Biasalah, ketika orang menyebut pemuda Jakarta, hal yang dipikirkan oleh orang kampung adalah sesosok 'cling-cling' yang gayanya kekinian. Tapi maaf saja jika mereka kecewa melihat penampilanku yang tetap ala kadarnya.
Yah, memang beginilah sebenarnya. Mencari pekerjaan di Jakarta tidak semudah yang orang-orang kampung impikan. Belum saingan dengan mahasiswa yang pintar dan pandai berbicara. Uhh, rasanya ingin sekali aku kembali mengurus sawah di kampung.
Namun apa daya, harapan ibu sudah terlalu membuncah, dan memang uang yang kuhasilkan lebih banyak daripada memanen sayuran.
Langsung saja pada hari pertama kedatanganku ke kampung. Saat mobil ini melaju dan pantat sudah mulai terasa keram, aku melihat-lihat pemandangan di luar.
Deretan hijau sawah-sawah dihiasi cokelat tanah pematangnya, adalah hal pertama yang menyambut mata ini, berusaha agar betah melihatnya. Mobil tua ini tidak lagi memiliki AC, maka dari itu aku dapat merasakan udara dingin nan segar yang menerpa wajah kala menoleh ke luar.
Segar.
Sesuatu yang kurindukan saat di Jakarta--yang ketika hujan pun masih bisa mengecap debu jalanan.
Lalu deretan sawah mulai berganti. Dari hijau muda ke hijau yang lebih tua--hutan. Di depan hutan itulah, aku melihat seorang ibu tua berbalut baju kain khas kampung kami, sedang menyapu halamannya.
Tapi bukan itu yang menarik perhatianku.
Di samping ibu itu, tepat di halaman rumahnya, terdapat sebuah kuburan yang batu nisannya dibalut kain kafan lusuh.
Aku hanya bisa melihat sedikit karena laju mobil yang dikendarai Pak Rahmat--paman dari pihak ibuku--sudah tak sabar sampai di tujuannya.
Tapi aku yakin. Aku sangat yakin. Bahwa nisan itu dibalut oleh kain kafan.
Sontak aku bertanya kepada pak Rahmat.
"Itu nisan kenapa, Pak, kok dilapis kain kafan begitu?"
Dari kaca spion, aku yang duduk di jok belakang dapat melihat bahwa Pak Rahmat melirik sedikit ke arahku, namun tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya yang kehitaman akibat banyak menghisap rokok.
"Pak?" tegasku lagi.
"Sudah. Ndak usah dibicarain. Omong-omong gimana? Udah dapet cewek ga di Jakarta?"
Alih-alih menjawab pertanyaanku, beliau malah bertanya hal lain dan membuatku jengah.
Aku membalas perbuatannya dengan memalingkan muka ke jalanan dan tidak menjawab hingga kami tiba di rumah ibuku. Jadi ada suasana kaku di antara kami. Tapi aku makin penasaran.
***
Setelah sambutan heboh di sore hari dan suguhan makanan yang membuat tubuh ini terasa bugar kembali, aku berniat mandi sebelum matahari benar-benar tenggelam.
Kuperhatikan ibu yang sedang menjahit kancing lepas di baju milik ayah dan sesekali tersenyum saat melakukannya. Gurat halus di wajahnya menandakan permintaannya kepadaku selaku anak tunggal untuk membantu kondisi keuangan di keluarga kami.
Tapi bukan masalah uang yang mengganjal pikiranku, melainkan hal yang kulihat tadi siang.
Segera saja kutanya ibu tentang nisan di rumah di depan hutan itu, namun yang kudapat adalah ekspresi murung bercampur cemas khas ibu yang mirip ketika aku berkata ingin naik ke atap membetulkan antena ketika remaja.
"Udah, nggak usah dipikirin. Mending kamu mandi. Nanti kan mau ke rumah Mas Ikhram. Gih, sana, cepat."
***
Suntuk.
Meski air dingin yang mengguyur ubun-ubun ini begitu menyegarkan, namun aku tetap suntuk.
Herannya, ada apa dengan keluargaku?
Ada apa dengan orang-orang di kampungku?
Mengapa mereka semua menolak untuk menceritakan tentang nisan itu?
Aku tahu ada sesuatu yang ganjil di sini.
Moga saja kali ini Bang Ikhram mau menjadi sekutu, sebab dari remaja, dia memang menjadi tempat aku bertanya dan berbagi. Orang yang fleksibel dan tidak repot memang sangat menyenangkan.
Suara kucuran air dari keran membuatku semakin hanyut dalam lamunan.
Tentang bagaimana cara mendapatkan informasi mengenai nisan itu.
***
"Bang, tau tentang nisan di halaman rumah depan hutan ga?" saat semua orang di dalam sedang asik bercengkrama, aku menyusul Bang Ikhram yang keluar untuk merokok. Di saat seperti inilah kesempatan tiba.
Tidak, aku tidak merokok, sungguh. Aku memang tidak ada minatan sama sekali terhadap rokok. Minatku kali ini adalah mengetahui detil jelas tentang asal-usul nisan tersebut.
Bang Ikhram mengisap rokoknya dan bara api di ujung rokok menyala terang, lalu melirik ke arahku dan mengembuskan gumpalan asap dari mulut dan hidungnya secara perlahan.
"Yakin, mau tahu?"
Aku hanya mengangguk. Sudah tak sabar rasanya.
"Apapun konsekuensinya, yakin, mau denger ceritanya?"
Aku jengah menunggu. "Udah lah ceritain aja, Bang."
Bang Ikhram kembali mengisap rokoknya dalam satu tarikan panjang, sebelum mulai bercerita.
"Nisan itu milik Aisyah," katanya sesaat, "gadis cantik yang tinggal hanya bersama ibunya di rumah di depan hutan itu.
Setelah kepergian ayahnya yang notabene saudagar kaya, kelakuan Aisyah makin menjadi-jadi. Dicurinya uang warisan ayahnya untuk pergi keluar pada malam hari dengan baju seksi. Dan pulang pagi hari sambil dirangkul oleh beberapa pria dengan kondisi Aisyah sendiri yang mabuk berat.
Ibunya sering tak tidur karena menunggu kepulangan Aisyah. Jika pulang pun, Aisyah akan mendorong dan memaki ibunya karena menampakkan wajah tua di depan pacar-pacarnya. Dia memaki dan menghujat, mengatakan ibunya pembantu atau semacamnya. Yah, khas sinetron yang sering kaulihat di tivi lah, ibu-ibu penyabar yang sering ditindas anaknya sendiri, sesungguhnya benar ada.
Singkat cerita, saat pulang malam diantar motor oleh 'pacar'nya melewati jembatan, ban motor mereka seolah selip, menjadi sangat licin."
Raut wajahku menegang, saat Bang Ikhram memperhatikan aku sebelum melanjutkan kisahnya sambil tersenyum kecil.
"Di bawah jembatan kan ada sungai, tapi alirannya dangkal. Nah, Aisyah terpental jatuh dari jembatan dan mendarat di batu dengan kepala yang retak. Kira-kira itu kesaksian dari sang 'pacar' yang segera mengebut ke rumah Aisyah untuk memberi tahu ibunya.
Sang ibu menangis dan menjerit saat melihat jenazah anaknya. Dia berurai air mata, bahkan ketika jenazah anaknya hendak dikebumikan.
Lalu satu persatu masalah yang mirip di pemakaman film-film religi mulai muncul. Tanah kuburan Aisyah ternyata kurang panjang, lalu kuburannya penuh air, pada akhirnya pemakaman dilakukan di halaman rumahnya.
Di halaman rumah itupun pemakaman tidak berjalan mulus. Muncul bau menyengat yang membuat beberapa orang merasa ingin muntah dan memutuskan pergi dari sana dengan meminta maaf pada ibunda Aisyah.
Sang ibu yang berurai air mata, masuk ke dalam rumah beberapa saat lalu kembali dengan membawa kain kafan yang disiram air mawar. Dililitkannya kafan tersebut ke nisan milik anaknya sambil terus terisak, dan seketika bau menyengat pun hilang."
Aku merinding. Mengangguk kecil sambil menunjukkan ekspresi penuh tanya, "Sudah semuanya?"
Bang Ikhram mengangguk.
***
Sepanjang perjalanan pulang, isi pikiranku hanya seputar kisah Aisyah.
Sampai malam tiba.
Kira-kira pukul dua dini hari, aku terbangun di kamar dan merasa hawa sangat panas. Amat sangat panas.
Namun anehnya hampir seluruh bulu kudukku meremang.
Mataku menangkap sekelebat sosok di ujung kasur, dekat kakiku.
Sosok itu berbalut kafan kotor dan mengeluarkan bau busuk. Melihat tajam ke arahku dengan wajah busuk dan mata melotot.
Aku berusaha bergerak, berusaha berteriak, namun tak bisa. Seluruh tubuhku gemetar dan membeku.
Bau menyengatnya membuatku ingin muntah.
Aku sangat ketakutan hingga rasanya ingin mati saja. Mataku jg tak mau bekerja sama, mereka tak mau menutup, seakan memaksa untuk menatap pocong di depanku ini.
Kamar yang gelap tak menjadi penghalang. Entah bagaimana aku dapat melihat dengan jelas luka-luka busuk di wajahnya!
Kejadian itu berlangsung beberapa menit, tapi rasanya seperti beberapa jam! Hingga sosok itu menghilang dan aku bisa menggerakkan tubuhku lagi.
Aku keluar kamar untuk mencari air dan kuyup tubuhku sudah tak bisa disembunyikan lagi. Ingin rasanya berlari ke kamar ayah dan ibu seperti anak kecil umur tujuh tahun, tapi mana mungkin aku melakukan hal itu?
***
Paginya aku terbangun agak siang karena kejadian semalam. Pada akhirnya aku menceritakan semuanya ke ayah dan ibu, tapi yang kudapat adalah respon marah mereka.
"Kamu nih dibilangin ngebantah mulu sih! Jadi ketulah kan?" Kira-kira seperti itu celotehan ibuku. Sedang ayahku hanya menggeleng dan bertanya, "tau soal Aisyah dari mana?"
Tunggu.
Apa makhluk semalam berhubungan dengan Aisyah?
Aku menyebut nama Bang Ikhram dan langsung disuruh ke rumahnya untuk menanyakan soal ini.
***
"Hahahahahaha!" Tawa Bang Ikhram menggelgar. Kumisnya naik turun seiring membahananya tawa berat itu.
"Kan udah kubilang, kausiap tanggung akibat, hah?" Tanyanya dengan nada mengejek.
"Terus mesti gimana dong, Bang?"
Bang Ikhram menghela napas.
"Cuma satu cara supaya enggak didatengin Aisyah pas malam. Ceritain tentang hal ini ke orang lain."
Aku menaikkan satu alis. "Lalu apa? Mereka juga bakal didatengin Aisyah kan?"
Bang Ikhram mengangguk. "Dulu, ada Mbah di desa yang bisa nampung semua itu. Orang yang cerita ke dia, ga akan didatengin lagi katanya. Tapi Mbah itu udah meninggal sekarang. Ga ada cara lain, selain cerita ke orang yang belum tau cerita ini. Katanya sih, cerita ulang ke orang yang udah tau tapi lupa, juga manjur, tapi ga tau deh."
Pada akhirnya, aku pulang dengan wajah murung.
Melintas wajah teman-teman di Jakarta yang bisa kuceritakan. Tapi ada rasa tak tega saat memikirkannya.
Aisyah masih muncul selama dua malam, lalu kini sudah berhenti mendatangiku.
Dia berhenti, setidaknya tepat setelah kisah ini terpublikasi.
Syukurlah.
Tamat
No comments:
Post a Comment