Sunday 1 March 2015

Creepypasta Indonesia - Experience - Sakurata

Sakurata


Saya mengilhami suhu panas kopi yang merambat di telapak tangan. Membayangkan uap yang timbul di atasnya mirip kabut-kabut berwarna kabur yang saya lihat ketika saya tidur siang. Kopi dan uap seperti melakukan terapi hipnotis pada otak saya. Dari luar, mereka membuat saya tampak bengong (orang jelek ketika melamun akan disebut bengong), padahal alam pikiran saya berkelindan dan mengembara hingga ke gurun Mesir dan Patung Quan Yin yang amat besar yang ada di pulau Batam. Sampai yang sama sekali tidak penting seperti tower pemancar sinyal yang berdiri agak mepet dengan bangunan rumah tetangga saya dahulu. Saya kemudian tiba-tiba teringat desas-desusnya, tentang tower, mereka bilang, frekwensi yang ditimbulkannya berangsur-angsur dapat merusak kinerja otak seseorang yang berada di dekatnya. Benarkah itu? Karena ketika saya sedang berpikir, apapun topik dan awal mulanya, pada ujungnya selalu diakhiri dengan potret dada Yeyen Lidya yang tampak besar dan kenyal. Saya rasa otak saya terganggu. Dan saya lebih prihatin pada tetangga saya yang rumahnya lebih dekat dengan tower sinyal itu. Dia mungkin bisa lebih buruk lagi, semisal, kautahu, memasukkan telur ayam ke lubang anus

Itu jika saya menunggu di kafe. Saya mungkin saja akan melengkapi narasinya dengan rintik-rintik hujan yang jatuh ke dalam lubang genangan air di bahu jalan. Yang menimbulkan percikan seperti bunga-bunga teratai. Dan saya akan mengembuskan nafas di kaca besar atau gelas atau permukaan benda apa saja dan mengukir nama gadis manis kesukaan saya di sana.

Untuk beberapa alasan saya kurang menyukai kafe. Ia tidak efisien dalam artian harga secangkir kopi sebanding dengan lauk makan seharian. Mungkin dua hari. Jika kau membeli nasi di rumah makan padang untuk dibungkus dan dibawa pulang. Mestinya mengapa jumlah nasi padang yang dibungkus dua kali lipat lebih banyak daripada makan di tempat masuk ke dalam kategori misteri dunia paling besar yang belum terpecahkan. Sampai sekarang saya tak tahu alasannya. Ia bisa disandingkan dengan laut Segitiga Bermuda yang misterius atau penciptaan Piramida atau baterai kuno yang hingga kini belum terkuak zaman.

Alasan lainnya, saya kurang menyukai melankoli. Di kafe, segala hal membuat saya melamun dan menekuri hidup. Hal-hal semacam orang asing yang mengobrol atau kucing lewat atau hujan dan daun yang gugur tiba-tiba saja bisa mengandung makna filosofis. Saya merasakan kadar emosional saya menanjak dan orang-orang yang melihat saya duduk sendiri berpikir jika saya sedang patah hati.

Di dalam kamar kos yang suci dan luhur, saya bisa menunggu sambil menyingkir dari keadaan sendu. Setidaknya begitu. Tentu tak ada satu hal yang bisa disyahdukan dari ruangan sempit dan bau ikan mati dan sumpek dengan keadaan sprei yang semrawut dan bergulung-gulung. Atau tempat sampah plastik penuh bungkus mie instan dan puntung rokok kretek di sudut kamar yang tampak hina sekali.

Beberapa saat lalu, sebuah panggilan dari nomor tanpa nama masuk ke ponsel saya. Saya mengangkatnya. "Sepanjang perjalanan karir saya di dunia percopetan. Anda orang paling menyedihkan." Ia membuka percakapan dengan nada yang amat melecehkan harga diri saya sebagai manusia.

"Baiklah. Saya tahu itu. Maaf jika mengecewakan Anda," saya menjawab dengan nada sopan padahal hati saya terasa sakit.

"Hmm ... saya tidak menemukan apa-apa yang berharga. Di KTP tertulis, di usia setua itu, Anda belum menikah, atau tidak menikah," katanya. Saya belum bisa menduga arah pembicaraan. "Itu bagus. Saya tak bisa membayangkan betapa menderitanya istri Anda nanti." Kampret. Kali ini dia menistakan harga diri saya sebagai laki-laki.

"Jadi apa maumu sebenarnya selain menghina saya?"

"Saya ingin mengembalikan dompet ini. Saya takut Anda mendoakan saya segala yang buruk. Anda tahu, doa orang susah selalu didengar oleh Tuhan."

Saya menimbang-nimbang. "Oke. Saya tunggu di jalan Kembang depan apotek Srikandi. Jam tiga sore ini."

Dia menutup telepon.

Dua hari lalu. Hari Sabtu tengah bulan setelah turun dari angkot. Perempuan muda menyenggol saya dari belakang. Dia meminta maaf sekadarnya dan dia gadis belia yang cantik dan di situ untuk sesaat saya mengira ia anak manis yang punya perilaku baik.

Penampilan luar yang menggemaskan itu ternyata menipu belaka. Dengan kecepatan seorang pencuri andal, dia menyelinap memasukkan tangannya ke dalam celana saya. Waktu itu saya memakai celana berbahan ketat dan seharusnya dia agak mengalami kesulitan saat berupaya merogoh ke dalam kantung belakang. Tetapi telapak tangannya lembut dan pergerakannya amat gerilya.

Setelah kejadian penuh muslihat itu saya pulang ke kos dengan perasaan berbunga-bunga, tanpa menyadari sedikit pun bahwa saya baru saja kecolongan. Sesampainya di kamar, saya sempat berpikir jika gadis itu sebetulnya jodoh dan dia dikirimkan untuk menyudahi hari-hari saya yang senantiasa kosong. Pikiran-pikiran yang membuat wajah bersemu. Akan sangat menyenangkan dan menjadi sebuah kisah tersendiri jika kami kembali bertemu oleh suatu ketidaksengajaan lainnya di waktu berikutnya, dan di saat itu, kami akan mulai akur dan membicarakan tentang hobi masing-masing atau zodiak. Saya tipe plegmatis yang suka membaca sementara si gadis tipe sanguin yang menggemari tarian angsa. Saya orang Capricorn yang membenci hampir segala hal dan dia si Taurus yang teliti. Kami akan menjadi pasangan yang suka bertengkar kemudian dengan cepat berbaikan lagi oleh sebab yang tak jelas.

Namun pikiran-pikiran bagus itu segera berbalik arah ketika saya membuka celana. Kantung belakang celana saya kelihatan kempis dan baru saya sadari bahwa dompet yang amat setia dalam segala keadaan itu lenyap tanpa kata-kata. Saya sempat berbaik sangka jika jatuh pada saat berjalan di suatu tempat atau kesilapan saya yang menyebabkannya ketinggalan belaka. Tetapi setelah seisi kamar sudah selesai digeledah saya tak mendapati apa-apa. Kecurigaan itu akhirnya tuntas ketika dia menelpon saya lewat nomor yang mungkin dia temukan dalam kartu nama saya di dompet lusuh itu.

"Kecantikan itu racun," kata saya. Sambil tak henti-hentinya membatin tentang kecerobohan sendiri. Mengapa saya tidak juga menyadari? Dari dulu wanita memang racun. Dari zaman R.A. Kosasih masih membikin komik Parikesit tentang Rukmini yang mengelabui Jakasombo, dan membuatnya memberi tahu segala kelemahannya itu hingga membuat sang suami remuk-redam di tangan Wratsangka. Sampai yang agak klasik semisal gelinjang manja Marilyn Monroe yang membuat Presiden Kennedy dan adiknya blingsatan.

Ditemani keragu-raguan, saya memutuskan untuk menemui janji si gadis sekitar jam empat sore karena saat itu hujan turun gerimis. Terlambat satu jam tetapi saya tak begitu mengharapkan kejadian macam-macam; saya lebih mengira dia akan kembali menipu dan pada akhirnya membuat saya menunggu seorang diri. Didorong keyakinan yang tak tentu, akhirnya saya memilih untuk memasuki sebuah bangunan halte kusam di depan apotik. Halte itu tak begitu jauh dari tempat terakhir si gadis melihat saya dan saya pikir dia akan dengan mudah melihat dan mengenali saya.

Saat itu masih gerimis dan suasana sangat hening. Tidak ada manusia yang lewat dan menegur saya apa saja kecuali kendaraan berlalu-lalang. Dalam tempo waktu yang cukup untuk menekuri kehidupan atau mempertanyakan semesta, saya masih mampu bersabar walaupun sesekali air genangan hujan terciprat saat kendaraan yang tanpa berpikir melintas dengan kencang. Saya tidak mampu berbuat apapun kecuali menyetarakannya dengan setan jahanam.

Si gadis tak kunjung menampakkan rambut kuncirnya dan saya mulai kelelahan akibat berdiri cukup lama. Di balik atap halte yang merembes limabelas menit kemudian, saya merasa seperti seekor keledai dungu yang basah. Saya lalu duduk di bangku beton yang disiapkan untuk para penunggu tanpa pikir panjang atau menyadari bahwa ada air yang menggenang di sana. Saya kadung mendudukinya dengan mantap.

"Anjing," kata saya, sembari merasakan sensasi dingin yang menjalar di pantat. Lagi-lagi saya hanya mampu mengikhlaskannya.

Beberapa saat berikutnya, entah sejak kapan, langit mulai cerah. Dan sekomplotan perempuan segar yang saya terka baru pulang membolos sekolah, telah duduk agak jauh di bagian bangku halte yang lain. Tiga atau empatbelas perempuan yang berisik itu saling berebut bicara hingga membuat saya bingung siapa di antara mereka yang berperan menyampaikan sesuatu dan siapa yang menyimak. Mereka terkikik-kikik dengan riuh sekali tetapi tetap terlihat santai.

Saya hanya mendengarkan dengan dada yang lapang sambil sesekali mensejajarkan mereka dengan binatang. Di sore hari yang mulai gelap dan segalanya terasa menyebalkan begini, semua orang seperti bisa tiba-tiba berubah menjadi anjing.


Penantian yang panjang tetapi tidak berarti apa-apa itu pun akhirnya saya sudahi. Beberapa waktu kemudian yang tak bisa saya perkirakan tepatnya, saya sudah habis kesabaran. Dengan langkah menghentak dan bokong yang lembab, saya meninggalkan halte tanpa mengucap salam perpisahan atau sekadar menengok ke belakang. Dalam kekesalan yang menganjing-anjing itu, saya menyadari satu hal: saya pasti demam esok hari.

Creepypasta Indonesia (fb)

1 comment:

  1. Permisi ya bang, ini judul asli ceritanya apa yaƱ apakah ada kelanjutannya?

    ReplyDelete