Bulan di Atas Kapal
DUA minggu kemudian setelah orang-orang peminyak meributkan kematian seorang pria gemuk dan bagaimana kau bisa sinting dan mulai membunuhi temanmu sendiri setelah memikirkan wanita, Mas Imam lenyap. Berita ini sampai di telinga semua orang seperti penyakit menular yang tak bisa dihentikan. Ini tidak akan jadi masalah jika Tanishi tidak ikut hilang, dan hal-hal yang disampaikan sebelumnya adalah bualan belaka. Kebohongan kadang-kadang menjadi benar ketika, kautahu, kau terus didesak-desak tentang suatu hal dan otakmu pada akhirnya mulai memercayainya. Kau terus memikirkannya dan memikirkannya juga bagaimanapun usahamu menolaknya, hingga secara sadar atau tidak, kau menerimanya sebagai kemungkinan-kemungkinan sebelum kau betul-betul meyakininya.
Aku tidak begitu mengenal pria gemuk itu secara personal. Ia bekerja sebagai koki kapal dan pekerjaannya hanya berurusan dengan dapur. Pagi hari ketika seseorang membersihkan koridor lambung, ia sudah mati dalam keadaan seperti dicekik. Kejadian itu begitu menggemparkan dan tak ada satu orang pun di atas kapal yang tidur dengan mata benar-benar terpejam pada hari-hari berikutnya. Malam seperti diliputi ketakutan. Beberapa hal memang bisa menyebabkan seseorang meninggal di atas laut tapi kematian pria gemuk itu sungguh tak wajar; mendadak dan mengerikan.
Ketika Tanishi menghilang tiba-tiba pada suatu pagi, kami tak bisa lagi menyembunyikan kecurigaan.
Aku tak akan mengatakan atau menuduh, dengan cara apapun, bahwa Mas Imam adalah seorang pembunuh setelah perilaku anehnya belum lama ini. Ia dari Indonesia juga, berusia awal empatpuluh, hitam, tapi kelihatan paling tua. Maksudku, sebagai orang agak linglung Mas Imam memang sering ditemukan menyendiri di antara tiang-tiang penyangga atau ruang mesin yang gelap dan ia nyaris selalu tampak gelisah. Ia selalu muncul begitu saja ketika awak lain mulai kelimpungan mencarinya, kemudian melanjutkan tugasnya menyortir seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi. Lelaki itu tidak pernah menjawab ketika kutanyakan, atau menyinggung hal lain. Sebetulnya mereka bisa saja mengabaikan lelaki itu dan aku memang agak heran mengapa mereka memedulikannya; Mas Imam berasal dari negara lain, ia sangat merepotkan, dan pekerjaan mereka menumpuk. Aku tidak bisa menemukan alasan lain tapi yang belakangan kusebutkan itu sudah lebih dari cukup.
Kebanyakkan pekerja yang kutemui di kapal ini, terutama orang Jepang, kukira paling sedikit mewariskan kualitas leluhur mereka sebagai manusia yang kejam-kejam. Mereka tak perlu berpikir dua kali sebetulnya untuk memasukkan lelaki itu ke dalam peti dalam keadaan hidup-hidup seolah tidak dibutuhkan lagi atau cara paling mudah melemparnya ke laut lepas. Tapi pikiran buruk itu hanya sampai di kepalaku saja dan cerita-cerita sebelumnya yang aku ketahui tentang mereka hanya sampai sebatas cerita.
Jadi, mula-mula, Mas Imam mengawali kisahnya dengan menyebutkan begini. Aku masih bisa mengingat suaranya secara jernih sampai sekarang. Ia bilang kepadaku; "Baru kemudian, ketika cahaya bulan purnama pertama kali menyentuh keningmu, kau akan merasa dingin dan kau seperti tertidur meski matamu terbuka lebar. Kau masih bisa mengatakan pada pikiranmu sendiri bahwa ini bukanlah kenyataan. Tapi itu memang kenyataan. Pada waktu itu, kautahu bahwa semuanya sudah terlambat dan Tuhan akan turun dalam wujud perempuan."
Kataku, "Hal semacam itu bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kau."
"Aku merasa cemas ketika mengetahuinya. Melebihi kecemasanku pada yang lain," katanya.
"Aku tidak mempercayaimu."
"Kau tidak mengerti."
"Ia memang bisa saja muncul dalam bentuk apa pun sesuai keperluan," kataku. "Misalnya perempuan."
"Bukan itu yang ingin kubicarakan padamu, seharusnya kau tahu ini, tapi kurasa kau memang betul-betul tidak tahu; ia memang seorang perempuan."
Malam itu bulan menggantung cerah di langit dan aku diserang kelaparan. Aku belum makan apapun sejak siang hari dan sebenarnya aku agak terkejut bisa bertahan hingga selarut itu. Diam-diam aku mencoba sebisa mungkin agar perkataan Mas Imam tidak menggangguku. Selama ini aku mengetahui, bahwa, sedikitnya, Tuhan menyerupai seorang laki-laki. Memang aku pernah mendengar kisah tertentu mengenai perempuan-perempuan berwajah cahaya yang senantiasa berbuat baik dan tak mengenal apapun selain kemurnian sepanjang hidupnya. Tetapi hanya sampai di situ saja. Mereka tak pernah menjadi Tuhan.
"Ia akan masuk ke dalam kepalamu seperti sesuatu yang tak pernah ia lakukan selama ini," kata Mas Imam. "Meskipun sebetulnya telah banyak pikiran laki-laki yang pernah ia singgahi sebelumnya.
"Perempuan itu, atau Tuhan, jika kau tak keberatan aku menyebutnya demikian. Kau keberatan?"
"Aku agak keberatan. Kau bisa menceritakannya sebagai penyihir saja," kataku.
"Baik," jawab Mas Imam. "Penyihir ini, seperti yang kau mau aku sebutkan begitu, akan mengatakan padamu dengan jujur, dalam bahasa yang paling bisa kau mengerti, bahwa ia menginginkanmu melakukan sesuatu untuknya. Kau mungkin berpikir akan menolak, dan kau bisa saja melakukan itu lebih awal. Tetapi, seperti yang kubilang, ia datang seperti hal yang tak bisa diduga-duga, sebelum kau mampu mempersiapkan keberanianmu untuk mengatakan apa-apa."
Aku bersiap-siap akan pergi saat itu juga. Tetapi ketidakpercayaanku dan rasa keingintahuan yang timbul begitu besar menahanku untuk duduk kembali dan mendengarkan lebih lama lagi. Mas imam mengijinkanku untuk pergi kapanpun aku menginginkannya. Ia berkata seolah-olah mengetahui dengan begitu keadaan akan berjalan sebaliknya; rasa penasaranku akan semakin memuncak dan aku akan menggali lebih jauh lagi. Kami sedang duduk-duduk di dalam karena di luar hujan turun deras dan ombak tinggi. Mukanya kelihatan begitu serius tapi lelaki itu tak bisa berhenti merokok. Suhu terasa panas betul.
Mas Imam tidak sedang berusaha menakut-nakutiku tetapi sepanjang ia berbicara aku tetap tak bisa menyembunyikan kecemasanku.
"Baru nanti ketika kau mengalaminya, kau akan mengingat pembicaraan kita ini."
"Aku tidak bisa bilang bahwa aku memercayaimu atau tidak," kataku.
"Kau tidak perlu percaya kepadaku. Dan sebenarnya tak ada yang memintamu memercayaiku," katanya. "Kau boleh menganggapku sebagai pembohong."
"Jadi apa yang dia inginkan sebenarnya?"
"Siapa?"
"Perempuan itu."
"Tuhan?"
"Jika benar."
"Dengar, dia itu seperti penyihir yang bisa melakukan apapun. Kau akan merasa telah mengenalnya dan sangat dekat dengannya. Kadang dia akan memintamu bertapa seorang diri hingga kau merasa dirimu itu seperti seorang nabi yang sedang menerima perintah."
Kami tidak berbicara sama sekali setelahnya. Aku tidak tahu apakah lelaki itu menerima ajakan mencemplungkan diri ke laut atau mencekik urat leher atau membunuh seseorang oleh perempuan yang turun dari bulan purnama. Ia menghilang bersama Tanishi sebelum aku sempat menanyakannya.
TERAKHIR kali aku melihat Mas Imam, dua hari yang lalu, ia kelihatan lebih muram. Di hari-hari biasa bahkan ketika tangkapan kami membanjir dan setiap jengkal lantai geladak dipenuhi ikan, dan kami sampai kesulitan memilih jalan agar tak menginjak salah satu dari mereka, ia tak punya perangai apapun yang bisa menunjukkan isi kepalanya. Tanishi dan aku saling bercanda. Kami merasa senang karena kapal akan bertambat lebih awal. Bagi orang-orang kesepian seperti kami yang terlalu sering menonton burung-burung laut, tak ada yang lebih menggembirakan ketimbang menemui perempuan-perempuan penghibur di pesisir Naha itu. Tetapi, tentu saja, Mas Imam, apapun kejadiannya, tenang-tenang saja seolah besok kiamat jatuh pun tak ada yang perlu dipikirkan.
Tanishi adalah teman terdekatku selama di kapal. Ia pemuda Jepang tulen dan perawakannya hanya setinggi pundak orang-orang Indonesia kebanyakkan. Satu-satunya hal yang membedakan Tanishi dengan orang Jepang lain di sini yang berwajah nyaris mirip adalah ia terlalu sering berkedip. Aku sempat mengira ia mempermainkanku ketika waktu-waktu pertama kami bertemu. Kupikir semacam lelucon orang-orang Jepang. Aku tidak suka pada awalnya dan menganggapnya orang yang memuakkan. Baru kemudian, setelah kami mulai akrab, aku memberanikan diri bertanya. "Aku tak bisa menahannya," kata Tanishi.
Sepengetahuanku, Tanishi datang dari keriuhan kota Tokyo dan setelah begitu lama luntang-lantung mencari pekerjaan, entah bagaimana, ia mendapati dirinya sebagai kru kapal cumi-cumi. Sebulan setelah kontraknya di kapal tersebut berakhir, ia bekerja di tempat lain dan saat itu kami bertemu.
Aku mengatakan padanya sambil mengulang percakapanku dengan Mas Imam pada malam sebelumnya. Tentu saja aku menolak hal-hal yang disebutkan lelaki itu tetapi aku tak bisa mengabaikannya begitu saja.
Aku berdiri bersebelahan Tanishi di buritan. Aku bilang kepadanya: "Penyihir ini akan turun saat bulan purnama dan merasuki kepalamu dan membuatmu menjadi seorang pertapa. Kau mungkin menyangka ini sesuatu yang sangat jarang terjadi tetapi sebenarnya ia sudah sering melakukan itu pada orang-orang selain dirimu."
Ia bilang; "Kupikir aku pun pernah mengalami yang semacam itu."
"Maksudmu?"
"Aku punya seorang teman. Dan dia ini punya adik perempuan. Suatu kali ketika ia pulang sehabis bekerja, temanku ini menemukan adiknya meringkuk di sudut kamarnya. Ia baru saja diperkosa. Tiga orang berandal bajingan. Sehari setelahnya adik perempuannya itu gantung diri dan temanku ini memutuskan untuk membuat agama," katanya. "Kecintaan yang berlebih seperti itu dapat mempengaruhi pikiranmu. Ia menipumu seolah-olah kau bisa berbicara pada Tuhan. Meskipun sebenarnya tidak."
"Maksudmu kau mengatakan padaku bahwa kau bisa juga memercayainya?"
"Ya," katanya.
"Tapi aku tetap saja tidak tahu."
"Kegilaan seperti itu kadang-kadang tidak butuh penjelasan," katanya. Aku diam saja dan membetulkan kerah jaketku.
Aku tak melihat Tanishi lagi setelah itu, juga Mas Imam. Malam sebelum semuanya terjadi, bulan tumbuh di atas kapal.
Tamat
0 comments:
Post a Comment